Edmalia Rohmani,
TAHUN ini Bank Dunia (World Bank) kembali mengategorikan Indonesia ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah atas. Namun, naiknya status ini tidak lantas menjamin Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah.
Menurut Badan Kebijakan Fiskal (BKF), dibutuhkan pertumbuhan ekonomi pada rentang 6% hingga 7% secara konsisten untuk menjadikan Indonesia sebagai negara berpendapatan tinggi sebelum 2045.
Salah satu faktor yang mampu mengungkit pertumbuhan ekonomi negara adalah kegiatan riset dan inovasi. Dalam hal ini, riset dan inovasi dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas sehingga memungkinkan suatu negara memproduksi barang dan jasa yang kualitasnya lebih tinggi dengan biaya yang lebih rendah.
Selain itu, adanya inovasi memungkinkan perusahaan untuk memproduksi barang dan jasa dengan nilai tambah lebih tinggi, yang dapat dijual dengan harga premium di pasar internasional. Hal ini akan menciptakan industri yang lebih kompetitif di tingkat global. Kegiatan riset juga membuka peluang untuk mengembangkan sektor-sektor ekonomi baru dan mengurangi ketergantungan pada sektor-sektor tradisional.
Namun, penempatan anggaran penelitian dan pengembangan (litbang) atau Gross Expenditure on Research and Development (GERD) di Indonesia masih sangat rendah. Dikutip dari Wikipedia, pada 2020 anggaran litbang Indonesia hanya US$2 miliar, atau setara 0,31% dari PDB berdasarkan pendekatan purchasing power parity (PPP).
Guna mendorong kegiatan litbang, pemerintah pun menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) 45/2019 dan PMK 153/2020. Beleid tersebut mengatur pemberian fasilitas perpajakan bagi perusahaan yang mendorong kegiatan litbang. Wajib pajak yang melakukan kegiatan litbang tertentu di Indonesia dapat diberikan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 300% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan litbang tersebut.
Menurut Laporan Belanja Perpajakan 2021, sampai dengan 20 September 2022 telah tercatat 23 pelaku usaha yang memanfaatkan fasilitas superdeduksi ini. Bila dilihat dari fokus litbang dalam proposal yang diajukan, 3 besar tema penelitian adalah pangan; farmasi, kosmetik, dan alat kesehatan; serta kimia dasar berbasis migas dan batu bara. Sehingga masih terdapat 8 tema litbang lainnya yang perlu lebih dioptimalkan pemanfaatannya.
Dari lokasi pelaku usaha yang melaksanakan litbang, diketahui sebagian besar masih berpusat di Pulau Jawa. Hal ini mengindikasikan perlunya sosialisasi yang lebih luas bagi para pelaku usaha tentang manfaat fasilitas perpajakan ini.
Perluasan Tema Insentif Fiskal Litbang
MENURUT Profesor Ricardo Hausmann (2021) dari Growth Lab Harvard, apabila Indonesia ingin lolos dari jeratan negara kelas menengah, pemerintah harus bekerja keras menggenjot kinerja sektor manufaktur. Meskipun sektor ini sempat tumbuh cepat, kecepatannya masih kalah jika dibandingkan negara lain.
Hausmann mengatakan hal tersebut terjadi lantaran masih lambatnya transformasi ekonomi di Indonesia, sebagai dampak lemahnya daya kreasi industri manufaktur Indonesia.
Menurut data yang dimilikinya, berdasarkan analisis keunggulan komparatif pada periode 1990-2000 dan 2013-2015, jumlah produk baru yang dihasilkan dari industri manufaktur di Indonesia hanya 15 produk dengan nilai US$7 miliar.
Angka ini jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan daya cipta produk baru yang dihasilkan oleh industri manufaktur di Vietnam yang mencapai 44 produk dengan nilai US$122 miliar atau Malaysia dengan 30 produk senilai US$12 miliar pada periode yang sama.
Rupanya, industri manufaktur belum masuk 11 tema yang menjadi fokus insentif superdeduksi di bidang litbang. Untuk itu, penulis mengusulkan agar industri manufaktur ditambahkan ke dalam daftar tema tersebut.
Selain industri manufaktur, perluasan tema juga dapat dilakukan pada sektor lain, seperti yang dilakukan oleh Korea Selatan. Negara ini termasuk yang sukses menerapkan fasilitas perpajakan litbang.
Berdasarkan persentase dari total insentif pajak untuk investasi perusahaan di Korea Selatan, kredit pajak litbang merupakan yang terbesar. Pada tahun 2019, insentif pajak litbang menyumbang 43% dari total dukungan pemerintah untuk litbang perusahaan di Korea Selatan.
Berdasarkan Undang-Undang Perlakuan dan Pengendalian Pajak Khusus (STTCL) Korsel, pengeluaran litbang yang memenuhi syarat untuk kredit pajak dikategorikan ke dalam 3 bidang teknologi, yakni bidang umum, bidang mesin pertumbuhan baru dan teknologi inti, serta bidang teknologi industri strategis nasional. Secara spesifik, teknologi industri strategis mencakup sektor semikonduktor, baterai sekunder, vaksin, hidrogen, dan mobilitas masa depan.
Selain perluasan tema insentif di atas, pemerintah juga dapat mempertimbangkan skema kredit dan pengurangan pajak untuk memfasilitasi transfer teknologi antarperusahaan. Tujuan fasilitas ini adalah untuk meningkatkan kompetensi teknis dan pemulihan dana yang diinvestasikan dalam teknologi dengan lebih efisien.
Contohnya di Korea Selatan, terdapat insentif pengurangan PPh Badan sebesar 50% atas pendapatan yang diperoleh UKM dan perusahaan skala menengah tertentu dari pengalihan paten kepada warga negara Korea Selatan. Selain itu, Korea Selatan juga memberikan kredit pajak sebesar 25% atas penghasilan yang diperoleh UKM dan perusahaan skala menengah dari penyewaan hak paten atau hak model utilitas di mana perusahaan itu pertama kali mengajukan pendaftaran hak tersebut.
Dengan mengadopsi beberapa kebijakan tersebut, diharapkan pemanfaatan fasilitas perpajakan di bidang litbang dapat sungguh-sungguh memberikan dampak yang signifikan bagi Indonesia. Pada akhirnya, Indonesia mestinya bisa meraih titel sebagai negara berpendapatan tinggi sebelum usianya mencapai satu abad nanti.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.