CERITA DAN HUMOR PAJAK

Urutin Dokumen, Bukan Urutin yang Lain!

Redaksi DDTCNews
Senin, 17 Januari 2022 | 16.25 WIB
Urutin Dokumen, Bukan Urutin yang Lain!

Cerita berikut ini adalah kiriman dari pembaca DDTCNews sekaligus Kepala KPP Pratama Cirebon Satu, Nirmala Rustini, sebagai bagian dari program yang digagas DDTCNews dengan Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3). Program yang dimaksud adalah "Cerita & Humor Pajak". Simak ‘Ayo, Bagikan Cerita Kocak Anda Seputar Dunia Pajak!

Program Ini adalah inisiatif untuk berbagi memori menyenangkan dan jenaka antara wajib pajak dan petugas pajak. Redaksi hanya menyesuaikan tata bahasa dan memperjelas alur, tanpa mengubah inti cerita.

***

PERISTIWA yang akan saya ceritakan berikut ini merupakan salah satu pengalaman berkesan saya dengan wajib pajak. Cerita ini sekaligus nostalgia tersendiri bagi saya karena peristiwanya terjadi sekitar 1996 silam.

Kala itu, sebagai pemeriksa nonfungsional di suatu KPP, saya sedang melakukan pemeriksaan terhadap PT H. 

Seperti biasa, sebagai pemeriksa, saya meminta tolong agar wajib pajak melengkapi dan merapikan dokumen. Namun, saat diserahkan, dokumennya ternyata berantakan.

Kebanyakan wajib pajak yang saya temui sebenarnya tidak suka bikin gemas. Akan tetapi, khusus wajib pajak yang satu ini, beda karakternya.

Ia sering sekali bikin kesal dan menyulitkan dalam pemeriksaan. Sebab, berkas yang dikumpulkannya tidak urut sesuai dengan daftar yang dilampirkan di lampiran laporan SPT-nya.

Akhirnya, dengan nada sedikit kesal, saya bilang ke wajib pajak tersebut, "Diurutin dong dokumennya!"

Spontan, wajib pajak tersebut menjawab dengan nada bercanda, "Ya sudah, nanti saya bawa ke tukang urut."

Waktu itu, bagi saya, lelucon tadi terasa garing. Bahkan, respons tersebut makin membuat saya kesal terhadap wajib pajak tersebut. Namun, setelah bertahun-tahun berlalu, lucu juga ya kejadian itu kalau saya ingat kembali.

Pelajaran yang Bisa Diambil
BERHUMOR, apalagi di lingkungan kerja dan kesempatan formal, itu tidak bisa sembarangan. Si pelontar humor tidak hanya membutuhkan kepercayaan diri, tetapi juga perlu memiliki kemampuan untuk berempati terhadap lawan bicaranya.

Menurut profesor Cornell University Michael Fontaine, dalam modul kursus daringnya bertajuk Using Humor in the Workplace dari eCornell, seseorang yang menggunakan empati dalam berhumor akan merasakan lebih banyak manfaat daripada mereka yang tidak. Salah satunya adalah kemampuan membaca situasi dan momentum, apakah waktunya tepat untuk berhumor atau tidak.

Dalam cerita tadi, tampak jelas abstainnya empati dari wajib pajak membuat Ibu Nirmala merasa tidak nyaman. Pasalnya, tidak hanya enggan berempati untuk membantu memperlancar pemeriksaan dengan mengurutkan dokumen, yang bersangkutan juga melempar humor dalam situasi yang tidak tepat. Ia menggunakan humor untuk menutupi sifatnya yang tidak suportif.

Kendati demikian, kami sangat mengapresiasi respons Ibu Nirmala, yang saat itu tidak merespons berlebihan dan tetap profesional dalam melakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak serta kesediaannya untuk mengingat hal sesederhana ini untuk ditertawakan pada kemudian hari.

Terbukti, ketika diingat dan diceritakan kembali kepada kita semua, nuansanya sudah berubah. Dari yang dulu merasa kesal, sekarang justru bisa bikin tertawa. Memang inilah teori dasar dalam komedi, yakni tragedi yang sudah diberi waktu untuk meredakan rasa sakitnya (comedy = tragedy + time).

Anda para petugas pajak yang mempunyai pengalaman menarik dan kocak saat berinteraksi dengan kolega maupun wajib pajak, silakan hadir untuk berbagi atau mendengar cerita di acara virtual “Cerita & Humor Pajak” pada 12 Februari 2022. Pendaftaran bisa dilakukan melalui tautan bit.ly/pajakkocak.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Akhmad Arifin
baru saja
bagus sekali pembahasannya