Robi Nugrahadi,
PERKEMBANGAN digitalisasi berlangsung sangat cepat. Banyak transaksi yang tidak lagi dilakukan secara konvensional. Pembayaran atas transaksi juga tidak lagi terjadi berlangsung secara manual.
Perubahan dalam kegiatan ekonomi ini menuntut petugas pajak untuk mengembangkan sistem administrasinya. Tidak hanya Ditjen Pajak sebagai pemungut pajak pusat, tetapi juga badan pendapatan daerah (Bapenda) provinsi dan kabupaten/kota sebagai pemungut pajak daerah.
Pascaditerbitkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), ada perubahan administrasi. Salah satunya adalah penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi penduduk Indonesia.
Sesuai dengan PMK 112/2022, penggunaan NIK sebagai NPWP orang pribadi itu berlaku terbatas mulai 14 Juli 2022 sampai dengan 2023. Nantinya, mulai 1 Januari 2024, implementasi NIK sebagai NPWP berlaku secara penuh.
Dengan adanya peraturan tersebut, NIK telah menjadi single indicator sekaligus NPWP untuk menyusun basis data perpajakan. Tujuannya adalah menyederhanakan sistem administrasi pajak dan mempermudah penelusuran profil wajib pajak.
Selain itu, Ditjen Pajak dapat memperluas jaringan secara host-to-host dengan instansi daerah. Misalnya, membangun konektivitas data dengan dinas perizinan agar terjadi pertukaran data secara real time ketika ada permohonan izin.
Dengan keterhubungan data antarinstansi, Permendagri No. 112/2016 tentang Konfirmasi Status Wajib Pajak dalam Pemberian Layanan Publik Tertentu di Lingkungan Pemerintah Daerah. Juga dapat diimplementasikan dengan optimal.
Pasalnya, sesuai dengan beleid tersebut, setiap layanan kepada publik yang disediakan oleh pemerintah daerah harus mensyaratkan lunas pajak atau sudah lapor Surat Pemberitahuan (SPT) pajak penghasoilan (PPh).
Pemberlakuan NIK sebagai indikator tunggal dapat dilakukan pula untuk pajak daerah yang dipungut Bapenda. Misalnya, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) yang memakai nomor objek pajak (NOP) sebagai identifikasi objeknya bisa ditambahkan penggunaan NIK.
Dengan demikian, dalam contoh tersebut, saat dinas perizinan memasukkan data NIK pada sistem, akan muncul pula data PPh dan PBB-P2 sekaligus status pelunasannya.
Teknologi informasi yang makin maju saat ini terbukti memberikan kemudahan untuk membangun administrasi pajak lebih baik dan berkeadilan. Salah satu dampaknya terkait dengan penyusunan profil wajib pajak.
Dengan NIK, dapat disusun sebuah profil wajib pajak yang berisi nama lengkap, alamat, status pekerjaan, serta data potensi pajak dan riwayat pembayaran. Tujuannya adalah mewujudkan prinsip keadilan dalam pemungutan pajak. Artinya, pemungutan pajak harus sesuai dengan batas kemampuan wajib pajak.
SELAIN memudahkan profiling wajib pajak, teknologi juga dapat mengintegrasikan data dari beberapa sumber yang berbeda.
Misalnya, instansi pusat dengan instansi daerah. Bisa juga antara intansi pemungut pajak dan swasta, seperti perbankan, agen pengiriman barang, e-commerce, e-wallet, asuransi, serta agen keuangan lainnya.
Integrasi data tersebut juga bertujuan untuk menciptakan keadilan dalam perpajakan. Hal ini dikarenakan makin banyak arus kas orang pribadi atau badan yang menandakan perputaran ekonomi, makin tinggi pula potensi penerimaan pajaknya.
Dalam hal pelayanan pajak, peran teknologi diharapkan bisa makin optimal karena mempermudah masyarakat untuk melaporkan transaksi. Dengan kemudahan itu pula kepatuhan masyarakat untuk lapor pajak diharapkan makin tinggi.
Contoh, pemasangan alat perekam digital di hotel atau restoran oleh Bapenda. Setiap transaksi yang masuk dan tercetak dalam sebuah bill akan selalu terekam ke dalam alat yang dipasang. Secara real time, data transaksi tersebut terkirim otomatis ke dalam basis data Bapenda.
Kemudian, pemanfaatan teknologi juga diperlukan terkait dengan sistem pembayaran. Saat ini, pembayaran memakai uang digital atau e-money sudah sangat wajar. Pembayaran hanya perlu dilakukan dengan menempelkan kartu, bahkan hanya scan QR code menggunakan ponsel.
Merespon fenomena serba digital, Bank Indonesia sendiri telah merilis quick response code Indonesian standard (QRIS) yang berfungsi sebagai media pembayaran digital dari berbagai jenis penyedia uang digital.
QRIS juga dapat menjadi salah satu saluran pilihan pembayaran pajak yang saat ini telah memakai sistem kode bayar atau elektronik. Dengan adanya QRIS, kode bayar pajak tersebut dapat di-scan untuk pembayaran secara lunas dengan uang digital apapun.
Dengan demikian, teknologi informasi yang makin maju dapat mendukung peningkatan kualitas pada setiap lini administrasi perpajakan, seperti pelayanan pendaftaran dan pelaporan secara online, sosialisasi melalui media sosial, pembayaran memakai uang digital, maupun penyusunan basis data pajak secara elektronik.
Manfaat positifnya yaitu dapat meningkatkan potensi penerimaan pajak, mengurangi kebutuhan tenaga manusia, menyediakan basis data pajak yang lengkap, serta mewujudkan pemungutan pajak lebih presisi dan valid. Harapannya, terwujud keadilan bagi masyarakat.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.