PRIA asal Aceh yang juga alumnus Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) ini sudah lebih dari 35 tahun berkecimpung pada sektor energi terbarukan di Indonesia.
Mendalami teknologi panas bumi (geothermal) di University of Auckland, Selandia Baru, pria ini memiliki jejak karier di berbagai perusahaan, termasuk BUMN. Dia juga menjadi pengajar pada Program Magister Eksplorasi Geothermal Universitas Indonesia.
Aktif dalam dunia keorganisasian, sekarang dia mengemban tugas sebagai Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) sejak 2015. Dia adalah Surya Darma.
Dalam pemikirannya, Indonesia memiliki potensi luar biasa besar untuk mengembangkan energi terbarukan pada masa depan. Kebijakan fiskal, termasuk pajak, menjadi salah satu pemantik pengembangan. DDTCNews berkesempatan melakukan wawancara singkat dengan Ketua Umum METI Surya Darma. Berikut kutipannya:
Apa kabar Pak Surya?
Alhamdulillah, baik. Sehat walaupun sekarang masih dalam suasana pandemi Covid-19 yang membatasi gerak.
Apakah ada yang berubah dalam urusan pekerjaan, khususnya saat pandemi masih berlangsung seperti sekarang?
Dalam melakoni pekerjaan, masih tetap sebagaimana biasanya. Hanya saja, dalam situasi pandemi yang masih berlangsung, masih tetap bekerja dari rumah. WFH (work from home). Level PPKM (pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat) yang menurun memberi sedikit kelonggaran dalam bergerak dan pola kerja.
Sudah hampir 2 tahun kita terkurung bekerja dari rumah sebagai upaya memenuhi prokes (protokol kesehatan) melawan Covid-19. Namun, saya bersyukur juga karena selama WFH, malah bisa bekerja lebih efisien dan efektif. Efisien karena tidak banyak menghabiskan waktu di perjalanan.
Efektif karena masih tetap menyelesaikan berbagai pekerjaan dan tugas dengan baik tanpa ada kekurangan suatu apapun. Meeting dan FGD (focus group discussion) ataupun seminar yang dalam kondisi sebelum pandemi itu masih terbatas, justru selama pandemi malah mengalami peningkatan kuantitasnya tanpa mengurangi kualitasnya.
Secara kuantitas bahkan mengalami peningkatan karena bisa dijalani secara paralel menggunakan platform virtual. Demikian juga meeting international yang dulu terbatas, selama masa pandemi malah lebih mudah diakses. Hanya saja, refreshing dengan traveling yang mengalami penurunan.
Namun, selama pandemi ini saya justru memperoleh hikmah positif karena berhasil selesai menulis 3 buah buku yang sudah sangat lama saya cita-citakan.
Apa saja judul buku tersebut?
Ada Diaspora Aceh Melintas Jagad - Kiprah dan Diplomasi Diaspora Aceh Menembus Dunia serta Taman Iskandar Muda Menembus Masa sebagai buku bernuansa sejarah.
Buku ketiga adalah Manajemen Proyek dan Keekonomian Panas Bumi – Best Practice dalam Pengusahaan Panas Bumi. Masih ada 1 buku lagi yang sedang saya selesaikan tentang energi terbarukan.
Sudah berapa lama Anda terlibat aktif pada segmen energi baru dan terbarukan?
Saya bergerak di energi terbarukan sudah cukup lama, lebih dari 35 tahun. Namun, tidak termasuk energi baru. Ini karena antara energi terbarukan dan energi baru itu ada bedanya.
Energi terbarukan itu ya sumbernya dari energi terbarukan seperti air, panas bumi, matahari, bioenergi, angin, dan energi laut yang selalu dapat terbarui.
Sementara energi baru adalah energi yang bersumber dari energi terbarukan dan energi fosil tetapi pemanfaatannya menggunakan teknologi baru. Karena itu, dalam konteks ini, saya tidak bergelut dengan energi baru dalam arti yang luas.
Keterlibatan aktif saya lebih banyak dengan energi terbarukan walaupun masih ada juga ketersinggungan dengan fosil, khususnya migas (minyak dan gas). Ini karena saya lama bekerja di Pertamina. Bekerja di Pertamina adalah salah satu porsi yang terkait sejak kuliah.
Saya belajar Geologi di ITB. Jurusan ini tentu menjadi salah satu kebutuhan bagi Pertamina, khususnya di upstream business. Karena itu, ketika masuk Pertamina, saya ditempatkan di Divisi Panas Bumi Pertamina Eksplorasi dan Produksi.
Kalau sekarang ya di Direktorat Hulu Pertamina, bahkan sekarang sudah masuk Pertamina Power Indonesia. Jadi, lebih spesifik karena geothermal itu untuk power walaupun pemanfaatan geothermal itu juga bisa untuk nonlistrik.
Masuk ke [bidang] geothermal memang bukan cita-cita saya. Saat itu, geothermal masih jadi anak tiri. Walaupun sudah ada program diversifikasi dari energi fosil ke energi terbarukan, ya tetap saja tertatih-tatih.
Migas adalah penghasil devisa dan penghasil PNBP [pendapatan negara bukan pajak] terbesar untuk menunjang APBN. Bayangkan saja, migas menjadi penopang APBN lebih dari 80%. Pasti yang lain tidak jadi prioritas, termasuk geothermal.
Memang memerlukan kesabaran walaupun pengembangan geothermal adalah penugasan sejak tahun 1974 kepada Pertamina akibat krisis minyak pada perang Arab tahun 1973.
Bagaimana Anda melihat prospek energi terbarukan di Indonesia?
