Senior Partner DDTC Danny Septriadi saat memberikan paparan dalam Tax Seminar and Training (TST) ke-20 bertajuk ‘Indonesia's Tax Policy 2019 and Strategies to Deal with Disputes within Indonesia Taxation System’, Rabu (28/8/2019).
JAKARTA, DDTCNews – Era transparansi telah mengubah lanskap pajak global maupun domestik. Untuk merespons kondisi tersebut, wajib pajak perlu memiliki kontrol internal yang kuat sebagai bagian dari manajemen risiko pajak (tax risk assessment).
Hal ini diungkapkan oleh oleh Senior Partner DDTC Danny Septriadi dalam Tax Seminar and Training (TST) ke-20 bertajuk ‘Indonesia's Tax Policy 2019 and Strategies to Deal with Disputes within Indonesia Taxation System’ hari ini, Rabu (28/8/2019).
Menurutnya, era transparansi telah membuat otoritas lebih mudah dalam mengidentifikasi risiko wajib pajak secara langsung (real time). Dari banyaknya data dan informasi yang diterima, otoritas bisa dengan mudah melakukan benchmarking kewajaran dari aktivitas bisnis di berbagai sektor.
“Oleh karena itu, internal control menjadi modal dasar yang harus dimiliki pelaku usaha. Hal tersebut menjadi jaminan bahwa seluruh proses bisnis yang dijalankan sudah sesuai aturan serta berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas,” jelasnya di depan sekitar 30 peserta training yang mayoritas berasal dari perusahaan multinasional.
Kontrol internal ini harus dilakukan secara ketat dalam penyusunan laporan keuangan dan surat pemberitahuan (SPT) tahunan. Menurutnya, kedua laporan tersebut akan menjadi instrumen awal otoritas pajak dalam menyusun manajemen risiko yang berujung pada pemeriksaan.
Apalagi, era transparansi membuat otoritas lebih mudah dalam mengawasi aktivitas bisnis lintas yurisdiksi. OECD juga telah menerbitkan The Country-by-Country Reporting: Handbook on Effective Tax Risk Assessment.
Dalam handbook tersebut, OECD memberikan panduan bagi otoritas untuk melakukan manajemen risiko. Otoritas bisa mengalokasikan seluruh sumber dayanya (resources) yang terbatas untuk memeriksa wajib pajak berisiko tinggi.
Profil pajak tersebut dapat dilakukan dengan melihat profit dan tarif pajak efektif dari setiap perusahaan. Untuk perusahaan yang memiliki profit dan tarif pajak efektif yang berada di bawah rata-rata (benchmark), otoritas bisa menempatkannya dalam kelompok wajib pajak berisiko tinggi. (kaw)