Fikri Haikal,
TIDAK ada yang menduga akan ada sebuah virus dari China yang bisa mengguncangkan dunia. Bagaimana tidak, dampak yang ditumbulkan virus tersebut sudah dirasakan oleh seluruh aspek kehidupan, termasuk sektor ekonomi.
Pemerintah Indonesia sudah ketuk palu Covid-19 sebagai bencana non-alam yang mengguncangkan stabilitas ekonomi. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pertumbuhan ekonomi 2020 akan bergerak lambat, terutama pada triwulan II dan triwulan III.
Berbagai kebijakan mitigasi penyebaran virus diupayakan semua pihak, baik pemerintah, korporasi, hingga ke level keluarga. Mulai dari membatasi akses lalu lintas manusia dari dan menuju seuatu wilayah, menggelontorkan stimulus, menjaga jarak, hingga melarang acara yang masif.
Imbauan untuk menjaga jarak akhirnya melemahkan kegiatan ekonomi dan produktivitas pelaku usaha yang berdampak pada merosotnya penerimaan pajak. Selain itu, Covid-19 juga menekan nilai tukar rupiah hingga menurunkan daya beli masyarakat.
Ditjen Pajak (DJP) adalah salah satu instansi yang bergerak cepat merespons bencana non-alam ini. Selain mengikhaskan penerimaan pajaknya tergerus demi menstimulus ekonomi, DJP juga melalukan banyak relaksasi dan penyederhanaan proses pelayanan dan administrasi perpajakan.
Salah satunya dengan mengalokasikan insentif pajak Rp405 triliun. Insentif itu meliputi pembebasan PPh Pasal 21 karyawan dan pembebasan PPh Pasal 22 impor sektor tertentu, dan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sektor tertentu, percepatan restitusi pajak, dan penurunan tarif PPh badan.
Dampak yang dirasakan selama pandemi ini adalah produktivitas menurun. Pekerja mulai banyak dirumahkan akibat pengusaha tidak mampu membayar upah. Apakah stimulus pembebasan PPh Pasal 21 masih berlaku jika kondisi perusahaan terus mengalami penurunan?
Pokok yang harus menjadi fokus adalah laba perusahaan yang turun akibat menurunnya daya beli. Dengan demikian, kebijakan penurunan tarif PPh Pasal 25 dari penurunan tarif PPh badan dari 25% menjadi 22% diharapkan mendorong pengusaha tetap membayar pajak (Dwi Ayu, 2020).
Tujuan penerimaan pajak adalah mengisi pemasukan APBN sebagai instrumen untuk menjalankan perekonomian. Pajak merupakan bagian dari dimensi moral, etika dan sosial yang diperlukan negara untuk mensejahterakan rakyat. Karena itu, perlu transparansi perpajakan.
Sebagai bentuk pengawasan, DJP mengeluarkan Surat Edaran Compliance Risk Management (CRM), SE Dirjen Pajak No. SE/24/PJ/2019 yang ditetapkan 11 September 2020 terkait dengan ekstensifikasi, pengawasan, pemeriksaan dan penagihan.
Manajemen Risiko
PENERAPAN manajemen risiko sangat diperlukan dalam penanganan wabah ini. Bagi perusahaan, manajemen risiko dapat menciptakan nilai tambah, mengingat perusahaan mampu mengidentifikasi dan mampu mengatasi risiko yang terjadi di dalam perusahaan.
Manajemen risiko perpajakan dapat memberikan kemampuan perusahaan mengevaluasi perubahan selama pandemi Covid-19 dan dampak potensial atas bisnis yang dijalankan, sekaligus meningkatkan kenyamanan kepada semua pemangku kepentigan bahwa risiko dapat dijaga dan ditoleransi.
Dengan demikian, manajemen risiko dapat meningkatkan kepatuhan perpajakan perusahaan, yang dari sisi pemerintah membantu meningkatkan kepatuhan wajib pajak, dan memastikan strategi perpajakan selama pandemi Covid-19 dipahami dan dapat dilaksanakan selama pandemi.
Bagi perusahaan, manajemen risiko ini dapat dituangkan dalam laporan keuangan. Perusahaan mampu membuat sistem untuk mengidentifikasi risiko perpajakan selama Covid-19 dan melakukan penilaian atas risiko, sehingga dengan cepat mengeluarkan kebijakan internal atas beban pajak.
Kebijakan menerapkan strategi manajemen risiko perpajakan selama pandemi Covid-19 sangat diperlukan untuk menyokong perekonomian agar tidak mengalami perlemahan. Dengan demikian, siklus ekonomi masyarakat bisa tetap berjalan dan konsumsi masyarakat bisa meningkat.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.