LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2021

Apa Kabar Pajak Penghasilan PMSE?

Redaksi DDTCNews
Rabu, 11 Agustus 2021 | 15.00 WIB
ddtc-loaderApa Kabar Pajak Penghasilan PMSE?

Rendy Brayen Latuputty,

Jakarta Selatan, DKI Jakarta

KEGADUHAN mengenai pajak sembako dan pendidikan terjadi beberapa waktu lalu. Riaknya sesekali masih muncul sekarang ini meskipun tidak seheboh sebelumnya. Setidaknya ada hal positif dari peristiwa tersebut, yakni kesadaran akan pentingnya pajak makin tinggi.

Selain itu, kegaduhan yang terjadi di tengah masyarakat tersebut juga menjadi pengingat bagi pemerintah agar lebih cermat dan berhati-hati dalam merumuskan setiap kebijakan. Bagaimanapun hal tersebut menjadi semacam sarana kontrol masyarakat terhadap pemerintah.

Sayangnya, kegaduhan semacam itu sering kali terjadi ketika ikhtiar untuk menciptakan sistem pajak yang lebih berkeadilan sedang dilakukan. Ya, niat baik dari pemerintah kerap tak bersambut. Upaya untuk menciptakan keadilan ditolak mentah-mentah dengan dalil ketidakadilan.

Setidaknya ada dua kali rencana kebijakan yang sempat mendapat penolakan. Pertama, wacana pencantuman nomor induk kependudukan (NIK) dalam faktur. Banyak pihak secara terang-terangan menolak wacana ini.

Padahal, kebijakan tersebut penting supaya tidak ada lagi yang bisa menyembunyikan omzet/penghasilan mereka dengan pembelian menggunaan faktur pajak 000. Penolakan yang terjadi membuat pemerintah menarik kembali wacana tersebut meskipun akhirnya kini kebijakan itu berhasil diterapkan dengan adanya UU Cipta Kerja.

Kedua, rencana pengaturan pajak e-commerce. Kala itu, rencana untuk mewajibkan penyedia platform marketplace menghimpun data nomor pokok wajib pajak (NPWP) para pelapak mendapat tentangan publik.

Pemerintah disebut tidak berpihak pada UMKM. Padahal, rencana tersebut bertujuan untuk menciptakan keadilan antara pelaku usaha daring dan pelaku usaha luring. Akhirnya, setelah sempat ditunda pemberlakuannya, otoritas mencabut peraturan menteri keuangan (PMK).

Kita tentu berharap ikhtiar untuk mereformasi sistem pajak melalui revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) saat ini tidak bernasib sama. Apalagi, hingga hari ini, kita masih terus dihantam badai pandemi.

Kalau bukan dari pajak, dari mana lagi kita dapat mendanai program pemulihan kesehatan dan ekonomi yang membutuhkan biaya tak sedikit? Selain itu, reformasi kali ini tidak hanya didasari alasan budgetair. Ada motif lain yang jauh lebih mulia, yakni menciptakan sistem pajak lebih berkeadilan.

Setidaknya, ada dua indikator penting untuk menilai sistem pajak yang adil. Pertama, sistem itu harus membuat setiap orang, sesuai kemampuan masing-masing, membayar pajak sebesar yang seharusnya mereka bayar. Makin besar penghasilan, makin besar pula pajak penghasilan (PPh) yang harus dibayar.

Selain itu, tidak boleh ada ruang bagi orang-orang kaya memanfatkan fasilitas yang sebenarnya ditujukan untuk kelompok masyarakat kurang mampu. Misalnya, fasilitas tanpa pajak pertambahan nilai (PPN).

Kedua, adanya level playing field (keadilan berusaha). Maksudnya, setiap orang punya kesempatan yang sama untuk berusaha dan berhasil. Hal ini hanya akan terjadi apabila ada perlakuan pajak yang setara.

Misalnya, pelaku usaha daring dan pelaku usaha luring sama-sama dikenai pajak. Begitu pula dengan perusahaan-perusahaan asing besar yang beroperasi lintas negara. Mereka dikenai pajak sama seperti pelaku UMKM dalam negeri.

