JAKARTA, DDTCNews -- Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 dinilai perlu lebih dimatangkan untuk mengantisipasi sekaligus memitigasi berbagai risiko yang mungkin muncul.
Ekonom Sustainable Indonesia Dradjad H. Wibowo menilai sudah sewajarnya Ditjen Pajak mendapat akses terhadap rekening di lembaga keuangan, baik bank maupun non-bank. Namun, detil dari pelaksanaan Perppu tersebut perlu dimatangkan.
"Jadi substansi Perppu ini memang sudah sewajarnya dijalankan, dan harus dijalankan. Meski demikian, ada beberapa hal yang amat sangat krusial dijaga oleh pemerintah, yaitu mengenai kewenangan yang sangat rawan disalah-gunakan oleh oknum pajak yang nakal," ungkapnya, Rabu (17/5).
Menurutnya Perppu memberi kewenangan yang luar biasa besar kepada aparat Pajak, ditambah dengan denda program tax amnesty yang sangat besar. Namun, justru mekanisme pengawasan serta check and balance tidak disiapkan, hanya mengikuti mekanisme generik yang ada di Kementerian Keuangan.
Pemilihan Perppu sebagai dasar hukum, bukan Undang-Undang yang normal, bisa menambah efek psikologis negatif. Ini karena DPR hanya punya dua pilihan, menerima atau menolak Perppu. Tidak ada pilihan "memperbaiki berdasarkan masukan masyarakat", tidak ada peluang membangun mekanisme pengawasan serta check and balance.
"Demi kebaikan bersama, AEoI harus kita dukung bersama. Namun yang paling ideal, dasar hukumnya sebaiknya UU yg normal, dengan pembahasan dipercepat supaya bisa kita terapkan 1 Januari 2018. Dengan demikian, masukan dari masyarakat bisa diakomodasikan, mekanisme pengawasan serta check and balance bisa dibangun," tambahnya.
Kondisi itu membuat pemilik rekening keuangan yang lalai dalam perpajakan sangat rawan menjadi korban pemerasan, bahkan risiko praktik KKN juga meningkat tinggi. Hal tersebut terlepas dari kelalaian pemilik rekening dengan sengaja atau tidak, ataupun karena selama ini kurang perhatian terhadap aturan perpajakan.
Dradjad menegaskan kondisi itu berpotensi membuat nasabah keuangan panik, yang seharusnya memang tidak perlu panik, asalkan sudah ikut tax amnesty dengan benar. Ditambah dengan belum adanya perjanjian bilateral dengan Singapura terkait hal ini, risiko kepanikan bisa berubah menjadi risiko pelarian modal.
Namun jika disepakati terdapat 'kegentingan yang memaksa', Dradjad menyarankan agar pemerintah menyusun Peraturan Pemerintah (PP) yang berisi mekanisme pengawasan serta check and balance, untuk mencegah risiko kepanikan. (Amu/Gfa)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.