Presiden Filipina terpilih Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr. mengangkat tangan bersama Presiden Senat Vicente Sotto III dan Ketua DPR Lord Allan Velasco saat pelantikannya, di Dewan Perwakilan Rakyat, di Kota Quezon, Metro Manila, Filipina, Rabu (25/5/2022). ANTARA FOTO/BBM Media Bureau/Handout via REUTERS/RWA/djo
MANILA, DDTCNews - Presiden terpilih Filipina Ferdinand Marcos Jr. sedang mempertimbangkan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas ekspor mineral yang diproses sebagian (partially processed ore).
Marcos mengatakan pengenaan PPN atas ekspor produk bijih yang diproses akan mendatangkan tambahan penerimaan bagi negara. Menurutnya, potensi pajak tersebut bahkan lebih besar ketimbang pajak pertambangan.
"Soal perpajakan, kami mencoba menyesuaikan lagi. Bukan hanya menaikkan pajak pertambangan, tapi kami ingin mendorong pajak dari nilai tambah bijih mentah di Filipina sebanyak mungkin," katanya, dikutip pada Selasa (21/6/2022).
Marcos mengatakan masih merancang sejumlah kebijakan yang bakal diterapkan ketika telah resmi menjabat sebagai presiden pada 30 Juni 2022. Menurutnya, salah satu fokus kebijakannya yakni mendorong nilai tambah pada komoditas mineral.
Dia menilai sektor pertambangan dapat memberikan kontribusi besar pada perekonomian Filipina. Bagi negara, sektor tersebut juga dapat menyetorkan pajak dalam nominal besar.
Meski demikian, Marcos menegaskan kegiatan di sektor pertambangan tidak boleh sampai menyebabkan kerusakan lingkungan. Dia memastikan pemerintahannya akan mendorong pengelolaan tambang yang netral untuk menjaga kelestarian alam.
"Saya pikir kita semua menyadari beberapa masalah yang muncul sebelumnya. Saya tidak yakin kita tidak dapat memantau dan mengatur industri pertambangan secara memadai sehingga kita dapat memiliki pertambangan yang bersih di negara ini," ujarnya dilansir newsinfo.inquirer.net.
Pada Desember 2021 lalu, Kementerian Sumber Daya Alam juga telah mencabut larangan metode penambangan terbuka untuk tembaga, emas, perak, dan bijih kompleks di negara tersebut setelah 4 tahun. Kebijakan ini dilakukan sebagai upaya optimalisasi penerimaan negara di tengah perlambatan ekonomi akibat pandemi Covid-19. (sap)