Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) menilai penerapan prinsip ultimum remedium akan membuat proses penyelesaian pidana di bidang cukai akan berjalan lebih cepat.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Nirwala Dwi Heryanto mengatakan implementasi ultimum remedium bertujuan mengakhirkan proses pidana penjara dan memaksimalkan pemulihan kerugian negara di bidang cukai. Dengan ketentuan ini, pengusaha barang kena cukai yang melanggar harus membayar sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 kali dari nilai cukai yang seharusnya dibayar.
"Penyelesaian perkara pidana di bidang cukai yang melanggar Pasal 50, 52, 54, 56 dan Pasal 58 lebih cepat, efektif, dan sesuai ketentuan, serta kepatuhan pengusaha barang kena cukai lebih meningkat," kata Nirwala, dikutip pada Jumat (10/2/2023).
Nirwala mengatakan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) mengatur penerapan prinsip ultimum remedium dalam pelanggaran cukai.
UU HPP mengatur prinsip ultimum remedium di bidang cukai terbagi menjadi 2 tahapan, yaitu Pasal 40B tentang penelitian dugaan pelanggaran di bidang cukai dan Pasal 64 tentang penghentian penyidikan untuk kepentingan penerimaan negara.
Peraturan pelaksanaan ultimum remedium pada tahap penelitian dugaan pelanggaran dalam Pasal 40B ayat (6) UU Cukai memang telah berlaku sejak ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 30 Desember 2022 melalui PMK 237/2022. Sementara itu, peraturan pelaksanaan ultimum remedium pada tahap penyidikan tindak pidana di bidang cukai yang berupa peraturan pemerintah (PP) masih dalam proses penetapan oleh presiden.
Selain itu, PMK mengenai tata cara penghentian penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara yang menjadi turunan PP tersebut juga masih dalam proses penyusunan karena menunggu penetapan.
Melalui ketentuan dalam UU HPP, pejabat DJBC berwenang melakukan penelitian atas dugaan pelanggaran di bidang cukai. Dalam hal hasil penelitian ditemukan pelanggaran administratif di bidang cukai, maka dapat diselesaikan dengan membayar sanksi administratif.
Penelitian atas dugaan pelanggaran di bidang cukai hanya dibatasi pada 5 pasal yaitu Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56, dan Pasal 58 UU Cukai. Kelima pasal tersebut terkait dengan pelanggaran perizinan, pengeluaran barang kena cukai, barang kena cukai tidak dikemas, barang kena cukai yang berasal dari tindak pidana, dan jual beli pita cukai.
Hasil penelitian yang tidak berujung pada penyidikan mewajibkan pelaku membayar sanksi administratif berupa denda sebesar 3 kali jumlah cukai yang seharusnya dibayar.
Kemudian, perubahan juga berlaku untuk Pasal 64 UU Cukai yang terkait dengan pemulihan kerugian pendapatan negara pada tahap penyidikan. Pada UU Cukai yang berlaku, penghentian penyidikan mewajibkan pembayaran pokok cukai ditambah sanksi denda 4 kali cukai kurang dibayar.
Namun, melalui UU HPP, pemulihan kerugian pendapatan negara saat tahap penyidikan dilakukan dengan membayar sanksi denda sebesar 4 kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. Pelaku juga bisa terhindar dari pidana penjara saat perkara sudah masuk ke pengadilan dan sudah membayar sanksi administratif. (sap)