KETUA GPBSI DJONNY SYAFRUDDIN

'Pajaknya Beda-Beda di Tiap Daerah'

Dian Kurniati
Minggu, 10 Oktober 2021 | 09.00 WIB
ddtc-loader'Pajaknya Beda-Beda di Tiap Daerah'

INDUSTRI bioskop menjadi salah satu sektor usaha yang mengalami pukulan berat akibat pandemi Covid-19. Setelah penularan Covid-19 varian delta melandai, pemerintah memutuskan membuka kembali bioskop di Indonesia dengan kapasitas terbatas.

Meski demikian, operator bioskop ternyata menghadapi tantangan lain dalam memulihkan bisnisnya, yaitu meyakinkan penonton untuk dapat kembali datang ke bioskop. Upaya itu juga terbilang berat lantaran penonton diwajibkan untuk menggunakan aplikasi Peduli-Lindungi.

Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Djonny Syafruddin mengatakan operator bioskop membutuhkan intervensi dari pemerintah, termasuk terkait dengan pajak. Berikut petikannya.

Apa kesibukan Anda selama pandemi?
Saya masih biasa saja. Pandemi atau tidak, saya lebih senang di rumah. Kebetulan pandemi memang butuh orang seperti itu. Sejak dulu juga malas keluar rumah, macet.

Bagaimana kinerja industri bioskop selama pandemi Covid-19?
Sejak 2020, industri bioskop ini betul-betul buka-tutup terus. Sejak PSBB, kami baru niat buka, sudah ditutup. Akhirnya diberi izin pada Oktober 2020 sampai Juni 2021 kemarin, tetapi terus tutup lagi. Tanggal 16 [September] kemarin buka lagi, tetapi ada ketentuan-ketentuan yang harus kami patuhi, yaitu memakai Peduli-Lindungi yang ternyata tidak mudah itu.

Kenapa tidak mudah? Penerapan di daerah itu tidak semudah yang kita ucapkan. Ada yang tidak punya handphone. Ada yang handphone-nya jadul. Ada yang punya handphone Android yang baru, tetapi sinyalnya tidak ada.  

Lalu ada kelonggaran lagi. Kata Pak Luhut [Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan], yang [parameter di aplikasi Peduli-Lindungi] kuning boleh masuk. Jadi hijau dan kuning, asal ada sertifikat vaksin 2 kali, sudah boleh.

Artinya bioskop benar-benar lesu selama pandemi?
Ya, semua dari awal kan juga sulit. Mencapai 10% saja susah banget, tapi lama-kelamaan setelah 4 bulan, 6 bulan, mulai kelihatan ada titik terang. Sayangnya, begitu 9 bulan disuruh tutup lagi. Balik lagi ke titik nol.

Persoalannya kan tergantung film. Kalau di Jabodetabek tak ada izin untuk dibuka, kami enggak mau memasukkan film karena market terbesar itu ada di situ.

Saya tidak tahu statistiknya. Kalau saya lihat, 1 bioskop bisa rugi Rp150 juta dalam sebulan. Kalau CGV, katanya sudah triliunan. Saya tidak bisa memerinci, tetapi yang bioskop independen rugi sekitar Rp70 juta per bulan.

Seperti apa tantangannya untuk membuka kembali bioskop?
Sebetulnya yang namanya pengusaha, segala sesuatunya ya memang harus diusahakan. Kalau soal permasalahan, pertama ini soal vaksinasi yang belum merata. Vaksin ini sangat menentukan kepercayaan orang ke bioskop.

Kedua, banyak banget yang ngomong bioskop itu berbahaya. Saya jadi bingung karena selama 9 bulan kami buka, enggak ada klaster bioskop kok. Selain itu, dibandingkan dengan pesawat, ruangan bioskop jauh lebih luas.

Bagaimana pengusaha bioskop bertahan di tengah pandemi Covid-19?
Bioskop ini ada di seluruh Indonesia dan lebih banyak yang kolaps. Makanya bioskop saya kan saya tutup. Senin, Selasa, Rabu tutup. Nanti, Kamis, Jumat, Sabtu dibuka lagi. Kalau penontonnya hanya 5 orang kan sama saja kami melayani 50 orang atau 100 orang. Cost-nya sama.

Dengan buka-tutup ini agak lumayan dampaknya. Bebannya menjadi tidak begitu besar karena saya akali. Nanti kalau ada film bagus, mungkin bisa dibuka sejak Senin.

