DIREKTUR AIAC AVIATION ARISTA ATMADJATI

'Kalau Demand Cepat Rebound, Harga Tiket Pesawat Bisa Mahal'

Redaksi DDTCNews
Minggu, 12 September 2021 | 09.00 WIB
ddtc-loader'Kalau Demand Cepat Rebound, Harga Tiket Pesawat Bisa Mahal'

GENAP 28 tahun, Arista Atmadjati berkarier di maskapai pelat merah Indonesia. Namun, hal tersebut tak membuatnya terjebak dalam zona nyaman bekerja di BUMN. Kini, ia sibuk mengajar di beberapa universitas di DKI Jakarta.

Selain mengajar, Arista juga dikenal sebagai pengamat penerbangan yang memberikan pandangannya di media massa, baik televisi, kolom berita cetak, dan online. Dia juga menghasilkan beberapa karya atau buku, tentunya berkaitan dengan dunia penerbangan.

Beberapa waktu yang lalu, DDTCNews berkesempatan mewawancarai Arista dan membahas hal-hal terkait dengan dunia penerbangan, mulai dari prospek bisnis, edukasi, pandemi Covid-19, dan lain sebagainya. Berikut kutipannya.

Bagaimana awalnya Anda mulai terjun ke dunia penerbangan?
Sebenarnya saya itu awalnya sebagai karyawan maskapai Garuda Indonesia. Saya itu 28 tahun di Garuda mulai 1990. Sempat break dua tahun, lalu dipanggil lagi. Jadi total 28 tahun, saya bekerja di Garuda Indonesia.

Jadi basis knowledge tentang industri penerbangan saya rasa cukup memadai. Selama berkarier di Garuda, saya sempat di dua departemen yaitu marketing dan di unit risk management. Pada 2011, saya juga menjadi dosen.

Waktu itu, dosen pada bidang penerbangan itu kan jarang. Saya diminta untuk mengajar pada beberapa universitas, walaupun saya belum pensiun kala itu sehingga posisi saya saat itu sebagai dosen praktisi.

Sejak 2014, saya sudah mengajar di UGM selama 4 tahun. Selama periode itu, saya bolak balik Jakarta-Yogyakarta untuk mengajar. Saya mengajar pada prodi Pariwisata, tetapi pegang mata kuliah penerbangan.

Lalu, saya juga mengajar di program vokasi Universitas Indonesia di Depok. Pernah juga sebagai kepala prodi Sekolah Tinggi Penerbangan di Yogyakarta dan menjadi wakil direktur akademi pariwisata di Yogyakarta, namanya Akpar Buana Wisata.

Setelah itu ke Jakarta. Saya di UI mulai 2018 hingga 2021 pada vokasi dengan pegang mata kuliah kargo udara. Dari situ, saya sekarang ini sudah 3 tahun menjadi dosen tetap di universitas yang didirikan keluarga BJ Habibie yaitu International University Liaison Indonesia (IULI).

Saya sampai saat ini masih mengajar di sana tentang kargo penerbangan, air safety, manajemen kontrol sistem penerbangan dan lain-lainnya. Nah, saya menjadi pengamat penerbangan itu mulai 2009.

Dari situ saya banyak diminta pendapat dan pandangan soal penerbangan mulai dari TV nasional, radio dan koran. Seperti saat kecelakaan Air Asia pada 2015. Saya juga sempat menjadi narasumber untuk DW Jerman.

Saya lihat selama ini ilmu penerbangan itu kan terminologinya sulit. Saya mungkin diminta pendapat oleh teman-teman media karena dapat mentransformasikan bahasa penerbangan yang sulit itu menjadi lebih mudah untuk dipahami masyarakat awam.

Saya tahu kalau kita berbicara di koran atau televisi sebagai pengamat itu sebetulnya tidak boleh terlalu teknis dapat menyampaikan keilmuan yang dimiliki. Ini kan karena pendengar dan pembaca adalah orang awam.