Indikator pertama sangat jelas terlihat dalam upaya reformasi sistem pajak melalui revisi UU KUP saat ini. Sebut saja mengenai penambahan tax bracket (lapisan tarif) PPh orang pribadi. Juga ihwal alternative minimum tax (AMT). Belum lagi terkait PPN multitarif. Semuanya didesain untuk memastikan setiap orang membayar pajak sebesar yang seharusnya mereka bayar.

Namun, indikator kedua tampaknya belum kentara. Lantas, kebijakan apa lagi yang cocok untuk melengkapi agenda reformasi sistem pajak yang tengah bergulir?

PPh PMSE

SAMPAI dengan saat ini, PPh perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) atau pajak transaksi elektronik (PTE) belum juga digarap pemerintah. Padahal, payung hukumnya, yakni Perpu 1/2020, sudah ada sejak lebih dari setahun lalu. Kondisi ini tentunya jauh berbeda dengan PPN PMSE yang sudah mulai diterapkan mulai pertengahan tahun lalu.

Memang, hingga saat ini, belum ada konsensus global terkait dengan jenis pajak ini. Namun, apakah kita harus terus menunggu? Tidak. Toh, ini yurisdiksi kita. Artinya, kita punya kedaulatan menentukan kebijakan pajak kita sendiri.

Seperti halnya PPN PMSE, PPh PMSE atau PTE menyimpan potensi penerimaan negara yang tidak sedikit. Basis pajaknya jelas. Bayangkan, pada tahun ini saja sampai dengan 16 Juni, setoran PPN PMSE mencapai Rp1,52 triliun. Artinya, ada omzet sebesar Rp15,2 triliun (100/10 x Rp1,52 triliun) di sana. Rasanya mubazir sekali kalau potensi sebesar itu tidak segera digarap.

Agar mangkus dan sangkil dalam pelaksanaannya, administrasi PPh PMSE atau PTE harus dibuat sederhana. Misalnya saja menggunakan sistem pajak final dengan tarif tunggal.

Hal tersebut tentunya akan memberikan win-win solution bagi pemerintah dan wajib pajak. Bagi pemerintah, biaya pengawasannya relatif lebih rendah. Begitu pula bagi wajib pajak, biaya kepatuhan mereka pun relatif lebih rendah.

Untuk tarifnya, bisa disamakan dengan tarif AMT yang sedang direncanakan, yakni 1% dari penghasilan bruto atau omzet. Dengan tarif sekecil itu saja, dalam setahun, potensi tambahan penerimaan negara yang bisa terkumpul mencapai Rp304 miliar (1% x 2 x Rp15,2 triliun). Angka yang cukup lumayan untuk mengongkosi program pemulihan kesehatan dan ekonomi nasional.

Sekali lagi, lebih dari sekadar menambah angka pada penerimaan negara, pengenaan PPh PMSE atau PTE akan memberikan warna bagi sistem pajak yang lebih berkeadilan.

Kalau kebijakan itu diterapkan, tukang gorengan, penjual martabak, dan pedagang pecel ayam tidak akan lagi merasakan adanya ketidakadilan karena harus membayar PPh final 0,5% ketika perusahaan asing besar selama ini tidak membayar PPh sama sekali di Indonesia.

Ya, penerapan PPh PMSE atau PTE akan memaksa perusahaan-perusahaan itu benar-benar membayar dan menanggung PPh di Indonesia. Hal ini berbeda dengan PPN PMSE yang sebenarnya dibayar atau ditanggung orang-orang Indonesia sendiri sebagai konsumen karena perusahaan hanya menjadi pemungut.

Dengan begitu, kita akan melihat betapa indahnya tonggak keadilan pajak yang mulai berdiri tegak. Di hadapannya kita semua dengan lantang berseru, “Pajak Kuat, Indonesia Maju!"

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Latif
baru saja
Artikel ini tidak hanya layak tayang tapi juga layak menang ...
user-comment-photo-profile
Ani Sihotang
baru saja
Ide dan poin poin pemikirannya cukup menarik. Mantap, semoga sukses Mas.
user-comment-photo-profile
Shofia Diah Prawesti
baru saja
Luar biasa tulisannya. Bisa menginspirasi banyak orang. Semoga dengan pajak indonesia makmur dan sejahtera. Pajak kuat Indonesia maju. Siiip!