Adakah operator bioskop mendapatkan insentif dari pemerintah?
Tidak ada. Tidak ada yang mampir ke bioskop. Bioskop ini seperti kayak anak yatim-piatu. Bapaknya siapa, kami tidak tahu. Kemendikbud juga tidak pernah mengurusi. Padahal undang-undang mengamanatkannya di Kemendikbud. Kalau bertanya kepada Kemendikbud, katanya hanya film budaya.

Bagaimana dengan insentif pajak daerah?
Sudah tidak ada yang bisa dipajaki. Kami ini ada yang omzet sehari cuma Rp800.000 atau Rp1 juta. Padahal yang independen biasanya Rp25 juta sampai Rp35 juta.

Dukungan seperti apa yang dibutuhkan agar bioskop pulih seperti sektor lain?
Saya hanya minta jangan ada yang menakut-nakuti saja. Masyarakat tahu semua filmnya bagus-bagus, tetapi kalau ditakut-takuti kan tidak berani keluar rumah.

Kami juga mewanti-wanti pemerintah agar segera memulihkan bioskop ini. Kalau ditutup permanen semua, apa kata dunia? Itu akan menjadi isu internasional karena film Amerika tidak jadi masuk karena bioskopnya ditutup. Singapura dan Malaysia sudah lama buka padahal kasusnya lebih gawat dari kita.

Saya cuma minta dipermudah saja dulu. Pemerintah juga duitnya habis banyak. Saya tidak bicara apakah itu tepat sasaran atau tidak, tetapi untuk bioskop kami hanya minta dipermudah.

Saya juga meminta tolong regulasinya direvisi. Di UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, soal tarif pajak ini perlu direvisi. Karena kenyataannya tarif pajak bioskop itu sama dengan kelompok biliar, klub malam, dan segala macam. Tarifnya kan sampai 35%. Nah, ini tolong dikeluarkan saja dari kelompok itu.

Karena sekarang ada omnibus law, tolong kepada pemerintah pusat dapat memperbaiki itu. Pajaknya ada yang 10%, 15%, dan 35%. Berbeda-beda tiap daerah. Kalau mengubah lagi juga nanti DPRD harus rapat lagi, capek.

Di Jakarta, tarif pajaknya bisa 10%, siapa yang menurunkan? Dulu saya mendatangi DPRD, saya katakan dari GPBSI. Saya katakan kepada mereka, zamannya Gubernur Ali Sadikin, pendapatan asli daerah DKI itu bioskop.

Makanya, balas budinya Ali Sadikin membikin pusat perfilman di Kuningan, ada bioskop Citra. Sudahlah, 10% saja pak, agar sama dengan PPN [pajak pertambahan nilai]. Akhirnya turun tuh jadi 10% sampai sekarang.

Bagaimana awal mula Anda bergelut di bisnis bioskop?
Dulu saya diajak teman. Orang China-Medan, tahun 1975. Awalnya saya bekerja di Pertamina. Dia tanya berapa gaji saya, ya saya jawab cuma dapat Rp2,4 juta. Kemudian dia bilang, "Lu di sini bisa dapat Rp300 juta sebulan, gue kasih lu saham kosong." Dari situ saya masuk organisasi, yang dulu bubar tahun 2015 karena tutup semuanya. Ini yang era baru, tahun 2000-an.

Saya bikin Dakota Cinema dari nama cucu laki-laki saya. Kalau di Amerika ada Dakota sebagai nama pesawat terbang. Ini bioskop independen yang lebih banyak di kabupaten-kabupaten. Dari situ terus berlanjut dan kebetulan di organisasi ini saya sampai puluhan tahun. Jadi, ketuanya sudah 20 tahun kali.

Apa prinsip yang Anda jalankan dalam berbisnis?
Saya bekerja tanpa pamrih. Saya bekerja lillahi ta'ala untuk orang banyak. Allah sudah kasih saya banyak. Jadi ya harus juga dibagi buat yang lain-lain.

Apa hobi Anda?
Saya suka tenis. Sekarang karena pandemi sudah jarang. Kadang-kadang 2 minggu sekali. Padahal sebelumnya seminggu bisa 3 kali. Waktu masih muda, seminggu bisa 10 kali pagi, sore, malam.

Saya dulu tidak bisa tenis karena hobi saya badminton. Di situ kemudian saya saya latihan. Akhirnya saya juara 3 sekomplek. Tahun ketiga, saya bisa juara 1 sampai sekarang enggak ada yang bisa mengalahkan. Saya menekuni hobi itu. Dulu sempat bermain sepak bola, tapi karena sudah umur, tidak boleh lagi. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.