USAHA ritel modern menjadi salah satu sektor yang terdampak pandemi Covid-19 dalam 2 tahun terakhir. Selain karena pembatasan mobilitas, kinerja sektor ini juga terpengaruh oleh perubahan perilaku konsumsi masyarakat yang memilih berhemat dan hanya membeli barang kebutuhan pokok.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey menilai kinerja usaha ritel modern mulai berangsur pulih sejalan dengan terus membaiknya penanganan pandemi. Walaupun demikian, masih ada sejumlah ganjalan yang dapat menghambat pemulihan usaha ritel seperti disrupsi rantai pasok global.
Roy membeberkan upaya pemulihan yang telah dilakukan pelaku usaha ritel modern sejauh ini. Sosok penyuka traveling ini juga memberikan proyeksi dampak kebijakan pemerintah, seperti kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11% mulai April 2022 dan rencana ekstensifikasi barang kena cukai, terhadap konsumsi masyarakat dan pemulihan usaha ritel. Berikut ini petikan lengkap wawancaranya:
Bagaimana kinerja usaha ritel modern pada saat ini?
Saat ini ritel modern masih terdampak pandemi, sama seperti sektor-sektor yang lainnya. Alasannya, pandemi mengubah kebiasaan berbelanja atau kebiasaan konsumsi, customer behavior. Selama pandemi ini masyarakat melakukan shifting konsumsinya dari berbagai macam barang menuju kepada kebutuhan pokok saja. Terakhir, adanya PPKM dan pembatasan mobilitas masyarakat membuat orang lebih banyak di rumah. Ketiga hal ini yang membuat ritel otomatis juga terdampak.
Namun, saat ini sudah ada perbaikan. Pada tahun lalu, pertumbuhan kami tidak lebih dari 2% sampai 2,5%. Tahun ini, kami perkirakan ada kenaikan lebih tinggi 1% menjadi sekitar 3% sampai 3,5%. Ketika sebelum pandemi, pertumbuhannya bisa sampai 8%-9%, sehingga kami terpuruknya mencapai 50%.
Apa saja yang akan menjadi pendorong pertumbuhan usaha ritel modern pada tahun ini?
Penanggulangan Covid yang sudah lebih terkendali. Kalau kita bicara tahun 2020-2021, kami sangat terdampak. Kita tahu bagaimana kondisi pada Agustus tahun lalu. Tapi saat itu sudah ada yang namanya Peduli Lindungi sehingga ada kepastian pada masyarakat bahwa untuk berbelanja itu aman. Dengan Peduli Lindungi ini artinya prokes terjaga. Itu menimbulkan optimisme dan keyakinan konsumen sehingga indeks keyakinan konsumen kita meningkat.
Tahun 2022 ini perkiraan kami lebih baik. Kalau Covid terkendali, orang akan berbelanja lebih, walaupun belum disebut sebagai recovery.
Memasuki 2022, beberapa barang mengalami kenaikan harga. Bagaimana pandangan Anda?
Ini bukan semata-mata didasarkan atas konsumsi masyarakat tapi karena memang situasi dan kondisi yang terjadi bersamaan. Misalnya, peperangan yang sekarang ini terjadi menimbulkan dampak inflasi atau kenaikan harga-harga barang pokok. Barang yang perlu impor itu pasti naik.
Kedua, ada krisis energi sehingga memengaruhi harga-harga kita. Selain itu, ada yang diakibatkan perubahan cuaca sehingga menimbulkan peningkatan gagal panen. Itu semua berpengaruh karena berkaitan dengan supply and demand. Ketika demand-nya tetap, bahkan juga cenderung meningkat tapi supply-nya tetap atau menurun sehingga harga-harga naik.
Kemudian, kita punya masalah [kelangkaan] kontainer untuk membawa barang yang antarpulau, atau kalau kita bicara barang impor. Banyak hal yang menyebabkan terjadinya kenaikan itu
Berkaca dari kenaikan harga yang terjadi pada beberapa waktu terakhir, langkah apa yang harus dilakukan agar kondisi itu tidak terulang?
Pertama, kami mengapresiasi langkah pemerintah yang sudah melakukan berbagai cara, seperti pada kasus minyak goreng. Nah, ini tinggal bagaimana menemukan mengurai proses suplai atau distribusinya.
Pada minyak goreng, kita tahu bahwa harga ekspor CPO [crude palm oil] sebagai bahan baku minyak goreng itu meningkat luar biasa. Per hari ini saja sudah Rp18.000, minggu lalu sekitar Rp16.000. Ini naik terus, bersamaan juga dengan batu bara sekarang lagi memegang rekor harga tertinggi dalam satu dekade terakhir.
