INTEGRASI dan digitalisasi ekonomi serta globalisasi perdagangan jelas telah membuka kelemahan arsitektur sistem pajak internasional yang berlaku. Legitimasi basis pajak yang telah diklaim oleh masing-masing negara menjadi dipertanyakan ketika para pelaku bisnis multinasional dapat mengatur skema entitas dan transaksi menjadi tidak terutang pajak.
Ketimbang mereformasi cara berpikir dan struktur pajak dengan kacamata baru, kebanyakan negara justru tergoda untuk menurunkan tarif pajak dan meracik berbagai insentif agar tidak kehilangan basis pajaknya. Alhasil, setiap negara terjebak dalam suatu kompetisi ‘race to the bottom’ yang seakan-akan justru memaklumi praktik penghindaran pajak. Simak juga artikel ‘Tax War: Menang Jadi Arang, Kalah Jadi Abu’.
Prihatin akan fenomena ini, Brigita Alepin, Blanca Moreno-Dodson, dan Louise Otis secara bersama-sama mengajak setiap pemikir di area pajak untuk membuka mata dan meninjau ulang bagaimana seharusnya setiap negara bersikap.
Siapa sesungguhnya ‘musuh’ yang dihadapi setiap negara ketika kedaulatan sistem pajak mereka terancam? Persaingan macam apa yang sesungguhnya mereka hadapi?
Kedua pertanyaan tersebut melandasi penulisan karya tulis berbagai praktisi dan akademisi pajak di berbagai belahan dunia yang tertuang dalam buku berjudul “Winning the Tax Wars: Tax Competition and Cooperation”.
Dieditori ketiga pemikir ulung tersebut, buku yang terbit 2018 lalu membuka bagaimana setiap negara seharusnya merespons dan meracik solusi baru.
Vito Tanzi, sebagai salah satu penulis dalam karya tersebut, mengakui kompetisi pajak sebenarnya sudah berlangsung lama. Meski demikian, istilah kompetisi pajak yang sering dikenal dengan ‘tax competition’ baru mencuat ketika reformasi pajak Amerika Serikat 1987 menciptakan efek limpahan (spillover effect) ke negara lainnya.
Sejak saat itu, setiap negara tidak lagi meracik sistem pajaknya secara independen, tetapi ‘terpaksa’ turut memperhitungkan perubahan yang terjadi pada sistem pajak negara lainnya.
Lebih lanjut, pada bab selanjutnnya, Alepin menekankan bahwa terdapat kompetisi yang tidak seimbang antara negara maju dengan berkembang. Pasalnya, negara berkembang masih sangat bergantung pada penerimaan pajaknya sehingga justru menjadi pihak yang paling dirugikan dalam kompetisi pajak.
Allison Christians, Kepala di Bidang Peraturan Perpajakan McGill University mengakui bagi negara berkembang, koordinasi pajaklah yang dibutuhkan ketimbang kompetisi pajak. Sebab, berbagai studi mendukung hipotesis bahwa negara berkembang paling dirugikan oleh praktik penghindaran pajak. Toleransi terhadap hal tersebut, dengan menurunkan beban pajak, tidak akan menjawab solusi jangka panjang.
Secara umum, semua mengakui kompetisi yang dihadapi sesungguhnya oleh setiap negara adalah persaingan dengan perencanaan pajak agresif dan cepatnya perubahan model bisnis para wajib pajak.
Respons yang tepat adalah dengan menciptakan pembaharuan dan transformasi untuk menciptakan arsitektur sistem pajak yang mampu mengakomodasi perkembangan model bisnis. Prinsip keadilan, netralitas, dan kesederhanaan yang selama ini diusung perlu terus dikemas dengan desain aturan perpajakan yang berbeda.
Solusi lain juga ditawarkan oleh Moreno-Dodson, Richard Murphy, dan Eric M. Zolt dengan menciptakan jenis pajak baru berbasis kekayaan (wealth taxes). Pajak kekayaan ini akan menjadi justifikasi dan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat di masa mendatang, baik sebagai sumber penerimaan baru maupun penghambat semakin lebarnya ketimpangan kepemilikan kekayaan.
Sementara itu, pada bab lainnya, Adam Koniuszewski memaparkan bagaimana pajak karbon juga dinilai mampu mendorong penyediaan barang publik lebih baik dengan menginternalisasi eksternalitas negatif untuk mengompensasi.
Setiap ide untuk memerangi penggerusan basis pajak bermuara pada suatu kemiripan tema yang diusung: perluasan basis pajak. Masih banyak penjelasan menarik lainnya yang jika harus dikupas satu persatu tidak akan tertampung dalam tulisan singkat ini. Untuk itu, langsung saja kunjungi DDTC Library.*