DISKUSI kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% di berbagai platform media sosial dan media massa mewarnai keseharian kita saat ini. Masyarakat terbelah menjadi pro dan kontra menyikapi kebijakan kenaikan PPN 12% tersebut dengan mayoritas masyarakat tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Baca PPN 12%, Setuju atau Tidak?
Argumen mereka yang tidak setuju PPN naik, utamanya dikarenakan akan menggerus daya beli masyarakat dan menyebabkan inflasi. Sementara bagi yang setuju, alasannya uang hasil dari kenaikan PPN akan dikembalikan lagi ke masyarakat melalui bantuan sosial, makan siang gratis, pembangunan infrastruktur, dan sebagainya.
PPN sebagai jenis pajak yang diperdebatkan, mari kita gali lebih dekat lagi bagaimana konsep PPN dan apa bedanya dengan pajak penjualan (PPn). Lantas, apabila kita membandingkan konsep PPN dengan praktik di negara lain, kita juga menemukan istilah good and sales tax (GST). Timbul pertanyaan, apakah PPN dan GST ini dua jenis pajak yang berbeda atau sama?
Pertama-tama kita harus membahas terlebih dulu pengertian PPN secara konseptual. PPN merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan/atau jasa kena pajak yang bersifat umum (OECD, 2014). Kata umum inilah yang membedakan PPN dengan jenis pajak konsumsi lainnya yang bersifat spesifik, seperti cukai (excise) dan bea masuk.
Kata konsumsi, seperti yang dinyatakan oleh Ad von Doesum dan Gert-Jan van Norden (2011), merujuk pada konsumsi pribadi (private consumption), bukan yang bersifat konsumsi produktif (productive consumption).
Jadi, PPN ditujukan untuk mengenakan pajak atas konsumsi pribadi yang dilakukan oleh konsumen akhir (penanggung beban PPN sebenarnya). Adapun mekanisme pengenaannya melalui pemungutan oleh pihak lain yang ditunjuk oleh undang-undang. Pihak lain tersebut adalah pengusaha kena pajak (PKP) atau taxable person. Dengan adanya mekanisme dipungut melalui pihak lain maka PPN disebut dengan pajak tidak langsung (indirect tax).
Pemungutan PPN dilakukan oleh PKP atas setiap transaksi penyerahan barang dan/atau jasa di semua proses tahapan produksi dan distribusi. PPN yang terkait dengan penyerahan barang dan/atau jasa disebut sebagai pajak keluaran (PK). Dalam rangka menjalankan kegiatan usahanya, PKP tentu melakukan pembelian barang dan/atau jasa yang dipungut oleh PKP penjual dalam tahapan produksi dan distribusi sebelumnya. PPN yang dipungut atas perolehan barang dan/atau jasa tersebut disebut dengan pajak masukan (PM).
Proses transaksi penjualan dan pembelian di atas, menunjukkan bahwa PPN dipungut oleh PKP atas transaksi penyerahan barang dan/atau jasa. Oleh karena itu, PPN juga disebut sebagai pajak atas transaksi (Thuronyi, 2013)
Pada dasarnya, PPN dipungut oleh PKP atas penyerahan barang dan/atau jasa tanpa memperhatikan kemampuan ekonomis atau ability to pay pihak yang melakukan pembelian barang dan/atau yang mengkonsumsi jasa. Atas dasar ini, PPN disebut sebagai pajak objektif dan bersifat regresif. Artinya, sebagai pajak objektif dan bersifat regresif, jika suatu barang dan/atau jasa dikenakan sebagai objek PPN, pihak yang mampu atau tidak mampu akan membayar jumlah PPN yang sama, tentu ini menimbulkan isu ketidakadilan.
Demikian pula, apabila barang dan/atau jasa tertentu tidak dikenakan PPN atau dibebaskan sebagai objek PPN maka pihak yang mampu dan tidak mampu sama-sama tidak membayar PPN, tentu ini juga menimbulkan isu ketidakadilan. Jadi, dikenakan atau tidak dikenakan (dibebaskan) suatu barang dan/atau jasa sebagai objek PPN akan sama-sama menimbulkan isu ketidakadilan. Inilah karakteristik PPN yang perlu kita sadari (Darussalam, 2021).
