Sony Budiarso,
PENERIMAAN pajak tahun ini belum menemui titik terang, seiring dengan dampak pandemi Covid-19 yang menggerus perekonomian. Terjadinya resesi pada kuartal III/2020 semakin mengkhawatirkan karena penerimaan pajak nasional terancam tidak bisa mencapai target akhir tahun.
Realisasi penerimaan pajak semester I-2020 minus 12% dibandingkan dengan capaian periode sama tahun sebelumnya. Penerimaan pajak secara keseluruhan diprediksi menurun, meskipun pemerintah sudah dua kali merevisi target penerimaan pajak 2020.
Tahun ini pemerintah menargetkan pendapatan pajak Rp 1.198 triliun. Pada saat yang sama, banyak sekali belanja untuk mengakomodasi biaya penanganan Covid-19. Pemerintah juga harus menggelontorkan pengeluaran lain untuk stimulus dan program pemulihan ekonomi.
Cara memanfaatkan pandemi ini untuk mendongkrak penerimaan pajak adalah memaksimalkan fungsi regulerend pajak. Sekilas fungsi ini memang terlihat mengurangi pajak, tetapi negara akan mendapatkan efek berganda perekonomian, yang akhirnya juga menambah setoran pajak.
Salah satu efek berganda dari insentif pajak seperti diatur PMK 28/2020, PMK 44/2020, dan yang terbaru PP 29/2020. adalah menjadi stimulus bagi wajib pajak untuk meningkatkan kepatuhannya. Dengan demikian, penerimaan pajak dipastikan akan tetap optimal.
Di tengah kondisi pandemi misalnya, insentif pajak kepada pelaku usaha akan mengoptimalkan pendapatan usaha, sehingga usaha tersebut dapat bertahan di tengah daya beli yang menurun. Akhirnya, pelaku usaha akan tetap mampu membayarkan pajaknya.
Insentif Perbankan
SALAH isu paling krusial dalam penerapan insentif ini adalah sektor usaha yang menerima insentif tersebut. Jika dicermati, sektor keuangan khususnya perbankan dan lembaga keuangan lainnya, adalah sektor yang punya andil besar dalam perekonomian.
Sebagai institusi pemberi kredit, sektor ini juga sebenarnya juga turut bertanggung jawab atas meningkatnya degradasi lingkungan akibat pemberian pinjaman. Untuk itu, sektor perbankan bisa menyusun regulasi dampak lingkungan atau perubahan iklim yang masuk dalam analisis kredit.
Sejalan dengan itu, pemerintah melalui bank dapat memberikan ‘insentif hijau’ kepada debitur yang berkomitmen menurunkankan emisi karbon dalam menjalankan usaha. Insentif ini dapat menurunkan suku bunga kredit, pelonggaran waktu pinjaman, hingga penambahan fasilitas kredit bagi debitur.
Insentif ini juga akan mendorong tumbuhnya pelaku usaha, sehingga otomatis meningkatkan kepatuhan debitur untuk membayar pajak. Pemerintah dapat memberi insentif kepada bank yang berkomitmen menerapkan ‘insentif hijau’ ini.
Insentif pajak ke sektor keuangan ini akan memicu efek berganda. Semakin banyak bank menerapkan ‘insentif hijau’, semakin banyak calon debitur mengajukan kredit ke bank tersebut. Debitur akan turut berkomitmen mengembangkan usaha dengan menurunkan emisi karbon yang dihasilkan.
Meningkatnya jumlah debitur yang mengajukkan kredit ke bank, otomatis meningkatkan pendapatan bank, seiring dengan peningkatan pembayaran pajaknya. Jumlah debitur bank di Indonesia terbilang cukup besar dengan kontribusi sebesar Rp4057,46 triliun (Otoritas Jasa Keuangan, 2019).
Sektor industri dan pengolahan, sektor yang selama ini menjadi penyetor pajak terbesar, adalah debitur bank nomor dua terbesar. Pemberian ‘insentif hijau’ akan efektif menjawab ancaman shortfall dengan optimalisasi penerimaan pajak dari efek berganda yang tercipta dari usaha tersebut.
Penerimaan ini bisa dimulai dari tambahan penerimaan dari bank dan dari penerima kredit. Insentif ini juga akan meningkatkan kepatuha pajak keduanya. Bank akan mendapatkan peningkatan pendapatan dari penurunan pajak dan peningkatan jumlah debitur.
Dari perspektif pemerintah, selain meningkatkan penerimaan, ‘insentif hijau’ juga bisa membantu pemerintah mewujudkan perbaikan lingkungan, menunjang ekosistem pembiayaan berkelanjutan, dan berbagai upaya lain untuk menjaga kelestarian alam.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.