LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Judi Online: Antara Risiko Sosial dan Potensi Pajak

Redaksi DDTCNews
Jumat, 27 September 2024 | 12.04 WIB
ddtc-loaderJudi Online: Antara Risiko Sosial dan Potensi Pajak

Dedi Saputra,

Kota Palembang -Ā Sumatra Selatan

JUMAT, 14 Juni 2024, presiden resmi mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Pembentukan Satuan Tugas Pemberantasan Judi Online. Pembentukan satuan tugas (satgas) ini merupakan respons terhadap maraknya kasus judi online di Indonesia yang terus meningkat sepanjang 2024. Judi online telah membawa dampak negatif pada masyarakat.

Salah satu peristiwa memilukan terjadi di Mojokerto, Jawa Timur pada Juni 2024. Seorang istri membakar suaminya akibat kecanduan judi online yang menguras keuangan keluarga. Pada bulan yang sama, di Semarang, Jawa Tengah, ada seorang pria yang gantung diri setelah sempat menggadaikan sertifikat rumah untuk judi online.

Fakta mengejutkannya adalah ada puluhan anggota DPR yang juga terlibat dalam aktivitas judi online. Penelitian yang dilakukan Ihsanudin et al. (2023) juga menunjukkan para remaja terlibat dalam berbagai bentuk judi online. Fenomena ini memperlihatkan bahwa judi online telah menjadi masalah yang merasuk ke seluruh lapisan masyarakat.

Kenyataannya, tidak ada kisah soal kecanduan judi online yang berakhir baik-baik saja. Selalu ada dampak negatif, mulai masalah keuangan, keluarga, hingga kesehatan mental. Meskipun awalnya hanya mencoba-coba, seseorang akan terdorong untuk mengulangi permainan ketika menang. Tak jarang pula ada dorongan untuk bertaruh dengan nilai lebih besar (Siringoringo et al., 2024).

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memperkirakan kerugian negara akibat judi online mencapai Rp138 triliun per tahun. Nilai ini didapat dari estimasi transaksi judi online di Indonesia mencapai US$7 miliar - US$9 miliar per tahun (Arifin et al., 2024). Kebanyakan server judi online berpusat di luar negeri, terutama Kamboja, sehingga menyulitkan upaya pemberantasan.

Perjudian, termasuk judi online, merupakan kegiatan yang melanggar hukum. Kegiatan ini terlarang di Indonesia. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengancam siapa saja yang terlibat atau menyebarkan konten perjudian dengan sanksi pidana penjara maksimal enam tahun dan/atau denda sebesar Rp1 miliar.

Selain itu, judi online juga melanggar Undang-Undang Penertiban Perjudian dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur tentang larangan perjudian di Indonesia (Ihsanudin, 2024). Namun demikian, sejalan dengan perkembangan teknologi, judi online justru makin bervariasi. Bentuknya mulai dari slot, poker, hingga sabung ayam online.

Potensi Pajak

SITUASI tersebut memunculkan pertanyaan apakah kegiatan judi online bisa menjadi sumber pendapatan pajak seperti di beberapa negara lain? Kita coba sedikit menengok ke belakang. Pada masa kepemimpinan Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI Jakarta (1966-1977), perjudian dilegalkan sebagai cara untuk meningkatkan pendapatan daerah.

Saat itu, DKI Jakarta hanya memiliki Rp66 juta dalam APBN. Dengan situasi ini, Ali Sadikin memiliki ide pengumpulan dana dengan memungut pajak dari tempat perjudian dan melokalisasi tempat tersebut agar tertib. Terlebih, pada saat itu, banyak tempat perjudian liar karena sudah menjadi budaya kelompok tertentu (Chintia, 2024).

Kebijakan lokalisasi perjudian menjadi alasan tepat bagi Ali Sadikin untuk mendapatkan pendanaan anggaran yang besar. Menurut dia, disahkannya perjudian dapat menghasilkan penerimaan untuk pemerintah dan rakyat. Terlebih, pada saat itu, DKI Jakarta membutuhkan dana untuk pembangunan.

Beberapa negara lain juga telah memanfaatkan perjudian sebagai sumber pendapatan pajak. Finlandia, misalnya, memungut pajak dari bandar judi dan pemenang judi. Hasil penerimaan dari pajak tersebut digunakan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan lewat belanja negara (Roukka dan Salonen, 2020).

