Aulia Irfan Mufti,
TAHUN 2024 menjadi salah satu momentum penting bagi masyarakat Indonesia karena adanya pesta demokrasi. Antusiasme masyarakat akan dibarengi dengan ekspektasi tinggi terhadap rencana kerja, terutama yang menyangkut mayoritas publik, dari para calon pemimpin negara.
Sayangnya, pesta demokrasi di Tanah Air jarang diwarnai dengan diskusi rencana kerja atau program pada bidang perpajakan. Sebagai komponen terbesar dalam struktur pendapatan negara, perpajakan jelas menyangkut kepentingan masyarakat banyak.
Gagasan perpajakan yang membangun tentu dapat memberi manfaat strategis bagi pembangunan masyarakat Indonesia. Salah satu isu yang menarik untuk dibahas para calon pemimpin negara ini adalah mengenai implementasi pajak karbon.
Pajak karbon adalah pajak atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif pada lingkungan hidup. Pajak ini dikenakan atas aktivitas yang menghasilkan karbon dan penjualan barang yang mengandung karbon.
Implementasi pajak karbon bertujuan untuk mengubah perilaku usaha. Harapannya, adanya pajak karbon dapat turut mengurangi emisi gas karbondioksida dan gas rumah kaca serta menurunkan tingkat pemanasan global.
Pengenaan pajak karbon di Indonesia sejatinya sudah masuk dalam Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kendati demikian, hingga saat ini, pemerintah masih belum menerapkan pengenaan pajak karbon. Desain teknis kebijakan masih disusun.
Bagaimanapun, desain kebijakan perpajakan yang komprehensif dan berkeadilan dibutuhkan untuk mendukung kesuksesan implementasi pajak karbon. Isu-isu penting juga harus dipertimbangkan secara matang agar pengenaan pajak karbon dapat berjalan secara produktif.
Salah satu aspek penting yang perlu dianalisis adalah tentang regresivitas pajak karbon. Walaupun pengenaan pajak karbon bertujuan untuk mengubah perilaku bisnis menjadi lebih sehat, penting untuk dipahami bahwa penanggung beban atas pajak karbon sesungguhnya adalah masyarakat sebagai konsumen akhir produk.
Apabila ada ketimpangan ekonomi dalam masyarakat suatu negara, terdapat kemungkinan distribusi beban pajak karbon pun tidak akan seimbang. Dengan demikian, pajak karbon kemungkinan besar akan berdampak regresif, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (Andersson & Atkinson, 2020; Grainger & Kolstad, 2009).
Pengenaan pajak karbon sejatinya memang dapat meningkatkan jumlah pendapatan negara. Sebagai contoh, implementasi pajak karbon di Finlandia dan Denmark berhasil meningkatkan pendapatan perpajakan hingga 0,3% dari produk domestik bruto (PDB) masing-masing negara tersebut (Gale et al., 2013).
Untuk Indonesia sendiri, Alonso & Kilpatrick (2022) memproyeksi implementasi pajak karbon dapat meningkatkan pendapatan perpajakan sebesar 1,7% dari PDB. Potensi yang besar tersebut dapat dimanfaatkan pemerintah untuk menanggulangi dampak regresif dari implementasi pajak karbon.
Dengan demikian, perlu untuk menjawab pertanyaan kunci, yakni kebijakan apa yang tepat untuk menanggulangi isu regresivitas dari pajak karbon di Indonesia?
PENGENAAN pajak karbon di Indonesia menyebabkan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah berisiko menanggung kerugian hingga mencapai 7,5% dibandingkan dengan konsumsi awal kelompok tersebut (Alonso & Kilpatrick, 2022).
Jumlah tersebut bahkan lebih besar daripada kerugian yang harus ditanggung oleh kelompok masyarakat terkaya. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan tingkat konsumsi atas carbon-based products. Kelompok masyarakat berpenghasilan rendah ternyata lebih banyak mengkonsumsi listrik, yang sangat terdampak atas pajak karbon, ketimbang kelompok masyarakat terkaya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah merupakan kelompok masyarakat yang paling rentan sekaligus terdampak atas implementasi pajak karbon di Indonesia nantinya.
