LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2022

Menyusun Kebijakan Pajak sebagai Respons atas Ekosistem Metaverse

Redaksi DDTCNews
Senin, 03 Oktober 2022 | 12.25 WIB
ddtc-loaderMenyusun Kebijakan Pajak sebagai Respons atas Ekosistem Metaverse

Kristianus Jimy Pratama,

Kota Palembang, Sumatra Selatan

PERKEMBANGAN teknologi kian masif. Hal ini telah mendorong transisi terwujudnya generasi kelima dari teknologi. Salah satu karakteristik teknologi generasi kelima adalah beralihnya penggunaan model web 2.0 ke model web 3.0.

Prinsip dari model web 2.0 adalah mengandalkan pemanfaatan internet melalui operasional smart device. Sementara model web 3.0 mengandalkan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), internet of things (IoT) atau kombinasi dari keduanya (artificial intelligence of things/AIoT).

Secara konseptual, AIoT tidak sebatas mengenai relasi kecerdasan buatan pada teknologi, tetapi juga tentang tujuan untuk menerobos stagnasi pemanfaatan kecerdasan buatan pada lapisan luar teknologi yang berkembang saat ini.

Adapun pembahasan mengenai korelasi AIoT dan stagnasi juga tidak dapat dilepaskan dari diskursus terkait dengan ekosistem metaverse. Ekosistem ini menciptakan suatu konsepsi ekonomi baru, yakni meta-ekonomi.

Ekosistem metaverse bisa menjadi interpretasi virtual dari dunia yang telah ada saat ini. Penggunanya dapat melakukan kegiatan serupa yang selama ini di lakukan di dunia nyata. Kegiatan tersebut termasuk aktivitas perekonomian.

Salah satu jenis aktivitas perekonomian itu adalah kegiatan jual-beli aset virtual yang beragam jenis dan bentuknya. Goldman Sachs (2021) menegaskan transaksi atas aset virtual tumbuh positif layaknya eksistensi perdagangan elektronik berbasis sosial (social electronic commerce).

Kondisi tersebut menciptakan potensi yang besar bagi ekosistem metaverse dengan cakupan meta-ekonomi sebagai substitusi dari social electronic commerce. Artinya, bukan hanya sebagai komplementer.

Sebagai suatu inovasi, ekosistem metaverse tentu tidak lepas dari tantangan dan peluang, salah satunya terkait dengan perpajakan. Perpajakan atas aset virtual lintas geografis dan yurisdiksi ini dapat menimbulkan ketidakpastian dalam pengenaan nilai pajak kepemilikannya yang tidak mempunyai bentuk fisik (Lederman, 2007).

Dengan ketidakpastian tersebut, penghindaran hingga pengabaian pajak adalah hal yang niscaya untuk dilakukan para wajib pajak pengguna ekosistem metaverse itu sendiri (Kasiyanto & Kilinc, 2022; GSM Association, 2022).

Perlu untuk digarisbawahi, ekosistem metaverse merupakan ekosistem eksklusif yang membuat para penggunanya menjadi pihak eksklusif. Sederhananya, para penggunanya lebih banyak berasal dari kalangan masyarakat lapisan atas atau golongan high net worth individuals (HNWI).

Dalam konteks perpajakan nasional, HNWI dapat diinterpretasikan merujuk pada kelompok wajib pajak yang memiliki penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar. Terhadap kelompok wajib pajak ini terkena tarif tertinggi, yakni sebesar 35%, sesuai dengan UU PPh s.t.d.t.d UU HPP.

Menariknya, apabila sebagian penghasilan kena pajak dari kelompok HNWI ini berasal dari meta-ekonomi, regulasi perpajakannya belum komprehensif. Dengan demikian, ada celah hukum untuk mengalihkan harta atau objek pajak penghasilannya ke meta-ekonomi.

Bisa juga muncul celah pengalihan penghasilan wajib pajak badan yang terafiliasi dengan HNWI itu ke ekosistem metaverse. Tujuannya untuk menghindari pajak atau menekan besaran pengenaan pajak ke titik minimal dengan tidak melaporkan ke otoritas perpajakan (OECD, 2018).

Respons Otoritas

DENGAN kondisi tersebut, regulasi perpajakan untuk aset virtual—khususnya yang dimiliki HNWI ataupun kelompok afiliasinya—pada ekosistem metaverse menjadi hal strategis (J.P. Morgan, 2022). Oleh karena itu, perlu adanya respons dari otoritas perpajakan di setiap negara, termasuk Indonesia.

Respons itu tentu saja dalam wujud sebuah regulasi atau kebijakan. Perlu digarisbawahi, respons ini setidaknya harus memperhatikan tiga aspek, yaitu ekonomi, teknologi, dan hukum. Pada aspek ekonomi, penilaian terhadap valuasi aset virtual menjadi krusial bagi otoritas.

Hal tersebut setidaknya dilandasi oleh dua argumentasi. Pertama, valuasi aset virtual antara satu pengguna dan pengguna lain atau penyedia ekosistem metaverse dapat berbeda. Oleh karena itu, diperlukan standar yang terukur dari para regulator dalam negeri atas penilaian valuasi.

Kedua, valuasi aset virtual yang telah dinilai secara terukur itu akan menentukan besaran penghasilan kena pajak dari pemiliknya. Apabila ada peningkatan signifikan dari valuasi aset virtual, ada dorongan penambahan nilai pajak yang seharusnya disetorkan HNWI kepada otoritas.

Kemudian, pada aspek teknologi, otoritas perlu mencermati fenomena penyamaran identitas, bahkan anonim. Fenomena ini lazim dalam ekosistem metaverse. Otoritas dapat bekerja sama dengan pihak lain, seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Dengan adanya kerja sama tersebut, otoritas perpajakan nasional dapat menelusuri aset virtual wajib pajak, terutama kelompok HNWI. Dengan demikian, HNWI tidak menjadikan ekosistem metaverse sebagai second tax heaven.

Pada aspek hukum, otoritas perlu menerbitkan regulasi yang memadai, responsif, dan komprehensif. Tujuannya agar wajib pajak kelompok HNWI tidak memanfaatkan celah dan mematuhi segala ketentuan yang berkeadilan.

Arah pemajakan HNWI pada ekosistem metaverse—yang mendorong meta-ekonomi—harus mencermati ketiga aspek di atas dalam satu kesatuan. Dengan demikian, pemajakan bagi HNWI dapat berjalan secara seimbang dan memberikan kemanfaatan untuk pembangunan nasional.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.