BERITA PAJAK HARI INI

Faktur yang Ditandatangani Melonjak, Kapasitas Unggah Coretax Naik

Redaksi DDTCNews
Kamis, 23 Januari 2025 | 08.35 WIB
Faktur yang Ditandatangani Melonjak, Kapasitas Unggah Coretax Naik

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) mengeklaim terus melakukan perbaikan-perbaikan terhadap pengoperasian coretax system. Update perbaikan pada coretax ini menjadi salah satu topik yang diulas media massa pada hari ini, Kamis (23/1/2025). 

Melalui Keterangan Tertulis KT-04/2025, DJP menjabarkan 5 upaya perbaikan layanan penerbitan faktur pajak yang telah dilakukan oleh otoritas. 

Pertama, perbaikan modul registrasi untuk impersonate dan passphrase. Kedua, penambahan server database untuk meningkatkan kapasitas lalu lintas data. 

Ketiga, perbaikan validasi data skema impor faktur pajak dengan format *.xml. Keempat, penambahan kanal e-faktur melalui desktop untuk pengusaha kena pajak (PKP) tertentu, yakni PKP yang menerbitkan faktur pajak di atas 10.000 dokumen per bulan. 

Kelima, perbaikan skema penandatanganan digital dalam proses penerbitan dokumen faktur. 

Sebagai hasil dari 5 perbaikan di atas, DJP mencatatkan ada sejumlah catatan positif dalam kinerja coretax

Pertama, penambahan kanal desktop membuat jumlah faktur pajak yang ditandatangani bertambah cukup signifikan (dalam 5 hari terakhir sejumlah 980.088 atau 24% dari total faktur pajak yang dibuat telah berstatus 'Approved'). 

Kedua, kapasitas unggah faktur pajak melalui skema impor format *.xml menjadi lebih besar (dari 100 per unggahan menjadi 15.000 per unggahan). 

Ketiga, kapasitas unggah faktur pajak melalui Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP) menjadi lebih besar (dari 21 faktur pajak per menit menjadi 50 faktur pajak per menit).

Keempat, peningkatan jumlah faktur pajak yang berhasil ditandatangani dalam skema impor format *.xml. Semula, dalam satu menit Coretax DJP bisa memproses penandatanganan 270 faktur pajak. Saat ini Coretax DJP telah dapat memproses penandatanganan hingga 1.000 faktur pajak per menit. 

Kelima, data dan informasi yang tercantum pada faktur pajak menjadi lengkap. Sebelumnya didapat kendala pada beberapa PKP, di mana data faktur pajaknya tidak lengkap. 

DJP mencatat hingga 21 Januari 2025 pukul 09.00 WIB, wajib pajak yang sudah berhasil mendapatkan sertifikat digital/sertifikat elektronik untuk menandatangani faktur pajak berjumlah 336.528. 

Selain informasi mengenai perbaikan coretax, ada beberapa bahasan lain yang juga menjadi sorotan media nasional pada hari ini. Di antaranya, kewajiban investor menyimpan devisa hasil ekspor sebesar 100% selama 1 tahun di Indonesia, update terkini mengenai pajak minimum global, hingga digodoknya peraturan menteri keuangan (PMK) mengenai PPN besaran tertentu. 

Berikut ulasan artikel perpajakan selengkapnya.

Tak Ada Sanksi Atas Keterlambatan Akibat Coretax

DJP mengaku sedang menyiapkan regulasi terkait dengan pembebasan sanksi administrasi bagi wajib pajak yang terdampak oleh kendala pada coretax administration system.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengatakan tidak ada sanksi bagi wajib pajak yang terlambat membuat faktur pajak, terlambat menyampaikan SPT, dan terlambat membayar pajak akibat kendala pada coretax.

"Tidak akan ada sanksi administrasi. Sampai kapan? Sampai coretax-nya dinyatakan bisa digunakan dengan lancar. Peraturan tertulisnya sedang kita persiapkan, sebentara lagi akan keluar," ujar Dwi dalam sosialisasi coretax bersama Kadin. (DDTCNews)

Pengusaha Resah Soal Kewajiban Pulangkan Devisa Hasil Ekspor

Pemerintah bakal mewajibkan eksportir menempatkan devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA) sebesar 100% selama setahun, dari saat ini paling sedikit sebesar 30% dan dalam jangka waktu 3 bulan.

Merespons kebijakan tersebut, pengusaha menyampaikan keresahannya. Kebijakan ini dikhawatirkan akan mengganggu operasi usaha dan kinerja ekspor. 

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani menilai rencana penahanan DHE menjadi 12 bulan akan menimbulkan efek domino bagi banyak sektor usaha, khususnya ketika pengusaha membutuhkan arus kas yang sehat untuk mendukung operasi bisnis. (Harian Kompas)

Tak Mudah Adopsi Pajak Minimum Global

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berpandangan ketentuan pajak minimum global atau global anti base erosion (GloBE) bukanlah suatu aturan yang mudah diadopsi oleh Indonesia lewat peraturan menteri keuangan (PMK).

Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Melani Dewi Astuti mengatakan penyusunan PMK 136/2024 tentang Pengenaan Pajak Minimum Global Berdasarkan Kesepakatan Internasional dilaksanakan dengan mengacu pada 6 dokumen sekaligus yakni GloBE model rules, commentary atas GloBE model rules, annex, administrative guidance, GIR, dan safe harbour and penalty reliefs.

"Jadi ada 6 dokumen dan dokumen ini masih bergerak, masih akan di-update, semuanya berbahasa Inggris, dan jumlahnya beratus-ratus halaman. Makanya PMK kita 226 halaman dan 74 pasal," ujar Melani dalam Ngonten Fiskal: Berkenalan dengan Pajak Minimum Global yang disiarkan oleh BKF. (DDTCNews)

Capacity Building dan Kepastian Hukum Jadi Kunci

Kehadiran pajak minimum global berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 136/2024 perlu dibarengi dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan kepastian hukum.

Director of Fiscal Research and Advisory DDTC Bawono Kristiaji mengatakan pemerintah bisa menciptakan kepastian hukum dengan cara menginstensifkan kegiatan capacity building, baik bagi wajib pajak maupun di internal otoritas pajak. Hal ini untuk meminimalkan mismatch pemahaman antara otoritas dan wajib pajak.

"Di lapangan, otoritas pajak dengan capacity building yang lebih baik perlu menerangkan ini secara efektif dan tidak melenceng dari GloBE rules," katanya. Menurut Bawono, PMK 136/2024 tergolong sulit untuk dipahami oleh wajib pajak akibat banyaknya jargon dan aspek teknis yang termuat dalam PMK tersebut. (DDTCNews)

PMK untuk PPN Besaran Tertentu Masih Digodok

Pemerintah masih menggodok rancangan PMK untuk mengatur penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) besaran tertentu pada era penerapan PPN 12%. 

Penyuluh Pajak Ahli Madya DJP Yudha Wijaya menyatakan pemerintah tengah mempertimbangkan berbagai aspek agar kebijakan tersebut tetap selaras dengan aturan sebelumnya. 

Misalnya, ketentuan PPN kegiatan membangun sendiri (KMS) yang berlaku 20% dari tarif PPN umum. Dengan pemberlakuan PPN 12%, pemerintah mempertimbangkan apakah aturan ini akan disesuaikan atau tetap berlaku. (Kontan) (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.