Pardomuan Gultom,
RENDAHNYA persentase penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio masih menjadi salah satu permasalahan di Indonesia. Apalagi, dalam kurun 5 tahun terakhir, kinerja indikator tersebut terus mengalami penurunan.
Pada 2016, rasio pajak terhadap PDB tercatat sebesar 10,37%. Sekitar 4 tahun setelah itu, tax ratio bergerak dinamis dengan kencenderungan menurun. Realisasi tiap tahunnya sejak 2017 hingga 2020 secara berurutan sebesar 9,89%, 10,24%, 9,76%, dan 8,33%.
Capaian tax ratio tersebut belum memenuhi standar internasional di atas 15% (Kemenkeu, 2019). Jika dibandingkan dengan kinerja pada negara-negara di kawasan Asia Pasifik, Amerika Latin dan Karibia (LAC), serta Afrika, tax ratio Indonesia masih di bawah rata-rata (OECD, 2019).
Kinerja tersebut membuat pemerintah Indonesia mencari alternatif lain dalam menggali sumber baru penerimaan, yaitu pajak digital. Jika memperhatikan perkembangan sektor ekonomi berbasis digital pada masa pandemi Covid-19, lalu lintas internet di beberapa negara meningkat 60% (OECD, 2020).
Perkembangan tersebut didukung dengan strategi transformasi digital secara domestik di 39 negara OECD pada pertengahan 2020 (OECD, 2020). Pandemi Covid-19 membuat lalu lintas yang dihasilkan pekerjaan jarak jauh, konferensi video, hiburan digital, dan aplikasi lainnya akan melebihi 100.000 Gigabyte per detik (UNCTAD, 2021).
Peningkatan penggunaan internet yang terjadi secara global berkorelasi dengan pertumbuhan transaksi berbasis online (e-commerce). Menurut laporan GlobalWebIndex dalam Datareportal (2020), tingkat penggunaan e-commerce di Indonesia merupakan tertinggi di dunia.
Sekitar 90% pengguna internet sudah melakukan pembelian produk dan layanan online (Djufri, 2020). Hal ini tercermin dari transaksi e-commerce di Indonesia yang meningkat dalam kurun 4 tahun terakhir.
Berdasarkan pada data Bank Indonesia (BI), transaksi e-commerce di Tanah Air mengalami peningkatan dari Rp42,2 triliun pada 2017 menjadi Rp105,6 triliun pada 2018. Nilai transaksi ini terus naik menjadi Rp205,5 triliun pada 2019 dan Rp253 triliun pada 2020. Transaksi diproyeksi mencapai Rp337 triliun pada tahun ini.
Adapun dalam tataran global, pembahasan konsensus pajak digital sudah dilakukan di bawah koordinasi Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Pembahasan dimulai sejak 2013 melalui sebuah proyek untuk mengatasi base erosion and profit shifting (BEPS) melalui 15 rencana aksi.
BEPS merupakan strategi perencanaan pajak (tax planning) dengan memanfaatkan gap dan kelemahan sistem perpajakan domestik untuk menghilangkan keuntungan tersebut ke negara lain yang memiliki tarif pajak hendah, bahkan bebas pajak.
Salah satu rencana aksi BEPS mengenai tantangan akibat digitalisasi ekonomi (BEPS Action Plan 1: Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy). Melalui rencana aksi ini, ada upaya untuk mencapai konsensus mengenai hak pemajakan dan tantangan lain yang timbul dari digitalisasi ekonomi.
PENDEKATAN multilateral diambil untuk mencapai keadilan sistem pajak (fair taxation) secara global sehingga menghindari ketegangan dalam kerja sama perdagangan antarnegara yang bisa dipicu dengan aksi unilateral seperti penerapan digital service tax (DST).
Pada 2019, OECD mengeluarkan dokumen konsultasi publik yang menyimpulkan mayoritas negara setuju untuk meninjau dampak digitalisasi secara global dan aturan alokasi keuntungan. Mereka berkomitmen untuk terus bekerja sama agar mendapat solusi jangka panjang berbasis konsensus (OECD, 2019).
Akibat situasi pandemi Covid-19 yang melanda dunia, pada Oktober 2020, 137 negara Inclusive Framework OECD/G2-0 sepakat mengundur pembahasan Pilar 1: Unified Approach dan Pilar 2: Globe Anti Base Erosion (GloBE).
Hingga akhirnya, pada 9-10 Juli 2021, sebanyak 132 dari 139 negara menyepakati kedua pilar dalam pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral G-20 di Venice, Italia. Salah satu kesepakatannya adalah hak pemajakan negara pasar tidak lagi terkendala ketentuan terkait badan usaha tetap (BUT) yang mensyarakatkan kehadiran fisik.
Kesepakatan lain, perusahaan multinasional yang memiliki nilai omzet minimal €750 juta membayar pajak penghasilan (PPh) dengan tarif minimal 15% di negara domisili. Adapun teknis untuk kedua pilar tersebut akan difinalisasi dalam pertemuan G-20 pada Oktober 2021.
Konsensus yang telah dicapai ini merupakan kelanjutan dari kesepakatan negara-negara G-7 (Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Jerman, Perancis, Italia, dan Kanada) pada 5 Juni 2021. Kesepakatan tersebut sesuai dengan semangat reformasi perpajakan dalam sistem perpajakan internasional.
Dari sisi eksternal, Indonesia telah mendapat dukungan multilateral dalam penerapan kebijakan pajak digital. Namun, dari sisi internal, Indonesia perlu melakukan penyesuaian kebijakan dalam bentuk dukungan regulasi guna merespons konsensus multilateral.
Semangat reformasi sistem perpajakan internasional yang telah mencapai tahap konsensus multilateral ini dapat menjadi pertimbangan bagi DPR dalam penyusunan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Dengan demikian pengesahan RUU KUP diharapkan dapat menghasilkan produk legislasi yang baru bagi pembangunan tata kelola perpajakan di Indonesia sebagai bagian dari strategi pemulihan ekonomi nasional pascapandemi.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.