ANALISIS PAJAK

Alokasi Hak Pemajakan Jasa OECD Model versus UN Model

Kamis, 26 September 2019 | 10:15 WIB
Alokasi Hak Pemajakan Jasa OECD Model versus UN Model

Dea Yustisia,
DDTC Fiscal Research

SAAT ini, jasa semakin memainkan peranan penting pada perdagangan internasional. Sektor ini berkontribusi lebih dari 60% PDB dunia (CIA, 2018). Pertumbuhan nilai ekspor jasa komersial telah mencapai 64% pada 2006-2016 dengan jumlah US$4,77 triliun pada 2016 (WTO, 2017).

Kurangnya interprestasi yang berlaku umum dan harmonisasi dalam pajak internasional mengenai konsep pemajakan atas jasa dapat menyebabkan erosi basis pajak. Selain itu, sistem pajak domestik yang berbeda mengenai jasa juga menciptakan gap bagi perusahaan multinasional untuk menghindari pajak, dan pada akhirnya menyebabkan double non-taxation (Masuchand, 2018).

Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat urgensi untuk mencermati perkembangan konsep alokasi hak pemajakan sektor jasa pada kedua model Penghindaran Perjanjian Pajak Berganda (P3B) yang menjadi acuan global, yakni OECD Model dan UN Model. Kedua lembaga ini sendiri telah memperbarui ketentuannya dalam waktu hampir bersamaan, yaitu antara 2017 hingga 2018.

OECD Model 2017
SECARA umum, pemajakan atas jasa diatur dalam Pasal 7 OECD Model 2017 mengenai laba usaha (business profit). Dengan demikian, penghasilan dari bisnis jasa akan disamakan dengan laba usaha dari sektor lainnya sehingga sangat penting untuk memahami konsep laba usaha tersebut.

Pada hakikatnya, laba usaha atas subjek pajak luar negeri (SPLN) yang memberikan jasa di negara sumber hanya akan dipajaki apabila jasa tersebut diberikan melalui suatu Bentuk Usaha Tetap (BUT) di negara sumber. Karena itu, konsep BUT menjadi sangat krusial dalam menentukan apakah suatu negara sumber dapat dikenakan pajak atau tidak (Cavelti et al, 2017).

Bagi sektor jasa sendiri, terdapat dua ambang batas agar dapat dianggap sebagai BUT, yaitu melalui pembentukan BUT Aktual dan BUT Agen. Suatu BUT atas kegiatan jasa dapat dikatakan aktual apabila memiliki tempat usaha tetap (fixed place of business). Setidaknya, terdapat tiga kriteria atas tempat usaha tetap.

Pertama, lokasi tempat usaha tersebut benar-benar digunakan untuk menjalankan bisnis perusahaan yang berupa penyediaan jasa. Kedua, lokasinya tidak berpindah-pindah. Ketiga, aktivitas jasa harus dilakukan seluruhnya atau separuhnya di tempat tersebut dalam jangka waktu tertentu.

Pembentukan BUT Agen dari sektor jasa dapat terjadi ketika perusahaan SPLN tidak memiliki tempat usaha tetap, tetapi memenuhi kriteria sebagaimana tempat usaha tetap. Pembentukan BUT Agen sendiri dapat terjadi dalam beberapa situasi.

Beberapa kondisi tersebut misalnya, ketika karyawan menandatangani kontrak atas nama perusahaan SPLN (Darussalam & Ngantung, 2017). Selain itu, BUT Agen juga dapat berupa perusahaan terkait di negara sumber misalnya anak perusahaan lokal atau perusahaan independen yang memiliki keterkaitan ekonomi dengan perusahaan SPLN (Tracana, 2017).

UN Model 2017
UN Model 2017 memiliki ketentuan khusus untuk perpajakan atas bisnis jasa. Ketentuan ini terdapat pada Pasal 5(3)(b) yang meregulasi BUT kegiatan bisnis sektor jasa. Berdasarkan pasal ini, terdapat tiga ketentuan utama yang harus terpenuhi apabila negara sumber ingin mengenakan pajak atas bisnis jasa SPLN.

Pertama, jasa harus disediakan oleh karyawan atau personel lainnya. Kedua, kegiatan bisnis jasa harus dilakukan di dalam negara sumber. Ketiga, kegiatan bisnis jasa tersebut harus berkelanjutan selama lebih dari 183 hari pada periode sepanjang 12 bulan.

