Waluyo,
Pertanyaan:
NAMA saya Suhadi dan saat ini saya menjabat sebagai kepala bagian perkreditan suatu bank yang berlokasi di Jakarta. Saat ini, banyak nasabah saya yang merupakan UMKM yang terkena dampak Covid-19 sehingga mengalami kendala pembayaran pinjaman.
Saya ingin menanyakan bagaimana kebijakan pemerintah terhadap beban bunga dan pembayaran angsuran pokok pinjaman yang tidak dilunasi tersebut dalam aspek akuntansi maupun perpajakan bagi perusahaan kami dalam kaitannya dengan PSAK 71? Apakah ada fasilitas pajak bagi perbankan terkait hal ini?
Jawaban:
TERIMA kasih atas pertanyaan Pak Suhadi.
Untuk menjawab pertanyaan Bapak, pertama-tama kita dapat merujuk pada SP 28/2020 yang diterbitkan oleh OJK tertanggal 15 April 2020. Secara garis besar, dokumen ini memberikan panduan untuk penerapan PSAK 71 dan PSAK 68 bagi lembaga perbankan dan pembiayaan untuk melakukan skema restrukturisasi atas kredit maupun pembiayaan di masa pandemi Covid-19 dengan mengacu pada POJK 11/2020.
Selain itu, panduan tersebut juga berkaitan erat dengan penerapan PSAK 8 atas suatu peristiwa tertentu setelah periode pelaporan perbankan berdasarkan pedoman Standar Akuntansi Keuangan yang diterbitkan oleh DSAK-IAI tertanggal 2 April 2020.
Terdapat empat poin kewajiban perbankan yang diatur dalam SP 28/2020. Pertama, mematuhi dan melaksanakan POJK 11/2020 dan secara produktif mengidentifikasi debitur-debitur yang selama ini berkinerja baik tapi kinerjanya menurun karena terdampak Covid-19.
Kedua, menerapkan skema restrukturisasi mengacu pada hasil asesmen yang akurat disesuaikan profil debitur dengan jangka waktu selama-lamanya satu tahun dan hanya diberikan pada debitur-debitur yang benar-benar terdampak Covid-19.
Ketiga, menggolongkan debitur-debitur yang mendapatkan skema restrukturisasi dalam stage 1 sehingga tidak diperlukan tambahan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN). Keempat, melakukan identifikasi dan pengawasan secara berkelanjutan serta berjaga-jaga untuk tetap melakukan pembentukan CKPN.
Poin keempat tersebut dipersiapkan apabila debitur-debitur yang telah mendapatkan fasilitas restrukturisasi tersebut ternyata kinerjanya menurun karena terdampak Covid-19. Dengan demikian, kinerja keuangannya tidak dapat pulih setelah dilakukan restrukturisasi atau setelah wabah berakhir.
Untuk mencermati aspek pemajakannya, kita perlu mengamati perlakuan perusahaan Bapak atas pokok pinjaman dan beban bunga yang tidak dilunasi oleh nasabah. Apabila kedua komponen ini pada akhirnya diakui sebagai cadangan piutang tak tertagih berdasarkan prinsip biaya pembentukan atau pemupukan dana cadangan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat UU PPh maka dana cadangan tersebut dapat menjadi pengurang penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap. Secara lebih terperinci, hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 1 PMK 219/2012 sebagai berikut.
“Pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang boleh dikurangkan sebagai biaya yaitu:
a. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang, yang meliputi:
1) Cadangan piutang tak tertagih untuk:
a) Bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional;
b) Bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
c) Bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional; dan
d) Bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah;
…………………………………………………….”
Ketentuan mengenai besaran cadangan perbankan yang diperkenankan untuk dikurangi sebagai biaya sendiri diatur dalam PMK 81/2009 s.t.d.t.d. PMK 219/2012 tentang Pembentukan atau Pemupukan Dana Cadangan yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya (PMK 81/2009). Selanjutnya, komponen-komponen piutang tidak tertagih yang dapat dibiayakan untuk mengurangi penghasilan kena pajak dapat mengacu pada PMK 207/2015. Simak artikel “Piutang tidak tertagih yang boleh jadi biaya fiskal.”
Secara khusus pula untuk piutang tidak tertagih dalam bentuk bunga pinjaman, pemerintah memberikan bantuan berupa subsidi bunga kepada para nasabah perbankan yang merupakan UMKM. Terdapat empat kriteria debitur yang berhak memperoleh insentif ini berdasarkan Pasal 20 PP 23/2020.
Pertama, merupakan UMKM dengan plafon kredit paling besar Rp10 miliar. Kedua, tidak termasuk dalam Daftar Hitam Nasional. Ketiga, merupakan kategori debitur dengan performing loan lancar per 29 Februari 2020 (kolektibilitas 1 atau 2). Keempat, memiliki NPWP atau mendaftar untuk memiliki NPWP.
Untuk diketahui, industri perbankan tidak memperoleh insentif khusus untuk perpajakan terkait Covid-19 sebagaimana informasi yang tercantum mengenai KLU yang berhak memperoleh insentif PPh badan dalam lampiran PMK 44/2020.
Namun demikian, sebagaimana industri lainnya, industri perbankan juga mendapatkan penurunan tarif PPh badan menjadi 22% untuk pelaporan pajak tahun 2020 seperti yang dinyatakan dalam Perppu 1/2020.
Lebih lanjut, terkait dengan penghitungan angsuran untuk PPh Pasal 25 untuk tahun pajak 2020, skema penghitungannya secara umum sama seperti wajib pajak badan umum lainnya. Hal yang membedakan adalah penggunaan dasar penghitungan PPh Pasal 25 karena sesuai laporan keuangan berkala.
Hal ini dapat dicermati lebih lanjut dalam Pasal 2 PER-08/2020 tentang Penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak Berjalan sehubungan dengan Penyesuaian Tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.
Demikian jawaban kami. Semoga dapat membantu.
Sebagai informasi, Kanal Kolaborasi antara Kadin Indonesia dan DDTC Fiscal Research menayangkan artikel konsultasi setiap Selasa dan Kamis guna menjawab pertanyaan terkait Covid-19 yang diajukan ke email [email protected]. Bagi Anda yang ingin mengajukan pertanyaan, silakan langsung mengirimkannya ke alamat email tersebut.