Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Yunus Husein memaparkan materi dalam webinar series DDTC bertajuk “Corporate Criminal Liability di Bidang Perpajakan”.
JAKARTA, DDTCNews – Pertanggungjawaban atas tindak pidana tidak hanya bisa dibebankan kepada orang pribadi, tetapi juga korporasi itu sendiri. Upaya untuk membebankan pertanggungjawaban inilah yang disebut dengan Corporate Criminal Liability (CCL).
Hal tersebut diungkapkan Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Yunus Husein dalam webinar series DDTC bertajuk “Corporate Criminal Liability di Bidang Perpajakan”. Menurutnya, ketentuan CCL yang banyak diperbicangkan adalah Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.13/2016. Beleid ini juga mengatur mengenai tindak pidana di bidang perpajakan.
“Perma ini sifatnya hukum acara bukan materiel. Perma ini mengisi kekosongan dalam hukum acara di bidang CCL yang disebabkan persepsi penegakan hukum yang kurang serta hukum acara antarsetiap undang-undang yang bervariasi,” ungkap Yunus, Rabu (5/8/2020).
Banyaknya variasi tersebut, sambungnya, melatarbelakangi dikeluarkannya Perma No.13/2016. Beleid ini sifatnya hukum formal atau acara prosedur di pengadilan apabila ingin menjadikan korporasi sebagai tersangka. Ketentuan ini berlaku juga untuk berbagai tindak pidana di bidang perpajakan.
Namun, Perma No.13/2016 tersebut hanya berlaku untuk kasus baru setelah 21 Desember 2016 dan tidak berlaku untuk kasus yang sudah diputus sebelumnya. Yunus menyatakan terdapat dua hal penting yang dapat dipelajari dari Perma No.13/2016.
Pertama, konsep atau teori untuk menentukan apakah itu tindakan korporasi atau bukan. Perma ini menggunakan teori vicarious liability (tanggung jawab pengganti). Teori ini membuat korporasi bisa dimintai pertanggung jawaban atas tindakan individu karena adanya hubungan kerja atau hubungan lain.
Kedua, cara menentukan kesalahan korporasi. Perma ini menganut konsep strict liability yang cukup riskan karena tidak membutuhkan pembuktian. Konsep ini membuat korporasi dianggap otomatis bertanggung jawab karena perusahaan tidak melakukan pencegahan atau tidak patuh.
Selain itu, terdapat tiga hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu good corporate governance, risk management, dan kepatuhan pajak harus berjalan efektif. Dengan demikian, perusahaan dapat menjelaskan dan dapat menjadi pembelaan atas tanggung jawab strict liability atas tindakan individu.
Perma No.13/2016 juga menggunakan kriteria lain yang lebih mudah untuk membuktikan, yaitu korporasi memperoleh keuntungan/manfaat sehingga dianggap bersalah. Korporasi juga bisa dianggap salah jika tindak pidana dilakukan untuk kepentingan korporasi dan adanya pembiaran terjadinya tindak pidana.
Pengertian badan lebih luas dari korporasi, tetapi istilah korporasi tidak terdapat dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Hal ini dikarenakan UU KUP menggunakan istilah “setiap orang”.
Dalam UU No. 8 Tahun 2010 terkait dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU), “setiap orang” adalah orang perseorangan atau korporasi. Selanjutnya, berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subjek dari ketentuan pidana dirumuskan dengan frasa “setiap orang”
Berdasarkan berbagai definisi setiap orang dalam UU lain dan yurispridensi maka wajib pajak badan termasuk dalam pengertian korporasi dan juga termasuk dalam pengertian setiap orang dalam rumusan pidana.
Hal ini berarti wajib pajak badan sebagai korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Wajib pajak badan sebagai korporasi dapat dimintai pertanggung jawaban atas tindakan pidana tetapi hanya denda, untuk hukuman kurungan akan menyasar individu,” imbuh Yunus.
Kepastian Hukum
Saat memberikan pidato pembuka (opening speech) dalam webinar tersebut, Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan kepastian hukum terkait dengan penanggung jawab pidana pajak korporasi memang menjadi aspek yang penting.
Pasalnya, korporasi sering dilihat sebagai suatu entitas pasif yang segala perilakunya tergantung dari pengelolaan oleh individu-individu di dalamnya. Dalam sudut pandang ini, penanggung jawab atas tindak pidana pajak sering diartikan hanya sebatas pada individu.
Rumusan ketentuan pidana pajak di Indonesia saat ini dapat dilihat dalam Pasal 38, Pasal 39 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Seperti yang disampaikan sebelumnya, pasal-pasal tersebut menggunakan istilah “setiap orang” yang menjalankan tidak pidana pajak.
Sementara itu, jika dilihat dalam rumusan perbuatan tindak pidana, masih dalam UU KUP, perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan oleh wajib pajak. Dalam konteks pajak, wajib pajak meliputi wajib pajak badan dan wajib pajak orang pribadi.
Polinsky dan Shavell (1993), sambung Darussalam, menyatakan pertanggungjawaban pidana korporasi oleh individu haruslah bersifat melengkapi sanksi moneter (administrasi) yang dikenakan terhadap korporasi.
“Untuk itu, perlu suatu kepastian hukum dalam ranah pidana pajak terkait dengan siapa yang dapat dimintakan pertanggungjawaban. Kalau tidak ada kepastian hukum, akan terjadi transferable sanction dari individu ke korporasi atau sebaliknya dari korporasi ke individu,” jelasnya.
Sebagai informasi, webinar ini merupakan seri kelima dari 14 webinar yang diselenggarakan untuk menyambut HUT ke-13 DDTC yang akan jatuh pada 20 Agustus mendatang. Webinar series ini diselenggarakan bersama 15 perguruan tinggi dari 26 perguruan tinggi yang telah menandatangani kerja sama pendidikan dengan DDTC.
Bagi Anda yang tertarik untuk mengikuti webinar seri selanjutnya, informasi dan pendaftaran bisa dilihat dalam artikel ‘Sambut HUT ke-13, DDTC Gelar Free Webinar Series 14 Hari! Tertarik?’. (kaw)