Cerdas Parasian Sihombing,
BERDASARKAN pada hasil survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2019 hingga kuartal II/2020, setidaknya terdapat 196,7 juta pengguna internet di Indonesia. Jumlah itu meningkat 8,9% dari posisi pada 2018.
Data Reportal mencatat pengguna internet di Tanah Air per Januari 2021 sekitar 202,6 juta jiwa. Dari banyaknya layanan atau fasilitas, Youtube menjadi platform yang paling diminati 94% pengguna internet berdasarkan pada penelitian yang dilakukan Global Web Index (GWI).
Tidak mengherankan jika Youtube yang semula merupakan media berbagi video telah menjelma menjadi lapak baru bagi sebagian orang untuk menghasilkan uang. Mereka adalah Youtuber atau content creator.
Adapun Youtuber menjadi julukan untuk orang-orang yang mampu menarik banyak atensi penonton melalui video unggahan di Youtube serta memiliki subscribers, viewers, atau likes dengan jumlah tertentu.
Karena memiliki banyak pengikut yang setia, Youtuber ini seolah-olah memiliki power memengaruhi orang lain untuk menggunakan atau membeli suatu produk/jasa. Hal ini dimanfaatkan berbagai pelaku bisnis untuk memperkenalkan produk atau jasa kepada masyarakat luas melalui Youtuber.
Para Youtuber, dengan ketenaran dan influence yang mereka miliki, mampu meraup penghasilan dari berbagai sumber. Setidaknya ada 2 sumber utama penghasilan mereka. Pertama, AdSense. Youtuber akan mendapatkan penghasilan dari iklan yang skippable atau non-skippable di video mereka.
Penghasilan yang akan diperolah Youtuber bervariasi tergantung pada letak iklan, jumlah klik, dan jumlah penontonnya. Makin banyak orang yang menonton dan melihat iklan yang ditayangkan di video, penghasilan Youtuber akan makin besar.
Kedua, endorsement. Perusahaan atau usaha tertentu dapat meminta Youtuber mempromosikan produk melalui video unggahan di Youtube. Atas promosi yang dilakukan tersebut, Youtuber akan menerima penghasilan dengan tarif promosi yang telah ditentukan.
Bila otoritas pajak ingin memajaki penghasilan yang didapatkan Youtuber, aspek yang perlu diperhatikan adalah cara untuk mengetahui dengan pasti jumlah pemasukan yang diterima. Apalagi, AdSense tidak memaparkan secara terperinci perhitungan imbalan yang diberikan kepada Youtuber.
Tarif endorsement dari Youtuber hanya bisa diketahui bila pihak yang memanfaatkan jasa Youtuber menerbitkan bukti potong (Bupot). Bagaimana bila tidak ada Bupot atas transaksi yang telah dilakukan?
Otoritas tidak bisa hanya mengharapkan skema self-assessment. Diperlukan tindakan aktif untuk mendorong semua Youtuber berpenghasilan di atas batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) segera mendaftarkan diri dan membayar pajak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Hal tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi otoritas untuk mewujudkan prinsip nondiskriminasi pajak. Setiap orang yang menerima tambahan penghasilan dari jenis usaha atau bisnis apapun, baik dengan cara konvensional maupun digital, harus membayar pajak sesuai dengan ketentuan.
KETERSEDIAAN data menjadi sangat krusial. Otoritas membutuhkan data yang pasti terkait dengan penghasilan Youtuber. Untuk menghadapi tantangan itu, DJP ternyata telah memiliki sebuah sistem yang dapat digunakan untuk memantau media sosial wajib pajak atau dikenal dengan Soneta.
Melalui sistem itu, DJP dapat menyandingkan data pajak penghasilan (PPh) atau pajak pertambahan nilai (PPN) dengan media sosial yang ada. Namun, tidak bisa dipungkiri, pemanfaatan Soneta di lapangan masih belum maksimal.
Banyak account representative (AR) masih harus mengecek satu per satu media sosial Youtuber. AR harus mengecek jumlah subcriber, view, atau like secara manual. Pengecekan seperti ini tentu saja menghabiskan banyak waktu.
Penggunaan teknik web scraping hadir sebagai salah satu alternatif solusi untuk mendapatkan data yang akurat dengan waktu singkat. Web scraping adalah teknik pengambilan data dan informasi di internet (umumya diambil dari halaman web) untuk dianalisis sesuai dengan kebutuhan tertentu (Turnland, 2020).
Secara sederhana, dengan web scraping, otoritas bisa mendapatkan data berupa judul video, jumlah view, jumlah subscriber, tanggal publish, hingga jumlah like dengan sekejab. Data tersebut bisa digunakan untuk menaksir jumlah penghasilan yang diterima Youtuber, setidaknya dari sumber penghasilan AdSense dan endorsement.
Taksiran penghasilan yang didapat dari web scraping dapat bandingkan dengan data di socialblade.com. Social Blade merupakan situs yang menganalisis estimasi penghasilan Youtuber dalam jangka waktu tertentu.
Dengan demikian, otoritas bisa melakukan cross check atas data web scraping dengan Social Blade. Kemudian, data yang diperoleh itu disandingkan dengan data yang dilaporkan Youtuber pada Surat Pemberitahuan (SPT).
Youtuber bisa diimbau untuk melakukan pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bila belum memilikinya, melakukan pembetulan SPT, atau membayar kekurangan pajak. Cara tersebut bisa digunakan sebagai instrument untuk mendapatkan data penghasilan Youtuber.
Memajaki Youtuber memang bukanlah hal yang mudah. Diperlukan serangkaian regulasi untuk memberikan kejelasan, tekanan, dan perlindungan hukum bagi semua pihak. Perlu menciptakan kolaborasi antara otoritas pajak dan para Youtuber.
Edukasi sejak dini dan pemberian sosialisasi berkesinambungan diharapkan mampu meningkatkan kesadaran pajak para Youtuber. Sebagai langkah terakhir, skema ultimum remedium juga harus ditegakkan bila perlu guna mendongkrak peneriman pajak dari Youtuber.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.