Untuk memastikan bahwa PPN dikenakan pada konsumen akhir dan bukan ditujukan kepada PKP maka PKP yang diberikan kewajiban untuk memungut PPN atas penyerahan barang dan/atau jasa juga diberikan hak untuk mengkreditkan PPN yang dibayarkannya atas perolehan barang dan/atau jasa yang digunakan dalam rangka menjalankan kegiatan usaha.
Hak untuk dapat mengkreditkan dan/atau melakukan restitusi inilah yang menjamin PKP bukan sebagai pihak yang menanggung beban PPN. Inilah yang dimaksud dengan netralitas dalam konsep PPN, yang mana PKP hanya menyetorkan selisih lebih PK terhadap PM.
Prinsip netralitas mencegah adanya pajak atas pajak (cascading effect) yang berdampak pada kenaikan harga yang diterima oleh konsumen akhir. Pajak atas pajak inilah yang menjadi karakteristik dalam pajak penjualan (PPn) yang dihilangkan oleh pajak pertambahan nilai (PPN).
Selisih lebih antara PK dan PM inilah yang dimaksudkan dengan pertambahan nilai yang akhirnya dijadikan nama sebagai pajak pertambahan nilai (PPN) atau value added tax (VAT). Selain nama PPN atau VAT, ada nama lain yang diberikan atas jenis pajak konsumsi yang bersifat umum ini, yaitu pajak atas barang dan jasa atau good and sevices tax (GST). Munculnya nama GST sebagai naman lain PPN atau VAT didasari oleh alasan bahwa pajak ini dikenakan atas dasar transaksi penyerahan (supply) barang dan/atau jasa. Jadi, istilah PPN dan GST merujuk pada satu jenis pajak yang sama (OECD, 2017).
Secara konseptual, PPN akan menjadi mesin uang (Keen dan Lockwood, 2006) apabila dijalankan tanpa pemberian fasilitas. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh mantan menteri keuangan Selandia Baru Roger Douglas (Alan Tait, 1988). Demikian juga, ambang batas PKP juga harus dirumuskan selaras sesuai dengan definisi PKP yang meliputi semua pengusaha agar basis PPN tetap luas.
Akan tetapi, untuk tujuan memberikan keadilan atas PPN banyak negara memberikan fasilitas pembebasan PPN dan ambang batas PKP untuk mengecualikan pengusaha kecil sebagai pemungut PPN.
Untuk tidak membebani pengusaha kecil, hampir sebagian besar negara memberikan ambang batas (threshold) pengusaha kena pajak (PKP) yang tidak diwajibkan untuk memungut PPN. Ambang batas PKP tersebut biasanya dihitung dari jumlah peredaran bruto. Untuk Indonesia, ambang batas PKP adalah sebesar Rp4,8 miliar.
Dibandingkan dengan negara-negara Asean, berdasarkan data dari IBFD Country Tax Guides per 25 November 2024 dan kurs 1 Januari 2024, ambang batas PKP Indonesia cukup tinggi sehingga basis PPN Indonesia yang bisa dipungut sangat terbatas. Ambang batas PKP di Filipina sekitar Rp833,43 juta, Thailand sekitar Rp800,51 juta, Vietnam sekitar Rp63 juta. Laos dan Kamboja tidak menerapkan ambang batas PKP sehingga semua pengusaha di Laos dan Kamboja memungut PPN. Ambang batas PKP tertinggi diberikan oleh Singapura, yaitu sekitar Rp11,67 miliar. Baca Batasan Pengusaha Pungut PPN (PKP) Indonesia Tertinggi ke-2 di Asean.