Kita harus memberi pasokan CPO yang cukup kepada minyak goreng, karena harga untuk minyak goreng cuma setengah dari harga ekspor CPO. Harga CPO minyak goreng Rp9.300 atau Rp10.300, sementara harga ekspor Rp18.000.
Jadi kalau boleh memilih, kita memilih yang Rp18.000 dong dan kalau bisa yang Rp9.000 dan Rp10.000 dikurangi atau sama sekali tidak ada. Tapi pemerintah sudah membuat Permendag Nomor 8 pada 1 Februari 2022, yaitu 80% diekspor tapi 20% untuk bahan baku minyak goreng.
Tapi ini kenapa masih langka dan sebagainya? Ini menandakan memang proses distribusi di Indonesia sangat besar dan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Peran pasar tradisional harus optimal, kalau hanya memasok ke ritel modern, jumlahnya terbatas di 47.000 gerai anggota Aprindo.
Kalau pasar tradisional, ada 3,6 juta pedagang pasar. Jadi pedagang pasar ini mesti dioptimalkan dulu, produsen distributor minyak goreng harus menyalurkan ke sana. Tapi pedagang pasar maunya harga lama dan produk lama diselesaikan dulu dong, sedangkan masyarakat maunya membeli yang murah.
Apalagi menjelang bulan puasa dan Lebaran, ketika konsumsi biasanya naik. Bagaimana pengusaha mengantisipasinya
Kalau untuk kebutuhan puasa dan Lebaran seperti kurma, minuman, makanan siap saji, dan sebagainya, kami sudah memenuhi sejak 3-4 bulan yang lalu. Hanya tinggal barang-barang pokok saja yang masih kurang pasokan atau belum optimal pasokannya.
Mengenai barang-barang pokok, kami setiap hari koordinasi dengan Kementerian Perdagangan. Setiap hari kita kami memberi laporan berapa PO [purchase order] kita, berapa DO [delivery order] yang kami terima, setiap hari dilaporkan. Kami terus kasih masukan kepada pemerintah.
Tarif PPN akan naik menjadi 11% mulai April 2022. Bagaimana proyeksi Anda terhadap dampaknya pada konsumsi masyarakat?
Keputusan peningkatan PPN 10% jadi 11% itu yang terdampak bukan pelaku usaha, tapi konsumen karena yang membayar PPN itu konsumen. Harga-harga sudah termasuk PPN. Jadi perlu ada juklak dan juknis yang sedang kami tunggu supaya menentukan mana yang kena 11%. Apakah bahan pokok dan penting akan kena PPN 11%? Apakah dikecualikan dulu? Kemudian, selain nonbahan pokok dan penting, apakah akan naik jadi 11%? Karena ini menyangkut khalayak masyarakat banyak.
Kemudian, apakah memang layak untuk naik tanggal 1 April? Apakah kemungkinan diundur dulu karena sekarang ini harga-harga sedang naik. Kedelai naik, dan ini juga bukan maunya kami tetapi bahan baku kedelai harus impor. Sama juga dengan daging, gula, dan sebagainya.
Dengan kenaikan harga-harga ini, apakah relevan [dimulai] tanggal 1 April? Toh ini kenaikan sedang banyak. Apakah tidak lebih baik dimundurkan menjadi 1 Juli atau 1 Januari[2023]?
Pemerintah juga memberi sinyal ekstensifikasi cukai pada produk plastik setelah ekonomi membaik. Bagaimana catatan dari Anda?
Apapun itu, kami mengerti pemerintah [membutuhkan] pemasukan. Sumber dana itu cuma ada 3: pajak, cetak uang, atau utang. Mau tidak mau dengan kondisi ini, ada pengenaan pajak. Entah itu buat plastik, buat minuman yang berkarbonasi, minuman yang bergula, dan lain sebagainya.
Kami mengerti bahwa memang alokasi dana pemulihan ekonomi nasional karena pandemi sudah hampir di atas Rp2.000 triliun atau mendekati APBN. Tapi kan kembali lagi, ini harus bijak melihatnya kapan pelaksanaan dan konkretnya dilakukan. Karena sekarang, contoh paling mudahnya, sedang bergejolak. Apakah tepat dikenakan sekarang atau nanti setelah endemi saja, setelah sudah recovery. Mudah-mudahan itu yang diambil langkahnya oleh pemerintah.
Selama pandemi, pemerintah memberi berbagai insentif pajak. Apakah sektor ritel turut memanfaatkannya?
