Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Optimalisasi penerimaan pajak membutuhkan dukungan dalam bentuk kepatuhan pajak yang tinggi dari seluruh wajib pajak, mulai dari wajib pajak korporasi multinasional hingga wajib pajak terkecil yang bergerak di sektor informal.
Wajib pajak besar relatif mampu melaksanakan kewajiban pajak dengan benar karena memiliki sumber daya yang mencukupi untuk melaksanakan penghitungan dan pelaporan pajak. Namun, wajib pajak UMKM yang notabene cenderung informal seringkali tidak memiliki sumber daya untuk menanggung biaya kepatuhan (compliance cost) tersebut.
Guna mengatasi masalah tersebut, banyak negara yang mengenalkan presumptive tax guna menekan compliance cost yang harus ditanggung oleh UMKM. Salah satu jenis presumptive tax yang populer diterapkan di berbagai negara atas wajib pajak UMKM adalah pajak berbasis omzet.
Lewat cara ini, wajib pajak menghitung pajak yang terutang dengan cara mengalikan omzetnya dalam suatu periode dengan tarif khusus yang ditetapkan oleh pemerintah. Langkah ini diharapkan dapat menekan compliance cost yang ditanggung oleh wajib pajak.
Dalam publikasi IMF bertajuk How to Design a Presumptive Income Tax for Micro and Small Enterprises, setidaknya ada 40 negara yang menerapkan presumptive tax berbasis omzet terhadap UMKM, termasuk Indonesia.
Threshold dan tarif pajak berbasis omzet di 40 negara tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Dari tabel tersebut, tampak bahwa kebanyakan negara menerapkan threshold senilai US$100.000, sedangkan tarifnya adalah sebesar 1% hingga 2%. Dari tabel tersebut tampak pula bahwa pajak berbasis omzet yang berlaku di Indonesia, yakni PPh final UMKM, cenderung berbeda dengan praktik di kebanyakan negara.
Pada banyak negara, pajak berbasis omzet hanya dikenakan atas orang pribadi atau partnership. Namun, terdapat beberapa negara yang memperbolehkan perseroan terbatas tertutup untuk membayar pajak berbasis omzet sepanjang threshold-nya belum terlampaui.
Terdapat sebagian negara yang memberlakukan pajak berbasis omzet hanya atas UMKM yang jumlah pegawainya belum melebihi threshold tertentu. Namun, threshold ini dapat dengan mudah dihindari lewat skema outsourcing ataupun tenaga kerja informal.
Secara umum, IMF merekomendasikan agar nilai threshold skema pajak berbasis omzet bagi UMKM ditetapkan sama dengan nilai threshold PPN. Menurut IMF, wajib pajak yang sudah mampu memungut dan membayar PPN seharusnya juga mampu membayar PPh sesuai dengan ketentuan umum.
Namun, threshold pajak berbasis omzet dan threshold PPN dapat ditetapkan berbeda guna menekan compliance cost yang harus ditanggung oleh wajib pajak bila omzet usahanya melampaui threshold tersebut.
Bila threshold pajak berbasis omzet dan threshold PPN ditetapkan sama, wajib pajak yang omzetnya melampaui kedua threshold bakal langsung diwajibkan membayar PPh sesuai ketentuan umum sekaligus menyetorkan PPN. Oleh karena itu, threshold PPN dan threshold pajak berbasis omzet yang berbeda juga patut dipertimbangkan guna menekan lonjakan compliance cost yang harus ditanggung wajib pajak.
Terkait dengan tarif, IMF merekomendasikan kepada yurisdiksi-yurisdiksi untuk tidak menetapkan tarif pajak berbasis omzet yang terlalu rendah.
Bila tarif ditetapkan terlalu rendah, wajib pajak akan terdorong untuk melakukan underreporting ataupun tidak meningkatkan kegiatan usahanya agar omzetnya tidak melewati threshold. Fenomena ini dikenal dengan nama bunching effect.
Pada saat yang sama, tarif pajak berbasis omzet juga seyogianya tidak diterapkan terlalu tinggi. Tarif yang terlalu tinggi akan mendorong UMKM untuk tetap informal dan enggan mendaftarkan diri dalam sistem pajak. (sap)