Dengan basis pendidikan yang beragam mulai dari SMA hingga doktor juga ada. Jadi perlu dicari jalan tengah yang tidak terlalu populer, tetapi juga tidak terlalu akademis.

Karena segmen di media itu beragam maka saya cari jalan tengah bagaimana caranya agar nilai sebagai akademisi tidak turun, tetapi mudah dipahami dengan poin-poin penting. Biasanya, saya ambil data empirik dan disampaikan dengan bahasa populer.

Tujuan saya menyampaikan edukasi bidang penerbangan kepada masyarakat itu tersampaikan. Karena orang akan menghadapi banyak isu dalam dunia penerbangan. Mulai dari keselamatan, harga tiket, syarat penerbangan pada situasi pandemi. Nah, hal-hal seperti itu saya coba sampaikan dengan bahasa populer-akademis.

Saya lakukan itu ibaratnya sudah terlanjur karena 28 tahun terjun di dunia maskapai. Saya juga aktif menulis buku. Hingga saat ini sudah ada 16 buku yang saya tulis. Ini menjadi bagian dari tugas saya sebagai dosen untuk mengumpulkan nilai kredit maka saya rutin menulis.

Mengapa memilih sebagai dosen dalam memberikan edukasi kepada masyarakat?
Jadi begini, saya berpikir sudah terlalu lama di maskapai. Maka saya pikir untuk kuliah S-2 dan akhirnya diterima dan lulus pada 2006. Pada saat itu saya ambil S2 konsentrasi manajemen marketing.

Begitu pegang ijazah saya berpikir kalau ini hanya jadi hiasan lemari maka sayang kan. Maka saya harus menjadi dosen. Alhamdulillah, saya mulai berkarier sebagai dosen di Yogyakarta. Pada awal menjadi dosen, saya masih bekerja di maskapai.

Jadi setiap menjelang akhir pekan, saya biasanya cuti dan Jumat/Sabtu untuk mengajar di Yogyakarta. Seperti yang saya jelaskan, selama di sana sempat mengajar di tiga universitas. Pengalaman mengajar itu saya bawa ke Jakarta.

Seperti apa perbedaan saat bekerja di BUMN dan menjadi dosen?
Saya itu kan bekerja di BUMN dan di Garuda itu ada banyak beban dari pemerintah karena bukan hanya urusan bisnis tetapi juga sebagai agent of development sehingga respons kepada market itu agak lambat.

Namun sisi positifnya di maskapai itu soal remunerasi. Nilai remunerasi untuk pegawai baru yang zero pengalaman itu sudah lumayan.

Saat menjadi dosen, kita bisa mengaktualisasi diri secara full seperti buat buku dan jurnal ilmiah. Itu langsung berkorelasi dengan kredit poin sebagai pengajar. Jadi kemampuan dalam menulis dan menjadi narasumber pada seminar itu diakui saat menjadi dosen. Hal itu yang saya tidak temukan saat berkarier di maskapai.

Jadi bisa dibilang Anda lebih enjoy menjadi pengajar?
Ya bisa dibilang begitu meskipun dari sisi gaji jelas masih tinggi di BUMN. Menjadi dosen itu juga tidak mudah. Banyak orang cerdas tetapi tidak bisa mentransformasikan ilmunya dengan mudah dipahami mahasiswa.

Bagaimana aktivitas mengajar saat ini, apakah sudah mulai tatap muka?
Sampai saat ini masih online. Jadi sambil mengajar, saya juga masih kuliah sebenarnya, ambil master bidang public policy pada usia 59 tahun. Saya ambil itu di School of Government & Public Policy-Indonesia, kampusnya ada di daerah Sentul, Bogor. Saya jadi mahasiswa tertua di sana.

Bagaimana Anda melihat industri penerbangan pada tahun ini di tengah pandemi Covid-19?
Dalam 1 bulan terakhir, kasus baru Covid-19 cenderung turun. Kalau tren ini bisa dipertahankan maka industri penerbangan sedikit demi sedikit bisa rebound. Cuma, saya lihat ada potensi bahaya kalau industri penerbangan ini cepat rebound.

