Gedung Kementerian Keuangan. (foto: Kemenkeu)
JAKARTA, DDTCNews – Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah hingga akhir Juni 2021 tercatat Rp6.554,56 triliun dengan rasio utang terhadap produk domestik burto (PDB) sebesar 40,35%.
Laporan APBN Kita edisi Juli 2021 menyebutkan realisasi rasio utang terhadap PDB itu lebih rendah ketimbang posisi akhir Mei 2021 sebesar 40,49%. Namun, posisi utang tetap naik secara nominal seiring dengan tingginya kebutuhan pembiayaan di tengah pandemi Covid-19.
"Pembiayaan utang tahun ini digunakan untuk mendukung kebijakan countercyclical yang dikelola secara pruden, fleksibel dan terukur, terutama untuk menangani Pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional," bunyi laporan tersebut, dikutip pada Minggu (25/7/2021).
Utang pemerintah saat ini masih didominasi utang dalam bentuk surat berharga negara (SBN) dengan nilai kontribusi mencapai 87,14% atau sebesar Rp5.711,79 triliun dari total nilai utang pemerintah per akhir Juni 2021.
Sementara itu, kontribusi SBN dalam mata uang rupiah mencapai Rp4.430,87 triliun dan SBN dalam valuta asing sejumlah Rp1.280,92 triliun. Keduanya diterbitkan dalam bentuk surat utang negara dan surat berharga syariah negara.
Sementara itu, komposisi utang pinjaman dari pinjaman tercatat hanya 12,86% atau senilai Rp842,76 triliun. Angka tersebut terdiri atas pinjaman dalam negeri Rp12,52 triliun dan pinjaman luar negeri Rp830,24 triliun.
Pemerintah menyiapkan strategi untuk memitigasi volatilitas pasar keuangan serta mengelola risiko untuk menjaga utang dalam batas aman di antaranya menjaga komposisi utang yang lebih banyak menggunakan suku bunga tetap (fixed rate) untuk menghindari risiko suku bunga.
Porsi utang dalam valuta asing juga terus diturunkan dari 44,6% pada 2015 menjadi 32,2% pada akhir Juni 2021. Penurunan tersebut sejalan dengan komitmen pemerintah untuk mengoptimalkan sumber pembiayaan dalam negeri dan menggunakan pembiayaan luar negeri sebagai pelengkap untuk menghindari crowding out effect.
"Pembiayaan utang pemerintah dikelola dengan baik untuk mendapatkan biaya yang optimal dan risiko yang terkendali," bunyi laporan tersebut. (rig)