PRAKTIK BEPS semakin menjadi sorotan pemerintah di berbagai negara, tidak terkecuali pemerintah Indonesia. Kasus-kasus penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional menunjukkan sistem perpajakan dapat diakali sedemikian rupa untuk meminimalkan kewajiban pajaknya.
Digitalisasi dan globalisasi bisnis serta perkembangan skema transaksi yang semakin kompleks melapangkan jalan bagi aktor-aktor yang berperan dalam praktik base erosion and profit shifting BEPS dalam melakukan pengalihan laba.
Namun demikian, seberapa besar kerugian pemerintah akibat praktik tersebut masih menjadi tanda tanya besar. Melalui BEPS Action 11 yang dirilis OECD, ditekankan pentingnya agar pemerintah mengukur skala praktik BEPS serta memonitor perkembangannya. Tujuannya tidak lain adalah supaya pemerintah dapat menghasilkan kebijakan anti BEPS yang efektif dan dapat dievaluasi secara terukur.
Secara agregat, OECD mengestimasi penerimaan yang hilang akibat praktik BEPS berkisar antara US$100-240 miliar setiap tahunnya, atau 4-10% dari total penerimaan PPh Badan di dunia. Dari jumlah tersebut, ditengarai bahwa negara berkembanglah yang menjadi korban utama.
Hal ini tidak mengherankan, mengingat kapasitas otoritas pajak di negara berkembang cenderung tertinggal dibandingkan negara maju dalam upaya menangkal aktivitas BEPS. Hal ini juga sekaligus menunjukkan betapa gentingnya bagi pemerintah untuk mengetahui besaran praktik BEPS di Indonesia.
Secara garis besar, disebutkan pendekatan dalam mengukur BEPS terbagi menjadi dua: pendekatan makro dan pendekatan mikro. Pendekatan makro merupakan pendekatan yang ideal dalam memulai pengukuran BEPS.
Pendekatan ini memungkinkan hasil pengukuran untuk mencerminkan seberapa elastis basis pajak Indonesia tergerus oleh perbedaan tarif pajak dan keberadaan tax haven. Namun pendekatan ini memiliki kelemahan, terutama dalam membedakan antara penggerusan basis pajak yang disebabkan oleh praktik BEPS dan yang disebabkan oleh keputusan bisnis secara riil.
Maka dari itu, temuan penelitian secara makro dirasa kurang tepat untuk langsung digunakan sebagai bahan perumusan kebijakan anti-BEPS. Namun bukan berarti pendekatan makro menjadi tidak penting. Sebaliknya, penelitian secara makro sangat tepat untuk digunakan sebagai pondasi bagi pengukuran-pengukuran BEPS dan perilaku perusahaan multinasional selanjutnya dengan menggunakan pendekatan mikro.
Pendekatan mikro lebih sesuai digunakan dalam mengukur perilaku BEPS secara spesifik, misalnya skema BEPS tertentu, BEPS di jenis perusahaan atau sektor tertentu, dan efektivitas suatu peraturan atau kebijakan anti-BEPS.
Dalam praktiknya, upaya mengukur BEPS itu sendiri merupakan hal yang sulit. Kesulitan ini disebabkan setidaknya karena tiga hal, seperti yang dijelaskan dalam Working Paper yang berjudul Measuring BEPS and Its Countermeasures in Indonesia: A Preliminary Research Guide.
Pertama, aktivitas BEPS itu sendiri sulit untuk didefinisikan secara terukur. Pada dasarnya, suatu keputusan finansial dapat dikatakan merupakan praktik BEPS jika hal tersebut semata-mata dilakukan untuk mengurangi kewajiban pajak tanpa disertai substansi ekonomi yang kuat. Namun secara kasat mata, sulit untuk membedakan secara jelas antara keputusan finansial yang didorong oleh keputusan bisnis riil dan yang disebabkan oleh motif penghindaran pajak.
Kedua, permasalahan spesifikasi model. Faktor yang mendorong praktik BEPS memiliki bentuk yang beragam. Hal ini selanjutnya juga mempengaruhi bentuk skema pengalihan laba yang digunakan. Sayangnya, tidak semua faktor pendorong aktivitas BEPS beserta skemanya dapat dengan mudah direpresentasikan ke dalam suatu model pengukuran.
Sebagai contoh, praktik BEPS dapat didorong oleh ketidakcocokan peraturan pajak antar negara. Memasukkan faktor ini ke dalam suatu model kuantitatif tentu menimbulkan kerumitan tersendiri.
Ketiga, keterbatasan ketersediaan dan akses data. Data keuangan perusahaan multinasional yang berlokasi di Indonesia dapat diakses melalui beberapa sumber data keuangan, seperti ORBIS, ORIANA, Bloomberg, dan lain-lain. Namun tidak semuanya memiliki ketersediaan data yang komprehensif dan dapat digunakan secara langsung untuk keperluan penelitian perpajakan.
Beberapa sumber data mikro lainnya (seperti SPT dan data audit pajak perusahaan) sebenarnya mengandung informasi penting yang dapat digunakan baik untuk mengukur praktik BEPS maupun memetakan perilaku perusahaan multinasional. Namun, akses terhadap informasi tersebut sangat terbatas, dan kerahasiaannya dilindungi oleh Pasal 34 UU KUP.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, OECD menyarankan pemerintah untuk melakukan tabulasi dan agregasi informasi serta menyamarkan identitas yang terdapat di dalamnya. Lebih jauh lagi, setiap unit pemerintah yang memiliki data perpajakan maupun non perpajakan yang berguna untuk pengembangan kebijakan anti-BEPS sebaiknya memiliki basis data yang terintegrasi secara elektronik. Tujuannya adalah untuk memudahkan kegiatan penelitian terkait arah kebijakan anti-BEPS yang tepat kedepannya.
Selanjutnya, penting bagi pemerintah untuk memiliki perencanaan penelitian jangka panjang secara sistematis. Perencanaan tersebut terdiri dari rangkaian penelitian yang disusun sedemikian rupa dalam rangka mengukur BEPS secara komprehensif. Hal ini akan memudahkan pemerintah untuk melihat kebutuhan apa saja yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian-penelitian tersebut.
Selain itu, setiap penelitian dapat digunakan sebagai pijakan untuk penelitian selanjutnya, sehingga kesimpulan yang dihasilkan akan terus berkembang dan memiliki landasan yang kuat secara konseptual maupun empiris.
Di saat yang bersamaan, manajemen dan pengembangan data vital untuk dilakukan secara kontinu. Hal ini termasuk kerja sama dan integrasi data-data penting yang sebaiknya dilakukan secara terpusat dan upaya untuk mempermudah akses penggunaan data khususnya untuk keperluan riset. Ketersediaan serta pengelolaan data yang baik akan menentukan pengembangan metode-metode baru yang semakin akurat dan berguna bagi perumusan kebijakan anti-BEPS.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.