Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Sesuai dengan UU PPN s.t.d.t.d. UU HPP, pengusaha kena pajak akan terutang PPN di tempat tinggal atau di tempat usaha dilakukan. Karenanya, baik NPWP pusat atau NPWP cabang atau lokasi tempat usaha harus dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).Â
Jika diperinci, bagi wajib pajak orang pribadi, kewajiban dikukuhkan sebagai PKP melihat pada tempat terjadinya penyerahan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP). Jadi, bisa saja terjadi jika pusat adalah PKP sementara cabangnya bukan PKP, atau sebaliknya.Â
"Namun, untuk badan, berlaku ketentuan jika pusat adalah PKP maka cabang juga harus dikukuhkan menjadi PKP, begitu juga sebaliknya," sebut contact center Ditjen Pajak (DJP) saat menjawab pertanyaan netizen, Jumat (4/8/2023).Â
Perlu dipahami, pengusaha memiliki kewajiban melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4,8 miliar.
Pengukuhan PKP dengan batasan omzet Rp4,8 miliar memperhatikan penyerahan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP). Artinya, angka omzet Rp4,8 miliar tidak termasuk penyerahan-penyerahan non-JKP atau non-BKP.
"Jika terdapat penyerahan non-JKP dan/atau non-JKP, tidak masuk dalam penghitungan batasan penghasilan bruto Rp4,8 miliar," kata contact center DJP beberapa waktu lalu.
Untuk diketahui, threshold PKP yang senilai Rp4,8 miliar telah berlaku sejak 1 Januari 2014 sesuai dengan PMK 197/2013. Sebelumnya, threshold PKP yang berlaku di Indonesia hanya senilai Rp600 juta.
Sesuai dengan Peraturan Dirjen Pajak PER-04/PJ/2020, diatur bahwa pengusaha yang melakukan penyerahan yang merupakan objek pajak sesuai UUÂ PPN, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh menteri keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. (sap)