Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pembedaan tarif PPN dan PPh Pasal 22 final atas transaksi aset kripto pada PMK 68/2022 diharap dapat mendorong exchanger mendaftarkan diri ke Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
Pelaksana Seksi Peraturan PPN Jasa Direktorat Peraturan Perpajakan I DJP Oscar Edo Chrisandy mengatakan pembedaan tarif sengaja dirancang mengingat exchanger adalah entitas yang mengelola uang masyarakat sehingga perlu diregulasi.
"Mereka memegang uang orang banyak, jadi kalau tidak masuk ke Bappebti maka akan dikenai tarif lebih tinggi. Ini jadi insentif buat exchanger untuk masuk ke bursa yang disediakan Bappebti," ujar Edo dalam Regular Tax Discussion yang diselenggarakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Kamis (4/8/2022).
Dengan adanya PMK 68/2022, exchanger selaku fasilitator jual beli dan pertukaran aset kripto dipercaya sebagai pihak yang melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, hingga pelaporan pajak sesuai dengan Pasal 32A UU KUP.
Bila exchanger telah terdaftar di Bappebti, tarif PPN yang dikenakan atas pembelian aset kripto adalah sebesar 0,11%. Adapun penjual aset kripto akan dikenai PPh Pasal 22 final dengan tarif sebesar 0,1%.
Kalau exchanger tidak terdaftar di Bappebti, exchanger wajib memungut PPN sebesar 0,22% dan PPh Pasal 22 final dengan tarif 0,2%.
PPN dan PPh Pasal 22 final atas transaksi aset kripto wajib disetorkan oleh exchanger paling lambat pada tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir dan dilaporkan paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir.
PMK 68/2022 telah diundangkan oleh pemerintah pada 30 Maret 2022 dan mulai berlaku sejak 1 Mei 2022. Pada 1 bulan pertama penerapannya, pajak yang disetorkan exchanger dari transaksi aset kripto tercatat mencapai Rp48,19 miliar yang terdiri dari PPN senilai Rp25,11 miliar dan PPh Pasal 22 final senilai Rp23,08 miliar. (sap)