Jika ditanya prospek, dari dulu sejak saya berkecimpung di energi terbarukan merasa bahwa suatu saat akan jadi prioritas. Ternyata saat ini benar terjadi. Energi terbarukan akan menjadi energi utama di dunia, termasuk di Indonesia.
Saat ini proses dan program transisi dari energi fosil ke energi terbarukan sudah menjadi keharusan. Apalagi, dengan kesepakatan Paris dalam rangka mengontrol kenaikan suhu tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius pada 2050, penggunaan energi terbarukan harus diprioritaskan.
Hal ini berarti membuka prospek yang besar. Bagi Indonesia, prospek peluang ini juga bisa dipenuhi karena potensi energi terbarukan yang sangat lengkap dan banyak.
Bagaimana prospek energi terbarukan pada 2022? Apa saja tantangannya?
Jika ditanya prospek energi terbarukan pada tahun 2022, agak sulit menjawab secara tepat. Peluangnya secara teoritis kelihatannya sangat besar. Selain karena target energi terbarukan dalam bauran energi nasional sebesar 23% yang masih sangat jauh – baru terpenuhi sekitar 10% —, ada program net zero emission yang memberi peluang besar.
Namun, apakah akan menjadi prospek nyata? Hal ini masih menjadi pertanyaan karena pengalaman selama ini yang kita lihat, progres peningkatan pemanfaatan energi terbarukan sangat lambat. Tantangan utama adalah regulasi untuk mendukung pengembangan energi terbarukan masih belum seluruhnya ada. Regulasi yang ada sekarang juga sangat tidak menarik bagi investasi energi terbarukan.
Terkait pengenaan pajak karbon yang masuk dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), bagaimana posisi METI menilai kebijakan itu?
METI sangat mendukung pengenalan pajak karbon dalam UU HPP. Pajak karbon diperlukan untuk mendukung level of playing field agar penghasil energi kotor diberikan disinsentif, sedangkan penghasil energi rendah karbon diberikan insentif.
Nanti, perusahaan ekstraktif yang mengeluarkan emisi karbon lebih dari cap yang ditetapkan diharuskan membeli izin emisi (SIE) dari entitas yang mengemisi di bawah cap atau membeli sertifikat penurunan emisi (SPE/offset karbon).
Jika entitas tersebut tidak dapat membeli SIE atau SPE atas emisi di atas cap seluruhnya maka sisa emisi akan dikenakan pajak karbon. Ini dasar aturan umum. Karena itu, nanti target NDC (Nationally Determined Contribution) akan menentukan batas berapa emisi standar.
Yang bisa dikenakan pajak karbon antara lain bahan bakar fosil dan emisi yang dikeluarkan. Bahan bakar fosil dan emisi yang dikeluarkan oleh pabrik maupun kendaraan bermotor. Bahan bakar yang bisa dikenakan pajak karbon seperti batu bara, solar, dan bensin.
Soal berapa tarif, itu terserah pemerintah saja. Tiap negara memang punya kebijakan berbeda-beda. Ya, untuk kita, bisa untuk jadi pelecut saja.
Apa yang menjadi motivasi utama Anda terjun aktif dalam organisasi asosiasi usaha?
Sebetulnya, keterlibatan pada organisasi seperti METI ini diawali dengan kegiatan saya di [bidang] panas bumi (geothermal). Sebagai profesional di bidang panas bumi maka saat itu saya juga ikut dalam Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API).
Saya sempat jadi Sekum API, Wakil Ketua Umum API, dan Ketua Umum API. Saat pembentukan METI, selain individu anggota, terdapat juga beberapa asosiasi terkait sebagai organisasi pendiri dan pendukung, seperti API. Karena itu, ketika saya aktif sebagai pengurus dan Ketua API, secara moral juga bertanggung jawab mendukung METI.
Jadi, METI dilahirkan untuk kepentingan yang lebih besar dari energi terbarukan. Setelah menyelesaikan tugas sebagai Ketua API tahun 2011, saya diminta Pak Rachmat Gobel – sebagai Ketua METI yang terpilih menggantikan Hilmi Panigoro – untuk ikut bersama dalam kepengurusannya. Kemudian, masuk menjadi wakil ketua umum pengganti antarwaktu mendampingi Pak Rachmat Gobel sampai Munas (musyawarah nasional) tahun 2015.
Selama menjalankan bisnis dan menjadi pengurus asosiasi apakah ada pengalaman menarik terkait dengan kebijakan pajak?
Sebetulnya saya tidak memiliki hal khusus terkait soal pajak.
Di luar rutinitas kerja, kegiatan apa yang sering Anda lakukan?
Di luar rutinitas, saya memang senang berorganisasi dan kegiatan sosial. Dalam bermasyarakat, saya sebagai orang Aceh yang berdomisili di Jakarta, aktif dalam organisasi Aceh di Jakarta, Taman Iskandar Muda (TIM). Saya bahkan ikut dalam kepengurusan mulai dari cabang sampai pusat. Saat ini, saya menjadi Ketua Umum Pengurus Pusat TIM.
Saya aktif dalam organisasi sosial kemasyarakatan ini sudah sejak saya mahasiswa di Bandung. Kemudian, saat bekerja di Pangkalan Brandan, aktif dalam organisasi Aceh Sepakat. Demikian juga aktif dalam beberapa yayasan untuk kegiatan keagamaan, pendidikan, dan lain-lain.
Bicara hobi, kegiatan yang saya jalani itu olahraga, antara lain jalan kaki, golf dan tenis.
Apa definisi sukses menurut Anda?
Saya kira yang disebut sukses itu apabila bisa menjadikan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Bahagia dalam syukur dan bisa berbagi dengan orang lain. (kaw)