Sekarang ini banyak maskapai yang sudah terlanjur mengembalikan pesawat kepada leasing. Saat ini, kita itu kondisinya kurang armada pesawat. Karena hampir 1,5 tahun, maskapai tidak kuat bayar cicilan pesawat atau sewa. Hal ini terjadi hampir pada semua maskapai.

Walhasil, ada kekosongan pada supply. Nah, saya khawatir nanti pada Januari 2022 dan tahun-tahun selanjutnya, seiring dengan pengendalian Covid-19 yang konsisten dari pemerintah, demand masyarakat untuk menggunakan pesawat itu naik.

Saat supply side kurang maka imbasnya adalah kenaikan tiket pesawat. Harga tiket menjadi mahal dan ini menjadi kekhawatiran saya.

Soal airport tax, apakah masih perlu untuk dibebaskan kembali tahun ini?
Sebaiknya dilanjutkan. Karena pasar belum pulih benar dan efek kerugian imbas penumpang yang drop selama 18 bulan. Ini memengaruhi revenue maskapai. Kondisi maskapai saat ini juga belum pulih benar. Jadi tetap perlu diberikan insentif PSC sehingga nafas maskapai bisa lanjut tahun depan.

Pada 2019, sempat ada wacana relaksasi pajak untuk avtur, kira-kira di tengah pandemi ini perlukah diterapkan?
Saya rasa perlu. Industri penerbangan Indonesia kan masih sangat sakit. Proses untuk recovery-nya lama sehingga perlu diberikan insentif seperti yang telah dilakukan di negara- negara lain ketika memberikan relaksasi avtur.

Seberapa besar dampaknya apabila ada relaksasi avtur bagi maskapai ini?
Komponen biaya avtur di maskapai itu sekitar 40% dari total pengeluaran. Tentu jika ada relaksasi pada avtur akan membantu maskapai, terutama yang penting itu menjaga arus kas usaha.

Di luar aktivitas mengajar apa hobi Anda?
Hobi saya itu kolektor mobil dan sepeda motor tua. Saya punya dua mobil VW kodok Beattle tahun 1963 dan Fiat Uno 174 tahun 1975.

Motor tua saya punya banyak spesialisasinya di Honda seperti C70 ada dua, C80 ada dua. Saya juga koleksi barang dan rutin menulis buku. Saya juga menjadi kolektor untuk miniatur pesawat dan suka mendengarkan musik Jazz electric.

Bagaimana Anda mengisi waktu luang selama pandemi?
Nah, ini hampir terlewat karena selama dua tahun ini saya punya majalah seperti Aero Indo Magz, itu tidak hanya bisa diakses secara online, tetapi bentuk print fisiknya ada juga. Lalu ada juga majalah Cargo Indonesia.

Jadi kalau saya pada usia pensiun seperti masih aktif mencari active income, beda dengan pensiunan lain yang sudah beralih menjadi passive income. Kemampuan menulis itu saya kembangkan dengan punya dua majalah, lalu rutin menulis buku.

Apa arti sukses menurut Anda?
Saya merasa cukup dengan semua pencapaian yang telah ada. Tetapi saya masih ingin mencapai program doktoral. Saya masih ingin mencapai itu, masih ada keinginan untuk terus menimba ilmu ke depannya.

Kalau lainnya untuk pencapaian karier dan pekerjaan, ya sudah tinggal mengembangkan saja, karena pondasinya sudah ada dengan 2 majalah itu. Saya juga dalam proses membuat lembaga pendidikan education training center bidang aviasi.

Mohon doanya Oktober tahun ini mulai beroperasi. Ini proyek join dengan beberapa teman pensiunan di Citilink dan Garuda. Jadi tinggal doktornya saja ini yang belum saya raih. Lalu, hal lain yang ingin saya wujudkan adalah membangun perpustakaan tentang penerbangan di Yogyakarta yang bisa diakses masyarakat umum. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.