Partner DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji. (tangkapan layar)
JAKARTA, DDTCNews - Degup reformasi pajak masih bisa dirasakan melalui pembahasan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang kini dimatangkan pemerintah bersama parlemen.
Partner DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji mengatakan ada 2 aspek utama yang diusung melalui RUU HPP yaitu upaya mewujudkan konsolidasi fiskal dan keadilan sistem pajak.
Transformasi dari RUU KUP tersebut juga melengkapi agenda perubahan regulasi perpajakan yang sudah tertuang dalam UU Cipta Kerja. Beleid yang juga bersifat omnibus tersebut lebih fokus kepada relaksasi dan mendorong investasi.
"RUU HPP ini momentumnya pas melihat masa pemulihan ekonomi nasional yang diasumsikan mulai tahun depan. Jadi pemulihan ekonomi beriringan dengan pemulihan penerimaan pajak," kata Bawono dalam acara Hot Economy Berita Satu, Jumat (1/10/2021).
Bawono menjelaskan nuansa konsolidasi terlihat misalkan dari kebijakan yang diatur dalam RUU HPP yakni rencana kenaikan tarif PPN secara bertahap.
Menurutnya, perubahan tarif PPN secara bertahap merupakan jalan tengah pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan pajak. Di saat yang sama, rancangan aturan tersebut mendukung pemulihan ekonomi.
Selanjutnya, tarif PPh badan yang tetap 22% juga menjadi kejutan kecil dalam RUU HPP. Pasalnya, ketentuan UU No. 2/2020 yang dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 30/2020 lebih dulu mengatur penurunan tarif PPh badan menjadi 20% pada 2022.
Klausul tersebut agaknya didorong 2 hal. Selain menjaga stabilitas penerimaan PPh badan, klausul itu diperkirakan menjadi langkah antisipasi untuk menyesuaikan rencana pajak minimum global yang saat ini sedang dirumuskan konsensusnya.
Dalam konteks pajak korporasi dan risiko penghindaran pajak, Bawono juga mempertanyakan tidak adanya klausul terkait alternative minimum tax (AMT) dan general anti-avoidance rule (GAAR) dalam RUU versi yang beredar saat ini.
Selain itu, tetap masuknya opsi pajak karbon juga patut diberikan apresiasi. Terlebih pada draf RUU HPP disebutkan kalau pajak karbon bukan instrumen tunggal dalam menjawab tantangan perubahan iklim.
Jenis pajak baru itu juga diselaraskan dengan instrumen lain seperti skema perdagangan karbon dan memberikan ruang insentif bagi pelaku usaha yang mampu menekan emisi atau berkontribusi dalam upaya meningkatkan sumber energi baru dan terbarukan.
"Ciri kuat dari RUU HPP ini adalah konsolidasi fiskal dan keadilan. Ini menjadi upaya membuat tax ratio makin kokoh, karena perlu adanya terobosan kebijakan untuk mengatasi risiko stagnansi tax ratio dalam jangka menengah," imbuhnya.
Namun, di luar ketentuan pajak yang dibahas melalui RUU HPP, Bawono juga menyinggung bahwa reformasi perpajakan tidak bisa lepas dari proses politik yang berlangsung. Artinya, penentuan terkait subjek, objek, dan tarif pun pada akhirnya bermuara pada kesepakatan antara pemerintah dan parlemen. (sap)