Contoh lain, Australia telah mengenakan pajak terhadap permainan judi, seperti poker, lotre, kasino, dan balap pada 1985-1997. Sektor perjudian berkontribusi besar terhadap penerimaan pajak negara tersebut. Pada 1997, poker menyumbangĀ 54% pendapatan negara dari perjudian sekaligus menjadi yang tertinggi pada saat itu (Smith, 2000).

Dalam konteks saat ini, pemerintah Indonesia harus bergerak cepat untuk membuat kebijakan pajak. Australia merupakan negara yang dapat dicontoh. Indonesia memang tidak harus mengikuti keseluruhan dari skema pajak Australia. Pemerintah bisa mengenakan pajak dalam skema top-up judi online yang terjadi di Indonesia.

Sebagai contoh, setiap kali pemain melakukan top-up atau deposit senilai Rp10.000, pemerintah bisa mengambil 10% sebagai pajak. Dengan demikian, pemain hanya menerima Rp9.000 untuk berjudi, sedangkan Rp1.000 sisanya masuk sebagai pajak. Jika diterapkan, pajak ini bisa menghasilkan pendapatan yang signifikan bagi negara.

Jika dihitung dengan estimasi kerugian negara Rp138 triliun yang disampaikan di awal, skema pajak 10% dapat menghasilkan penerimaan sekitar Rp13,8 triliun. Tentu saja potensi pajak ini dapat diambil jika ada dukungan dari pihak lain. Pemerintah perlu bekerja sama dengan banyak pihak sehingga tidak ada celah atas kebijakan pajak tersebut.

Otoritas dapat bekerja sama dengan semua perusahaan teknologi produsen handphone yang masuk di Indonesia. Hal ini dikarenakan kebanyakan transaksi judi online lewat handphone. Kemudian, pemerintah pada akhirnya juga harus bekerja sama dengan bandar judi baik di dalam maupun di luar negeri. Kemudian, pihak kepolisian juga perlu digandeng.

Pengaturan Ketat

SELAIN itu, batasan ketat harus diterapkan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini dilakukan untuk mencegah mereka terjerat dalam kecanduan judi. Hal ini berangkat dari pengalaman di Finlandia yang penerimaan pajaknya banyak disumbang dari pemain judi dari kelompok masyarakat berpendapatan dan berpendidikan rendah.

Salah satu cara yang dapat diterapkan adalah melibatkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam pembuatan akun judi online. Batasan umur juga harus diterapkan, yakni 18 tahun ke atas. Kemudian, syaratnya harus memiliki pekerjaan sehingga memiliki pendapatan tetap perbulannya. Dengan begitu, hanya orang-orang dengan aset dan penghasilan yang cukup yang diizinkan bermain.

Pemerintah juga bisa mempertimbangkan untuk mempermudah akses bagi wisatawan asing yang ingin berjudi di Indonesia, baik secara online maupun offline (misalnya di Bali). Hal ini dilakukan sebagai cara untuk meningkatkan devisa negara karena kunjungan turis. Namun, kembali lagi, aturannya harus dibuat sangat ketat.

Secara keseluruhan, judi online bisa menjadi potensi sumber pajak. Namun, harus diatur dengan hati-hati agar tidak merusak tatanan sosial masyarakat. Pemerintah perlu mempertimbangkan langkah-langkah inovatif dalam mengatasi masalah judi online, sekaligus mencari solusi untuk memanfaatkan potensi pajaknya.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
TrafagaltarDlaw 07
baru saja
Pinjol harus diberangus sangat setuju
user-comment-photo-profile
Youtober Pemula
baru saja
Tulisan ini adiknya pak dosen, berbobot dan layak menang. ide yang menarik.
user-comment-photo-profile
Jajang Saputra
baru saja
Setuju, saya sepakat dengan saran dari atrikel ini
user-comment-photo-profile
Japghak
baru saja
Setuju sih sama artikel ini. Tax the bads, macem Judi online ini, alkohol, rokok, dan lainnya. Perlu untuk lebih diintensifkan lagi.
user-comment-photo-profile
ulfi lubis
baru saja
Kalau pajak judi online tetap sama dengan pajak lainnya, semua kalangan bisa coba-coba. Kayaknya kalau pajaknya dinaikkan, minimal topup ditentukan, maka yang akan bermain hanya kalangan yang mampu ga sih? Kaum mendang mending kayaknya akan berpikir dua kali kalau potongan topup tinggi dan minimal topup tinggi.