Ritel modern tidak dapat dana PEN. Kalau ada insentif itu bukan insentif untuk ritel, tapi buat seluruh pelaku usaha yang ada di Indonesia. Ada yang namanya penangguhan PPh, kemudian pengurangan pajak, PPh impor, PPh Pasal 21, dan penangguhan yang lain sebagainya. Tapi itu tidak hanya untuk ritel.
Jadi kalau ada relaksasi fiskal perpajakan, kami melihatnya bukan untuk ritel karena kami di ritel itu lebih spesifik. Misalnya kita butuh subsidi listrik, karena sampai hari ini kita masih bayar listrik sama sebelum pandemi. Tidak ada subsidi, masih komersial yang 1.400 per Kwh, padahal kami menyiapkan sayur mayur, ikan, supaya segar harus pakai listrik besar.
Kemudian juga subsidi upah untuk pekerja, ritel tidak kebagian. Itu hanya untuk manufaktur di sektor hulu. Subsidi listrik juga untuk sektor hulu yang produksinya dari jam 12.00 malam sampai jam 07.00 pagi. Ritel jam 12.00 sampai jam 07.00 tidak mungkin buka toko, jadi kami tidak ada alokasi itu.
Kami di ritel tidak ada, karena ritel tidak dianggap sektor prioritas oleh pemerintah. Yang menjadi sektor prioritas itu kesehatan, ketahanan pangan, energi, dan pariwisata. Perdagangan ritel nggak termasuk, karena dianggap kuat, konglomerasi, korporasi, padahal banyak juga ritel modern yang tutup.
Kami cuma dikasih satu insentif pajak, yang menurut kami antara setengah hati atau full hati, yaitu PPN sewa toko. Tapi apakah semua ritel modern anggota Aprindo itu menyewa toko di mal? Tidak. Sehingga dampaknya tidak menyeluruh.
Saat ini pemerintah sedang mengadakan program pengungkapan sukarela. Bagaimana tanggapan Anda? Apakah banyak pengusaha ritel yang akan memanfaatkan?
Kalau kami, kebanyakan kebanyakan kegiatan kami di lokal, bukan ekspor atau impor. Pengungkapan itu kan kalau dan lain sebagainya, kalau kita punya aliansi, atau kita punya ritel di luar. Misalnya pada perusahaan holding yang punya ritel tapi juga punya usaha yang lain, tapi itu juga keputusan korporasinya. Sebagian besar ritel, apalagi ritel lokal, memang hanya pedagang.
Kalau zaman tax amnesty, iya, tapi yang grup atau yang terafiliasi dengan grupnya. Tapi yang lebih dari itu, tidak ada.
Dengan kondisi tersebut, stimulus apa yang dibutuhkan agar bisnis ritel dapat pulih?
Yang kami butuhkan itu menjadi sektor prioritas. Ritel ini menjadi sektor yang tergantung dengan mobilitas. Kalau mobilitas sudah lancar, pasti naik, tapi kalau mobilitas belum lancar ya tidak naik. Nah, sekarang sampai kapan mobilitas itu akan lancar karena pandemi belum selesai?
Selain itu, ritel juga tergantung pada daya beli. Kalau harga-harga sedang naik seperti ini, kapan daya beli akan recovery? Kalau kami dianggap bukan sektor prioritas, maka kami akan terus terpuruk. Padahal pada tahun 2020, kami berkontribusi bagi PDB lewat konsumsi rumah tangga sekitar 57,6%, yang 30% di antaranya kontribusi rumah tangga itu dari ritel. Kemudian tahun 2021, produk domestik bruto kami kontribusi dari rumah tangga 55,4%. Kenapa turun? Ya karena ritelnya juga turun. Jadi kontribusi kami sangat dominan.
Tenaga kerja kami juga nomor 4 terbesar. Tenaga kerja kami hampir sekitar 4,5 sampai 5 juta, yang mayoritas orang-orang fresh graduate atau lulusan baru, seperti buat SPG [sales promotion girl], kasir, dan lain-lain.
Kalau tidak menjadi sektor prioritas, artinya jangan heran juga kalau tiba-tiba sekian puluh toko tutup seperti tahun lalu.
Apa kesibukan Anda selama pandemi Covid-19?
Kesibukan saya ya sama saja memimpin asosiasi. Ritel saya kan di Hypermart dan Matahari, saya komisaris di situ. Kalau rapat juga jalan. Hari ini saja saya ada 5 rapat Zoom, dan ini sedang bersiap-siap ke Kementerian Perdagangan lagi.
Apakah ada hobi khusus yang Anda lakukan di sela kesibukan?
Hobi khusus, tidak ada. Tapi saya tetap berupaya menjaga keseimbangan. Ada keluarga, kadang traveling ke tempat yang dekat-dekat, dan melakukan kegiatan kerohanian. (sap)