Daniel Oktavianus K. S.,
INDONESIA bergantung pada perpajakan. Kalimat tersebut sepertinya makin absolut jika melihat postur APBN pada saat ini. Berdasarkan pada UU APBN tiga tahun terakhir, sumber pendapatan negara kurang lebih 83 % ditopang penerimaan perpajakan.
Makin bergantungnya APBN pada penerimaan perpajakan memunculkan tuntutan peningkatan kinerjanya. Salah satu langkah yang bisa diambil pemerintah untuk meningkatkan kinerja penerimaan perpajakan adalah melalui pengawasan kepatuhan dan perluasan basis pajak.
Pemerintah Indonesia sendiri telah melakukan langkah-langkah konkret, di antaranya dengan menerbitkan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Adapun UU Ciptaker diharapkan mampu menjadi game changer, khususnya dalam perekonomian Indonesia.
Sejalan dengan aspek perekonomian, UU Ciptaker juga memberikan asa pada dunia pertanahan Indonesia. Apalagi, berdasarkan pada data 2019, Indonesia sejatinya memiliki wilayah daratan seluas 1.916.906,77 km2.
Tanah tersebut seharusnya dapat memberikan kesejahteraan bagi negara dan 268 juta penduduk Indonesia. Nyatanya pemanfaatan tanah masih belum optimal. Salah satu faktor penyebabnya adalah penguasaan lahan yang dilakukan para spekulan sehingga membuat banyak tanah terlantar.
Padahal, dalam tingkatan jenjang hak penguasaan atas tanah, hak bangsa Indonesia menjadi yang tertinggi. (Boedi Harsono, 2013). Ataupun apabila dihitung dengan matematika sederhana, setiap penduduk Indonesia seharusnya dapat mengelola sekitar 7150 m2 daratan Indonesia.
Tidak mengherankan jika kehadiran Bank Tanah telah diharapkan sejak lama baik pada dunia pertanahan hingga perekonomian Indonesia. Kehadiran Bank Tanah sendiri diamanatkan dalam Pasal 125 ayat (1) UU Ciptaker.
Hingga akhirnya pada 29 April 2021, badan Bank Tanah makin nyata sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2021 (PP 64/2021). Berdasarkan pada beleid ini, Bank Tanah akan mempunyai 6 fungsi.
Keenam fungsi yang dimaksud adalah perencanaan, perolehan tanah, pengadaan tanah, pengelolaan tanah, pemanfaatan tanah, dan pendistribusian tanah. Namun, apakah kehadiran dan fungsi Bank Tanah dapat memberikan nilai tambah bagi penerimaan negara, terutama perpajakan?
Pada hakikatnya, bank tanah dapat diklasifikasikan sebagai subjek pajak. Bank Tanah merupakan badan. Sumber kekayaannya berasal dari APBN, pendapatan sendiri, penyertaan modal negara, dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan serta diaudit akuntan publik.
Apabila ditinjau dari fungsi Bank Tanah, tentu saja terdapat beberapa kegiatan yang termasuk objek pajak. Kegiatan Bank Tanah yang termasuk objek pajak antara lain perolehan, pengadaan, kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas tanah.
Kelima aspek tersebut dapat diklasifikasikan sebagai objek pajak karena adanya penghasilan atas transaksi pengalihan harta berupa tanah sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh.
Penghasilan yang diperoleh Bank Tanah atas transaksi pengalihan harta berupa tanah tersebut seharusnya dikenakan PPh final. Aturan mengenai pajak penghasilan atas transaksi pengalihan hak atas tanah tersebut diatur lebih terperinci melalui PP 34/2016.
Disisi lain, PP 64/2021 juga memberikan Bank Tanah berupa fasilitas perpajakan tertentu. Pasal 29 ayat (2) PP 64 menyatakan Bank Tanah dikecualikan dari kewajiban membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) dan/atau bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).
Pengecualian terhadap pengenaan PBB dan BPHTB tersebut diberikan sepanjang tidak ada tujuan untuk mendapatkan keuntungan dalam kegiatan berupa perolehan, pengadaan, kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas tanah.
Fasilitas tersebut tidak berlaku apabila Bank Tanah mendistribusikan tanah kepada pihak lain. Perolehan, pengadaan, kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan tanah oleh pihak lain akan dikenakan PBB dan/atau BPHTB.
Tidak hanya itu, ada pengenaan pajak penghasilan (PPh) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila pihak lain tersebut bukanlah masyarakat berpenghasilan rendah dan/atau untuk fasilitas sosial/umum.
Salah satu dampak positif atas hadirnya Bank Tanah adalah pemerintah akan makin mudah melakukan pengawasan terhadap pendistribusian tanah, khususnya dalam pemenuhan PPh atas pengalihan hak atas tanah. Pemerintah juga mendapat tambahan basis data perpajakan, mulai dari perolehan hingga hasil dari pemanfaatan atas tanah.
KEHADIRAN Bank Tanah juga memiliki tantangan tersendiri, terutama dalam aspek penetapan harga dan nilai tanah. Hal tersebut dikarenakan salah satu kewenangan Bank Tanah yaitu pengendalian nilai tanah.
Nantinya, nilai yang ditetapkan Bank Tanah akan menjadi dasar pengenaan pajak. Pengendalian nilai tanah bagaikan pisau bermata dua yang dapat menjadi potential gain hingga potential loss bagi penerimaan pajak apabila tidak dikelola dengan baik.
Sebagai contoh nyata, sudah menjadi hal biasa apabila dalam transaksi pengalihan tanah dan/atau bangunan antarpihak menggunakan nilai terendah antara Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan harga pasar. Langkah tersebut dapat dikatakan sebagai tax avoidance.
Sesuai dengan penjelasan pada PP 64/2021, pengendalian nilai tanah yang dimaksud adalah pengendalian terhadap harga dan nilai tanah yang ditetapkan dan dikendalikan sehingga harga menjadi wajar dan pencegahan terhadap spekulan tanah. Bank Tanah menetapkan nilai tanah menjadi wajar. Sementara itu, PP 34/2016 menentukan nilai tanah berdasarkan pada harga pasar.
Apabila melihat negara lain, misalnya otoritas pajak di Amerika Serikat Internal Revenue Service (IRS), mereka menggunakan nilai pasar wajar sebagai ukuran. IRS sendiri mendefinisikan nilai pasar wajar sebagai harga saat akan berpindah tangan di antara pembeli yang bersedia dan penjual yang bersedia.
Pembeli, dalam definisi yang disampaikan IRS, tidak berada di bawah paksaan untuk membeli. Hal serupa dialami penjual yang tidak merasa dalam keterpaksaan untuk menjual. Kedua belah pihak memiliki kewajaran pengetahuan atau fakta yang relevan.
Sementara itu, Financial Accounting Standards Board's Generally Accepted Accounting Practices (GAAP) mendefinisikan nilai wajar sebagai harga yang akan diterima untuk menjual aset atau dibayarkan untuk mentransfer liabilitas dalam transaksi teratur antara pelaku pasar pada tanggal pengukuran.
Oleh karena itu, pemerintah memang perlu menetapkan persepsi yang sama atas harga tanah untuk menghindari adanya potential loss hingga sengketa pajak terjadi pada masa mendatang.
Pada akhirnya, kehadiran Bank Tanah diharapkan menjadi asa bagi sumber penerimaan pajak baru. Ada upaya optimalisasi PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah di tengah momentum pemulihan ekonomi Indonesia.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.