Qadri Fidienil Haq,
KORPORASI dan individu cenderung menghindari risiko dalam pengambilan keputusan ekonomi pada masa pandemi Covid-19. Mereka lebih konservatif menggunakan uangnya. Belanja konsumsi lebih selektif hanya untuk kebutuhan utama. Investasi berisiko tinggi juga cenderung dihindari.
Kecenderungan menghindari risiko ini mengakibatkan simpanan uang di bank meningkat. Hal ini terlihat dari data dana pihak ketiga (DPK) yang ada di bank. Bank Indonesia menyebutkan DPK pada akhir Juni 2021 tumbuh 11,7% secara tahunan menjadi Rp6.723,3 triliun.
Penempatan uang di bank dalam bentuk tabungan atau deposito dianggap sebagai opsi paling aman dan rendah risiko untuk menjaga aset kas yang dimiliki. Penyimpanan uang di bank juga dapat memberikan penghasilan berupa bunga yang menambah daya tariknya.
Di sisi lain, konsumsi masih menjadi faktor penopang pertumbuhan ekonomi. Penurunan konsumsi akan berdampak kepada penurunan pertumbuhan ekonomsi. Padahal, pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Masyarakat juga bisa kehilangan lapangan pekerjaan atau pendapatan.
Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat terobosan untuk meningkatkan konsumsi masyarakat. Pada kelompok yang kaya, pemerintah dapat mendorong masyarakat agar menggunakan uangnya yang disimpan di bank untuk belanja konsumsi dengan mengurangi daya tarik penyimpanan uang di bank.
Pada kelompok menengah dan miskin, pemerintah dapat menjaga penghasilan yang diterima, termasuk dari bunga bank, untuk membantu daya beli konsumsi. Terobosan ini dapat berupa kebijakan fiskal melalui reformulasi pajak penghasilan (PPh) atas bunga dari bank.
SAAT ini, pengenaan PPh atas bunga deposito dan tabungan diatur dalam PP 131/2000 s.t.d.d. PP 123/2015. PP ini merupakan aturan pelaksana Pasal 4 ayat (2) UU PPh. Sesuai dengan peraturan tersebut, atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan dipotong PPh yang bersifat final dengan tarif 20%.
Pengecualian atas pemotongan ini diberikan kepada subjek pajak orang pribadi yang menerima seluruh penghasilannya dalam satu tahun pajak termasuk bunga dan diskonto tidak melebihi penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
Selain itu, pemotongan tidak dilakukan atas bunga dari deposito dan tabungan sepanjang jumlah deposito dan tabungan tersebut tidak melebihi Rp7.500.000. Nilai tersebut bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.
Dalam praktiknya, bank sebagai pemotong akan kesulitan untuk mengetahui nasabah orang pribadi yang penghasilannya di atas dan di bawah PTKP. Dengan demikian, bank akan melakukan pemotongan PPh atas bunga ini tanpa terkecuali jika jumlah saldonya lebih dari Rp7.500.000.
Seiring dengan perubahan nilai uang dan PTKP, ketentuan batas saldo pengecualian pemotongan perlu ditingkatkan. Langkah ini juga diperlukan untuk melindungi penabung kecil yang pada umumnya masih berpenghasilan rendah di bawah PTKP.
Sejak penerbitan aturan tersebut pada 2000, batasan saldo belum pernah ditinjau ulang. Akan tetapi, Batasan PTKP sekarang sudah meningkat berkali lipat dari patokan pada saat itu.
Sebagai gambaran sederhana, jika menggunakan PTKP pada 2000 senilai Rp2.880.000, batas saldo pengecualian pemotongan senilai Rp7.500.000 setara dengan 2,6 kali dari PTKP. Jika diproporsionalkan dengan PTKP saat ini senilai Rp54.000.000, batas saldo pengecualian pemotongan adalah senilai Rp140.625.000.
Untuk meningkatkan penerimaan pajak dan memberikan keadilan, pemerintah juga dapat mereformulasi sifat PPh atas bunga ini. Pengenaan PPh final pada dasarnya bertujuan memberikan kesederhanaan dalam pemungutan pajak dan berkurangnya beban administrasi bagi wajib pajak dan Ditjen Pajak. Namun, pengenaan PPh final ini tidak mencerminkan prinsip keadilan dan ability to pay dari setiap subjek pajak.
Sebagai ilustrasi, orang pribadi yang penghasilan tahunannya telah dikenakan lapisan tarif PPh orang pribadi (sesuai dengan Pasal 17 UU PPh) sebesar 30%, hanya perlu membayar tarif PPh atas bunga sebesar 20%.
Di sisi lain, orang pribadi yang hanya menerima penghasilan pada lapisan tarif PPh orang pribadi sebesar 5%, juga harus membayar PPh atas bunga sebesar 20%. Dari gambaran tersebut, PPh final memberikan beban yang lebih besar kepada masyarakat berpenghasilan lebih rendah.
Dengan reformulasi sifat menjadi tidak final, PPh atas bunga akan dihitung kembali pada akhir tahun dengan menggunakan tarif umum. Untuk orang pribadi, dengan tarif PPh progresif, reformulasi ini dapat menambah PPh atas bunga bagi penerima penghasilan tinggi dan sebaliknya.
Sementara itu, untuk badan, keuntungan dan kerugian atas usahanya akan memengaruhi perhitungan PPh atas bunga yang diterima. Prinsip keadilan dan ability to pay pun lebih tercermin dengan adanya reformulasi ini.
Sejalan dengan tarif umum, tarif PPh atas bunga dapat diturunkan menjadi tarif PPh Pasal 23 sebesar 15%. Dengan mempertimbangkan kenaikan batas saldo pengecualian pemotongan dan penghasilan lain yang diterima orang pribadi pada lapisan tarif PPh sebesar 15% berkisar Rp100 juta hingga Rp300 jutaan, penurunan tarif juga akan menimalisasi potensi kelebihan bayar PPh pada akhir tahun.
Dalam skema PPh tidak final, bukti potong PPh dari bank akan mempunyai peranan penting dalam menghitung PPh akhir tahun. Dengan bukti potong tersebut, wajib pajak dapat memperhitungkan kredit pajak atas PPh yang telah dipotong.
Dengan kecanggihan teknologi informasi saat ini, pemberian bukti potong dari pihak bank seharusnya tidak menjadi masalah yang terlalu berarti. Pada akhirnya, reformulasi ini diharapkan dapat menjadi kebijakan “satu kali dayung dua tiga pulau terlampaui” yaitu sebagai insentif pajak, intensifikasi pajak, dan pendorong konsumsi masyarakat.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.