PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (3)

Menentukan Saat Terutangnya PPnBM

Hamida Amri Safarina
Senin, 09 November 2020 | 16.45 WIB
Menentukan Saat Terutangnya PPnBM

PENENTUAN saat terutang pajak merupakan hal yang penting untuk mengetahui kapan pajak harus dibayar dan dilaporkan. Dalam konteks tersebut, tidak ada konsep umum dalam menentukan saat terutangnya PPnBM.

Setiap negara memiliki kebijakan yang berbeda dalam mengatur pajak atas barang mewah. Terdapat negara yang memasukkan rezim pemungutan pajak atas barang mewah ke dalam rezim PPN, seperti India dan Turkey (IBFD, 2020).

Akan tetapi, ada pula negara yang memasukkan rezim pemungutan pajak atas barang mewah ke dalam kebijakan pemungutan cukai. Misalnya, Korea Selatan yang mengenakan cukai barang mewah atas perhiasan, jam tangan, dan tas (Ministry of Strategy and Finance Republic of Korea, 2010).

Dalam sistem PPN sendiri, saat penyerahan merupakan penentu saat terutangnya PPN (William, 1996). Pengenaan PPN dari suatu transaksi hanya dapat ditentukan dengan menilai unsur-unsur dari setiap transaksi di titik waktu tertentu, yaitu pada saat penyerahan (Rabecca Millar, 2004). Lantas, bagaimana menentukan saat terutangnya pajak atas penjualan barang mewah (PPnBM) di Indonesia?

Sama dengan Turki dan India, kebijakan pemungutan PPnBM di Indonesia digabungkan dengan rezim PPN yang diatur bersama dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 s.t.d.t.d. Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) beserta aturan turunannya.

Pemerintah Indonesia mengatur untuk barang yang tergolong mewah, selain dipungut PPN juga dikenakan PPnBM. Dengan kata lain, dasar untuk menentukan saat terutangnya PPnBM di Indonesia sama dengan saat terutangnya PPN.

Berdasarkan pada penjelasan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 (PP 1/2012), saat terutangnya pajak merupakan hal yang penting untuk menentukan waktu bagi PKP menerbitkan faktur pajak.

Merujuk pada Pasal 17 PP 1/2012, terutangnya PPnBM terjadi pada saat terjadinya delapan transaksi. Pertama, saat penyerahan barang kena pajak (BKP). Untuk penyerahan BKP berwujud dengan sifatnya termasuk barang bergerak, saat terutang terjadi ketika BKP diserahkan kepada pembeli, diserahkan untuk pemberian cuma-cuma, saat diberikan ke juru kirim atau jasa angkutan, atau ketika BKP diakui sebagai piutang atau penghasilan. Selanjutnya, untuk BKP berwujud untuk barang tidak bergerak apabila barang dikuasai pembeli secara hukum atau secara nyata.

Sementara itu, untuk BKP tidak berwujud terjadi saat harga atas penyerahannya diakui sebagai utang atau penghasilan, saat faktur diterbitkan, atau saat kontrak ditandatangani. Dalam hal BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan maka terutangnya saat ditandatanganinya akta pembubaran oleh notaris.

Selain itu, dapat juga terutang saat berakhirnya janga waktu berdirinya perusahaan, tanggal penetapan pengadilan yang menyatakan perusahaan dibubarkan atau diketahui perusahaan tidak melakukan kegiatan usaha.

Selanjutnya untuk pengalihan BKP dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, saat terutang pajaknya ialah ketika disepakati, ditetapkan, atau ditandatanganinya akta atas kegiatan tersebut.

Kedua, impor BKP. Terutangnya BKP tersebut terjadi saat barang dimasukkan ke dalam daerah pabean. Ketiga, penyerahan JKP terjadi saat harga atas penyerahan JKP diakui sebagai piutang atau penghasilan, saat diterbitkan faktur penjualan oleh PKP, saat kontrak ditandatangani, atau saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan yang dipakai.

Keempat, dalam pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar daerah pabean. Penentuan saat terutangnya pajak terjadi ketika harga perolehan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya.

Selain itu, saat terutang pajak dapat juga ditentukan ketika harga jual BKP tidak berwujud dan/atau penggantian JKP tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya atau saat dibayar sebagian atau seluruhnya.

Kelima, pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean terutangnya pada saat ditandatanganinya kontrak. Keenam, ekspor BKP berwujud terutang saat BKP dikeluarkan dari daerah pabean. Ketujuh, ekspor BKP tidak berwujud terutang saat penggantian atas BKP tidak berwujud yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai piutang atau penghasilan. Kedelapan, ekspor JKP terjadi pada saat penggantian atas jasa yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai piutang atau penghasilan.

Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP, sebelum penyerahan JKP, atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan BKP atau JKP maka PPnBM terutang pada saat terjadi pembayaran.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan saat terutangnya PPnBM mengikuti saat terutangnya PPN. Dengan demikian, apabila dilakukan transaksi penyerahan barang mewah maka dapat terutang PPN dan PPnBM. Untuk artikel selanjutnya, akan dijelaskan terkait dasar pengenaan PPnBM dan cara untuk menghitung besaran pajaknya.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.