Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Dalam negara yang demokratis dan diatur hukum, kekuasaan pemerintah tidaklah bersifat tak terbatas. Hal ini juga berlaku dalam hal pengenaan pajak.
Namun demikian, UUD 1945 di Indonesia yang sifatnya supel dan singkat tidak mengatur tentang pembatasan kekuasaan mengenai kekuasaan pajak.
Pasal 23A UUD 1945 hanya memberikan penegasan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang.
Berbeda halnya dengan UUD di negara Meksiko. UUD di Negeri Sombrero itu memberikan batasan kekuasaan pengenaan pajak berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Adam Smith, yaitu equality, certainty, convenience, dan economy.
Oleh karena itu, undang-undang pajak di Indonesia seharusnya juga dapat menjamin pengenaan pajak didasarkan kepada prinsip keadilan, kepastian, dan kemampuan (ability to pay).
Pendelegasian kekuasaan yang tidak disertai dengan pembatasan yang ketat berpotensi menyebabkan pemerintah menjadi powerful dalam mengenakan pajak.
Terlebih, pemerintah memiliki kepentingan untuk memaksimalkan penerimaan pajak sesuai dengan target yang dibebankan.
Untuk itu, cara yang efektif untuk membatasi kekuasaan tersebut ialah memaksimalkan peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam membahas rancangan undang-undang pajak.
DPR harus memperketat hal-hal apa saja yang boleh dan tidak boleh untuk didelegasikan kepada pemerintah. DPR juga harus memisahkan institusi yang menyusun ketentuan pajak dengan institusi yang melaksanakan ketentuan pajak.
Kekuasaan pengenaan pajak harus dibatasi dengan jelas dan ketat sehingga tidak menyimpang dari ketentuan hukumnya dan semakin menjauh dari prinsip-prinsip dasar perpajakan.
Lantas, bagaimana konsep membatasi kekuasaan untuk mengenakan pajak di Indonesia? Baca buku Membatasi Kekuasaan Untuk Mengenakan Pajak secara digital di Perpajakan DDTC. Buku yang ditulis Darussalam dan Danny Septriadi ini terdiri dari 5 bab.