SETELAH dihadapkan tekanan akibat pandemi Covid-19, sektor pertambangan bertumbuh pesat akibat kenaikan harga komoditas yang dipicu oleh perang antara Ukraina dan Rusia. Hal ini tercermin pada neraca perdagangan Indonesia yang konsisten mencatatkan surplus.
Melihat perkembangan itu, pemerintah berencana mewajibkan eksportir komoditas hasil tambang untuk menempatkan devisa hasil ekspor (DHE) sebesar 30% di dalam negeri selama 3 bulan guna menaikkan cadangan devisa, sekaligus mempertahankan nilai tukar.
Dalam wawancara bersama DDTCNews, Plh Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association Djoko Widajatno mengatakan penempatan DHE sebesar 30% di dalam negeri selama 3 bulan akan mengganggu cashflow usaha tambang.
Mengingat mayoritas tambang mendapatkan pinjaman dari perbankan luar negeri, tidak ada ruang bagi pelaku usaha untuk menahan sebagian DHE di dalam negeri.
Tak hanya DHE SDA, ia juga turut membahas kebijakan larangan ekspor yang makin diperluas dan rencana penerapan pajak karbon atas sektor ekstraktif sebagaimana diatur pada UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Berikut petikannya:
Bagaimana pandangan Anda perihal kewajiban penempatan devisa hasil ekspor (DHE) itu?
Pada era 1998 itu ada aturan mengenai devisa bebas dan masih berlaku sampai hari ini. Dalam perkembangannya, ditumpangi dengan DHE yang akan ditahan. Menurut kami, ini menabrak aturan devisa bebas. Itu satu.
Kedua, perusahaan Indonesia ini kan umumnya tidak mendapatkan pinjaman dalam negeri. Pinjamnya dari luar negeri semua karena high risk. Bagi bank luar negeri, kami ini attractive sehingga kami bisa mendapatkan dana eksplorasi.
Tentu, pinjam ke luar negeri dan dibayarnya dari dana hasil ekspor. Karena, kalau itu dikonversi dari dolar ke rupiah, terus membayar utang pakai rupiah, kami bisa rugi. Belum lagi, spare parts itu masih dari luar, pinjaman juga dari luar. Jadi, kalau DHE ditahan 30%, berat kami.
Jadi, kebijakan itu bakal bikin kesulitan cash flow?
Kemungkinan itu ada. Karena, DHE itu kan tidak langsung begitu barang diterima, dibayar, terima uang, kan enggak. Itu harus menunggu. Nah, saat menunggu cair atau atau tidak, perusahaan sering kali sudah butuh dana segera untuk operasi.
Terpaksa pinjam pada bank yang dititipi DHE kita. Nah, tapi case by case itu perlu didiskusikan antara menteri keuangan dengan perusahaan-perusahaan yang ada ini. Bagaimana sih sebenarnya.
Kalau tidak diajak bicara, pastinya ada resistensi. Seringnya itu tahu-tahu jadi. Kami kan kebingungan bayarnya pakai apa.
Perusahaan-perusahaan besar itu melakukan leverage. Terima uang kan harganya juga tidak seperti harga di pasar. Jadi banyak hal-hal yang antara DHE ditahan dengan kemampuan dalam negeri. Belum lagi ada kebutuhan yang sangat fluktuatif dari tambang.
Alhasil, kebanyakan teman-teman kami enggak setuju. Sebab, ya itu tadi. Ada kebutuhan rutin yang diharapkan dibayar dengan dana hasil operasional. Lalu, cari pinjaman juga tidak mudah karena biaya ekonomi pinjaman di Indonesia itu sangat tinggi.
Bagaimana menurut Anda perihal insentif PPh final bunga deposito DHE?
Ya, kalau saya lebih baik jalan usahanya daripada menunggu bunga yang belum tentu datang. Bunga itu bisa dianulir kalau terjadi inflasi. Ekonomi kita timbul-timbul dan tenggelam. Jadi, stagnan untuk naik atau stagnan untuk turun.
Namun, kami bersyukur di situ karena bisa lebih menyesuaikan dengan tuntutan dunia luar. Kalau Anda suka silakan ambil. Kalau enggak, ya gimana caranya. Sebab, kami juga punya kekuatan untuk mempertahankan diri kita dari tekanan-tekanan mereka.
