Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Hingga Juli 2024, penerimaan pajak dari financial technology (fintech), termasuk peer to peer lending (P2P lending) – atau sering dikenal pinjaman online (pinjol) – mencapai Rp2,27 triliun.
Berdasarkan pada Siaran Pers Ditjen Pajak (DJP) Nomor SP-26/2024, penerimaan pajak fintech itu terdiri atas realisasi pada 2022 senilai Rp446,39 miliar, pada 2023 senilai Rp1,11 triliun, dan pada tahun berjalan (hingga Juli 2024) senilai Rp712,53 miliar.
“Pemerintah akan menggali potensi penerimaan pajak usaha ekonomi digital lainnya seperti … pajak fintech atas bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti, dikutip pada Jumat (9/8/2024).
Adapun realisasi tersebut terdiri atas:
Seperti diketahui, sesuai dengan PMK 69/2022, penyelenggaraan fintech adalah kegiatan penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran, keamanan, serta keandalan sistem pembayaran.
Adapun layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi atau P2P lending adalah penyelenggaraan layanan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam-meminjam secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet, termasuk yang menerapkan prinsip syariah.
Sesuai dengan ketentuan PMK 69/2022, tarif PPh Pasal 23 yang dikenakan sebesar 15% dari jumlah bruto atas bunga. Sementara itu, tarif PPh Pasal 26 ditetapkan 20% dari jumlah bruto atas bunga atau sesuai dengan ketentuan dalam persetujuan penghindaran pajak berganda.
Dalam hal ini, penyelenggara layanan fintech wajib menyetorkan PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang telah dipotong ke kas negara. Penyelenggara layanan juga wajib melaporkan pemotongan pajak PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 dalam SPT Masa PPh.
Mengenai PPN, PMK 69/2022 memuat ketentuan PPN pada penyelenggaraan fintech yang dikenakan atas jasa penyelenggaraan teknologi finansial oleh pelaku usaha, seperti penyediaan jasa pembayaran dan layanan pinjam-meminjam.
Kemudian, jasa penyelenggaraan penyelesaian transaksi investasi, penyelenggaraan perhimpunan modal, penyelenggaraan pengelolaan investasi, serta layanan penyediaan produk asuransi daring atau online.
Dalam praktiknya, pengusaha yang melakukan kegiatan penyelenggaraan jasa sistem pembayaran yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas jasa penyerahan jasa kena pajak.
PPN yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak, yang berupa penggantian, yaitu sebesar fee, komisi, merchant discount rate, atau imbalan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima oleh penyelenggara.
"Termasuk penggantian atas penyerahan layanan uang elektronik...yaitu biaya administrasi yang diminta oleh penerbit uang elektronik, termasuk harga kartu yang diterima oleh penerbit uang elektronik," bunyi Pasal 9 ayat (4) PMK 69/2022. (kaw)