Untuk pemihakan kepada masyarakat penghasilan rendah dan industri tertentu, banyak negara juga membuat kebijakan barang dan/atau jasa yang dibebaskan atau tidak dipungut PPN. Dalam konteks Indonesia, barang dan/atau jasa yang dibebaskan atau tidak dipungut, yaitu bahan makanan, transportasi, jasa pendidikan dan kesehatan, jasa keuangan dan asuransi, otomotif dan perumahan, serta air dan listrik.
Ambang batas PKP dan fasilitas pembebasan PPN di atas mengakibatkan terdapat potensi pajak yang hilang yang seharusnya dapat dipungut oleh pemerintah. Potensi pajak yang hilang tersebut disebut sebagai tax expenditure. Estimasi tax expenditure Indonesia tahun 2025 atas ambang batas PKP dan fasilitas pembebasan PPN sebesar Rp265,6 triliun (Kemenkeu, 16 Desember 2024).
Agar sesuai dengan tujuan pengenaan PPN, yaitu dikenakan kepada konsumen akhir dan bukan dikenakan kepada pengusaha kena pajak yang bertindak sebagai konsumen produktif, perlu membuat sistem restitusi PPN yang tidak menghambat cash flow pengusaha. Alasannya, restitusi PPN yang ‘terhambat’ untuk dikembalikan akan mendorong perilaku pass-through cost.
Atau dengan kata lain, PPN dibebankan sebagai biaya produksi dan ditanggung oleh konsumen akhir sehingga harga barang dan/atau jasa berpotensi menjadi naik (van Oord, 2021). Dengan demikian, restitusi harus diberikan segera (immediate refund system) begitu pembayaran pajak telah diterima oleh otoritas pajak (Orneles, 2017).
Selama 15 tahun terakhir, terdapat kecenderungan kenaikan rata-rata tarif PPN global secara perlahan. Pada tahun 2010, berdasarkan data IBFD Tax Research Platform di 126 negara yang dikumpulkan oleh DDTC Fiscal Research dan Advisory, rata-rata tarif PPN global sebesar 14,86%, tahun 2020 sebesar 15,39%.
Era pascapandemi rata-rata tahun 2022 sebesar 15,85, dan tahun 2024 sebesar 16,02%. Data ini dihitung berdasarkan rata-rata sederhana di 171 negara berdasarkan data OECD Consumption Tax Trends.
Apa yang bisa kita pelajari dari pola kenaikan rata-rata PPN secara global di atas, yang kurang lebih sebesar 1% selama 15 tahun terakhir ini?
Pertama, kenaikan tarif yang cenderung lambat menyiratkan bahwa optimalisasi PPN memiliki resep selain kenaikan tarif. Misalnya mengurangi ambang batas PKP dan/atau mengurangi fasilitas PPN. Tetapi, sepertinya pemerintah tetap ingin mempertahankan ambang batas PKP dan/atau pemberian fasilitas PPN karena dampaknya langsung dirasakan masyarakat.
Kedua, pola kenaikan tarif PPN global cenderung berlawanan arah dengan pergerakan penurunan tarif PPh. Sebagai perbandingan, selama tahun 2000-2020, terdapat tren penurunan rata-rata tarif PPh global sebesar 7% (OECD, 2020). Selain itu, terkait dengan tarif efektif beban PPh pemegang saham orang pribadi sebagai pemilik Perusahaan di Indonesia juga terjadi penurunan yang sangat signifikan.
Yaitu, awalnya sebesar 54,5% berdasarkan rezim UU PPh 2000 menjadi 32,5% berdasarkan UU PPh 2008, sekarang berdasarkan UU HPP menjadi 22%. Bandingkan dengan Thailand 55%, Malaysia 24%, Filipina 32,5%, Vietnam 55%, dan Singapura 17%. Baca Beban Pajak Perseroan dengan Pemegang Saham Orang Pribadi di Indonesia.
Terdapat dugaan bahwa potensi pajak yang hilang yang diakibatkan oleh penurunan tarif PPh dikompensasikan oleh kenaikan tarif PPN (Darussalam, 2024). Terpenting, kenaikan tarif PPN 12% harus dipertukarkan dengan penggunaan uang pajak yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. (sap)