Untuk menanggulangi risiko lebih lanjut dari regresivitas pajak karbon, pemerintah harus memanfaatkan kembali (recycle) uang yang diterima dari pajak karbon kepada masyarakat terdampak secara efektif (Grainger & Kolstad, 2009).
Sebenarnya, terdapat banyak strategi yang dapat diterapkan pemerintah. Namun, semua strategi tersebut dapat dirangkum menjadi 3 pendekatan. Pendekatan pertama adalah product-based approach, yaitu strategi penanganan risiko regresivitas dengan berfokus pada jenis produk terdampak pajak karbon.
Produk yang menjadi sasaran adalah produk dengan karakteristik memiliki porsi signifikan dalam konsumsi agregat serta belum tersedia produk substitusinya bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Contoh produk yang dapat menjadi sasaran pendekatan ini adalah listrik.
Alonso & Kilpatrick (2022) menjelaskan listrik merupakan salah satu komoditas yang sangat terdampak yang pada gilirannya berpengaruh pada beban kenaikan harga. Listrik juga memiliki porsi konsumsi yang signifikan bagi konsumsi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
Dengan adanya kebijakan pajak karbon, dapat dipastikan bahwa biaya listrik yang harus ditanggung masyarakat juga akan naik. Tingkat permintaan secara nasional pun dapat terdistorsi secara signifikan apabila pemerintah tidak mempunyai kebihakan penanggulangan yang memadai.
Untuk melindungi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, pemerintah dapat meningkatkan belanja subsidi listrik, khususnya untuk golongan tarif yang memang dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat tersebut.
Peningkatan subsidi listrik akan memberikan win-win solution bagi semua pihak. Bagi penyedia listrik, akan ada ruang untuk menjaga margin sehingga keuangan perusahaan tetap dalam kondisi baik. Sementara itu, konsumsi atas listrik dapat tetap terjaga tanpa harus memengaruhi konsumsi atas produk lainnya.
Pendekatan kedua yang dapat dilakukan untuk menanggulangi regresivitas dari pajak karbon adalah income-based approach. Pendekatan ini dilakukan dengan melindungi penghasilan dasar dari kelompok masyarakat terdampak.
Perlindungan itu dilakukan atas kemungkinan penurunan nilai manfaat akibat implementasi pajak karbon. Langkah yang dapat diambil adalah penyaluran uang dari pemerintah kepada masyarakat terdampak.
Pajak karbon akan mengambil porsi tertentu dari penghasilan masyarakat terdampak sehingga akan mengurangi porsi konsumsi awal. Penyaluran transfer uang dari pemerintah akan membantu masyarakat terdampak melindungi tingkat konsumsi sekaligus menjaga tingkat permintaan secara nasional.
Kemudian, pendekatan ketiga adalah tax-based approach. Pendekatan ini menjadi alternatif strategi yang juga dapat dipertimbangkan untuk meredam regresivitas pajak karbon di Indonesia. Pendekatan ini dilakukan dengan melindungi tingkat penghasilan setelah pajak bagi masyarakat terdampak.
Cara yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan batasan penghasilan tidak kena pajak (PTKP), khususnya untuk lapisan yang memang berkaitan dengan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
Namun demikian, strategi ini memiliki kelemahan tersendiri. Hal ini dikarenakan strategi tersebut hanya bermanfaat untuk sebagian kelompok masyarakat terdampak yang memang bekerja sebagai karyawan dan telah memiliki penghasilan melebihi batasan PTKP saat ini.
Pada akhirnya, kembali lagi, perlindungan terhadap kelompok masyarakat terdampak regresivitas pajak karbon merupakan tugas penting dari pemerintah.
Selain dapat menanggulangi dampak regresivitas, rancangan kebijakan pajak karbon yang memadai juga dapat meningkatkan kelancaran proses politik serta keadilan yang dirasakan masyarakat (Andersson & Atkinson, 2020).
Kebijakan komprehensif, prudent, serta efektif karena dukungan kombinasi strategi yang baik diperlukan untuk menjamin kelancaran implementasi pajak karbon di Indonesia pada masa yang akan datang.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.