Pembaruan dari klausul BUT atas bisnis jasa dalam UN Model 2017 ini ialah adanya penghapusan kalimat 'untuk proyek yang yang sama atau proyek yang terhubung' dari Pasal 5(3)(b) model sebelumnya. Melalui revisi tersebut, PBB sebagai lembaga yang menerbitkan UN Model 2017 memperluas cakupan atas BUT dari bisnis jasa.

Salah satu alasannya ialah untuk mencegah perusahaan multinasional melakukan pengaturan waktu proyek artifisial melalui pemisahan periode proyek agar tidak melebihi ambang batas waktu. Selain itu, klausul ini juga digunakan untuk menghindari interpretasi yang rumit oleh otoritas pajak terkait dengan administrasi. Namun demikian, pasal ini juga dapat bersifat tumpang tindih dengan Pasal 5(3)(a) yang mengatur aktivitas konstruksi yang dapat diklasifikasikan sebagai jasa.

Selain melakukan revisi BUT dari sektor jasa, UN Model juga mencantumkan pasal baru, yakni Pasal 12A. Terdapat beberapa justifikasi dari terbitnya pasal baru dalam UN Model 2017 ini. Pertama, pembayaran atas bisnis jasa dari SPDN (subjek pajak dalam negeri) kepada SPLN penyedia jasa seringkali merupakan pengurang penghasilan (deductible).

Kedua, penyedia jasa SPLN mungkin saja tidak akan kena pajak berdasarkan regulasi domestik maupun ataupun P3B. Ketiga, wajib pajak yang merupakan subjek pajak dalam negeri (SPDN) dari negara domisili dengan tarif pajak yang rendah dapat menyediakan jasa tanpa menghadirkan BUT di negara sumber. Hal ini kemudian dikhawatirkan dapat menyebabkan pengikisan basis pajak atas bisnis jasa di negara sumber (Sasseville, 2018).

Ketentuan lainnya terdapat dalam Pasal 14 UN Model yang mengatur penghasilan dari jasa profesional atau jasa pribadi independen lainnya. OECD telah menghapus Pasal 14 ini pada 2000. Dengan demikian, ketentuan mengenai penghasilan dari jasa pribadi independen dan jasa teknis dalam OECD Model kemudian diasimilasikan dengan Pasal 7.

Pada akhirnya, dapat terlihat kecenderungan pola pemajakan atas bisnis di sektor jasa dalam OECD Model dan UN Model menjadi semakin menjauh satu sama lain. UN Model 2017 semakin memberi kelonggaran bagi negara sumber untuk memajaki aktivitas jasa yang diatur melalui Pasal 5(3)(b), 12A, dan 14.

Di sisi lain, OECD Model 2017 lebih memprioritaskan negara maju yang merupakan pengekspor modal (negara domisili) dibandingkan dengan negara pengimpor modal (negara sumber) (Arnold, 2016).

Selain itu, OECD yang hanya mengatur alokasi hak pemajakan atas aktivitas jasa dalam Pasal 7-nya dapat dikatakan telah mengabaikan elemen utama dalam lingkungan bisnis internasional saat ini, yaitu kehadiran pasar konsumen tanpa adanya BUT yang mayoritas berasal dari negara sumber.

Terlebih, seiring perkembangan teknologi di era modern sekarang ini, bisnis jasa kemudian dapat dilakukan di mana saja dan seringkali tidak memerlukan adanya kehadiran fisik untuk menjalankannya.*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 23 Februari 2024 | 09:00 WIB ANALISIS PAJAK

Simplifikasi Ketentuan Transfer Pricing Ala Pilar 1 Amount B

Rabu, 21 Februari 2024 | 11:00 WIB ANALISIS PAJAK

Menelusuri Kompleksitas dan Tantangan Penerapan Pilar 1 Amount A

Selasa, 20 Februari 2024 | 11:50 WIB ANALISIS PAJAK

Implementasi ‘Two-Pillar Solution’ Kian Dekat, Siapkah Kita?

Kamis, 25 Januari 2024 | 09:15 WIB ANALISIS PAJAK

Mendesain Pemeriksaan Pajak Berbasis Teknologi dan Risiko Kepatuhan

BERITA PILIHAN