GUNA meningkatkan kualitas layanan kepada publik, pemerintah membentuk badan layanan umum (BLU). BLU dibentuk agar satuan-satuan kerja pemerintah yang melaksanakan tugas pelayanan publik dapat melakukan kegiatannya dengan ala bisnis (business like).
Langkah tersebut dilakukan untuk membedakannya dari fungsi pemerintah sebagai regulator dan penentu kebijakan. Praktik serupa dengan BLU telah berkembang luas di mancanegara berupa upaya pengagenan (agencification).
Melalui skema tersebut, aktivitas pelayanan tidak harus dilakukan oleh birokrasi murni, tetapi dapat dikelola oleh instansi ala bisnis. Dengan demikian, alur birokrasi dalam proses pelayanan publik bisa dipangkas. Lantas, apa itu BLU?
Perincian ketentuan mengenai BLU di antaranya tercantum dalam UU 1/2004, Peraturan Pemerintah (PP) 23/2005 s.t.d.d PP 74/2012, serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 129/2020 s.t.d.d PMK 202/2022.
Merujuk pada beleid tersebut, BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
BLU dibentuk dengan tujuan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini dilakukan dengan memberikan fleksibilitas pengelolaan keuangan dan penerapan praktik bisnis yang sehat.
Prinsip fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan menjadi ciri khas yang membedakan BLU dengan satuan kerja pemerintah. Hal ini untuk memberikan keleluasaan kepada BLU dalam mengelola keuangannya sehingga pelayanan yang diberikan kepada masyarakat menjadi optimal.
Secara asas, BLU beroperasi sebagai unit kerja dari kementerian/lembaga (K/L) untuk tujuan pemberian layanan umum. Adapun pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk yang menaunginya.
K/L tetap bertanggung jawab atas pelaksanaan kewenangan yang didelegasikannya kepada BLU. Selain itu, K/L yang bersangkutan menjalankan peran pengawasan terhadap kinerja BLU dan pelaksanaan kewenangan yang didelegasikan.
Dari sisi status hukum, BLU tidak terpisah dari K/L sebagai institusi induk. Hal ini lantaran BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan K/L dan karenanya status hukum BLU tidak terpisah dari kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah sebagai instansi induk.
Sesuai dengan ketentuan, BLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa mengutamakan pencarian keuntungan. Namun, BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan.
Imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Adapun tarif layanan harus mempertimbangkan 4 aspek.
Keempat aspek tersebut meliputi: (i) kontinuitas dan pengembangan layanan; (ii) daya beli masyarakat; (iii) asas keadilan dan kepatutan; dan kompetisi yang sehat. Fleksibilitas lain yang diberikan pada BLU adalah Kepada BLU dapat untuk mempekerjakan tenaga profesional non-PNS.
Berdasarkan uraian pengertian dan asas BLU yang telah dipaparkan, BLU memiliki karakteristik sebagai berikut:
Adapun BLU berbeda dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Perbedaan itu antara lain dari sisi orientasi keuntungan. Seperti diketahui, BUMN diwajibkan mencari keuntungan, sedangkan BLU tidak mengutamakan keuntungan.
Selanjutnya, dari sisi status kekayaan atau aset, aset BLU tidak terpisahkan dari kekayaan negara, sedangkan aset BUMN terpisahkan dari kekayaan negara. Dari sisi pendapatan usahanya, pendapatan BUMN tidak sepenuhnya PNBP, sedangkan pada BLU merupakan PNBP.
Dari sisi penetapan tarif, BLU ditetapkan oleh menteri keuangan (dapat didelegasikan ke K/L & BLU), sementara BUMN ditetapkan sendiri. Perbedaan lain bisa dilihat dari sisi status subjek pajak. Adapun BUMN merupakan subjek pajak, sementara Blu bukan subjek pajak.
Merujuk Laporan Kinerja Direktorat PPK BLU 2023, jumlah BLU hingga 2023 mencapai 312. Jumlah tersebut terdiri atas 114 BLU di bidang kesehatan, 141 BLU bidang pendidikan, 8 BLU pengelola dana, 7 BLU pengelola kawasan, dan 42 BLU pengelola barang dan jasa lainnya.
Umumnya, contoh instansi pemerintah yang merupakan badan layanan umum di Indonesia ialah rumah sakit dan universitas atau perguruan tinggi negeri (“PTN”) selaku penyelenggara pendidikan. Daftar badan layanan umum dapat Anda lihat pada Daftar BLU.
Berdasarkan laman tersebut, contoh BLU di antaranya Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Seperti yang telah disebutkan, dari sisi pajak, BLU tidak termasuk subjek pajak. Hal ini berdasarkan pada Pasal 2 ayat (3) huruf b UU PPh.
Pasal tersebut menyatakan yang termasuk subjek pajak dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
BLU merupakan unit dari badan pemerintah yang dibentuk berdasarkan UU 1/2024 dan PP 23/2005. Berdasarkan PP 23/2005, BLU menggunakan APBN/APBD yang telah ditetapkan. Selain itu, seluruh pendapatan yang diperolehnya dari non-APBN/APBD dilaporkan dan dikonsolidasikan dalam pertanggungjawaban APBN/APBD.
Dengan demikian, BLU dapat dikategorikan sebagai badan pemerintah yang dikecualikan dari subjek pajak badan. Kendati bukan merupakan subjek pajak badan, BLU tetap memiliki kewajiban sebagai pemotong pajak.
Misal, pemotongan PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 4 ayat (2) terkait dengan pembayaran gaji, honor, sewa kepada karyawan serta pihak ketiga.
Dari sisi PPN, jika BLU memberikan barang atau jasa yang terutang PPN maka memiliki kewajiban untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP). BLU yang menyerahkan barang atau jasa yang terutang PPN wajib dikukuhkan sebagai PKP sepanjang melewati batasan pengusaha kecil. (rig)