Untuk DHE, banyak perusahaan-perusahaan yang kalau DHE ditahan, klenger juga. Jadi, menurut saya, DHE ini masih sangat berat untuk dipaksakan. Sekarang saja, harga batu bara itu kebetulan sedang melandai.
Insentif itu kan sesuatu yang insidentil. Terus sekarang instrumentasinya DHE mau ditahan. Di satu sisi, ekspor juga mau ditahan. Terus dapat uangnya dari mana? Coba pikirkan. Ya akhirnya, current account deficit (CAD) makin membengkak.
Kebijakan DHE ini perlu bicara kepada pelaku usaha dan harus ada sistem insentif. Kalau dia baik, harusnya dia dapat insentif. Dapat reward. Kalau dia tidak beres, dapat punishment.
Jadi, DHE ini harus dikaitkan dengan berbagai macam elemen yang memungkinkan DHE ini enggak bisa diganggu gugat gitu.
Jadi, kewajiban DHE ini perlukah dipertahankan?
Isu DHE ini sangat-sangat kompleks. Namun, demi ketahanan currency Indonesia, suatu saat perlu dijalankan kewajiban untuk menahan sebagian dari DHE tadi. Akan tetapi, bukan tiba-tiba sekarang.
Nanti, kalau struktur ekonominya sudah dan ketika transparansi dan akuntabilitas dari perusahaan-perusahaan swasta dan BUMN sudah siap. Kami juga mengharapkan jaminan hukum dan kepastian berusaha.
Soal perluasan larangan ekspor mineral mentah, seperti apa implikasinya bagi sektor tambang?
Kalau berpegang pada undang-undang yang kita anut dan undang-undang dasar, bahwa yang dilarang itu memang mengekspor bijih. Kalau jadi konsentrat maka sudah mengalami processing. Berarti dia bisa dijual.
Di luar apakah komoditas yang dilarang itu termasuk konsentrat apa tidak? Menurut saya, larangan ekspor konsentrat itu sudah benar. Karena membangun pabrik di Indonesia itu tidak gampang. Contoh bikin pabrik di Morowali itu kan sampai 3 tahun.
Kalau misalnya ekspor dilarang, menurut kami, dilakukan bertahap sesuai dengan kemampuan daya serap industri hilir yang kita miliki. Namun, kalau tidak ada industri hilir, jangan dijual. Khawatir nantinya kita malah harus beli bahan baku dari luar seperti yang dialami Krakatau Steel.
Seperti kita tahu, BUMN itu hanya mengimpor scrap untuk dijadikan besi. Lalu, dijual di sini. Untuk itu, [larangan] harus bertahap supaya kita bisa bernafas. Ini harus dikontrol lembaga-lembaga yang menyangkut extractive industry.
Jadi, larangan ekspor harus bertahap sesuai dengan kemampuan dan kepentingan dari industri hilir. Kalau sekali gebuk, bisa rontok.
Selain itu, kita harus mulai mendefinisikan apa saja yang perlu diprioritaskan. Karena kalau enggak ada prioritas, larangan ekspor cuma menumpuk barang busuk. Misal, chemical alumina enggak boleh diekspor, padahal itu ada lifetime-nya.
Jadi, kalau industrinya sudah maju dan kebutuhan dalam negerinya ada, silakan disetop ekspornya.
Terkait dengan pajak karbon sejak April 2022, bagaimana pandangan Anda?
Pajak karbon itu, cara penghitungannya belum jelas. Untuk itu, dasar penghitungannya harus jelas dahulu. Kalau per ton CO2 dipajaki, itu menghitungnya dari mana CO2 itu.
Apakah sudah ekuivalen dari setiap ton bahan bakar itu CO2-nya keluarnya berapa? Kan belum ada formulanya. Jadi, kriteria penghitungan pajak karbonnya sendiri belum ada.
Bukankah di luar negeri sudah ada best practice yang bisa dicontoh?
Ya best practice di sana kan juga terukur. Kalau di kita kan belum. Yang sementara ini, sekian ton batu bara akan mengeluarkan sekian CO2 sehingga dikenakan sekian. (rig)