DDTCNEWS TAX COMPETITION 2019

Urgensi Pemanfaatan AEoI dalam Pemajakan Ekonomi Digital

Redaksi DDTCNews | Senin, 02 September 2019 | 11:55 WIB
Urgensi Pemanfaatan AEoI dalam Pemajakan Ekonomi Digital
Joshua Ivan Winaldy Simanungkalit & Hanna Octaviani, PKN STAN

LAPORAN Global Digital yang dirilis We Are Social dan Hootsuite menunjukkan jumlah pengguna internet di dunia pada kuartal II/2019 sebanyak 4,4 miliar atau 57% dari total populasi 7,7 miliar penduduk.

Indonesia menempati posisi keenam pengguna internet terbanyak setelah China, Amerika Serikat, India, Brazil, dan Jepang. Besarnya jumlah pengguna internet ini dibarengi dengan peningkatan aktivitas ekonomi berbasis digital. Aktivitas itu berupa transaksi bisnis jual—beli online, baik dari platform e-commerce maupun media sosial, jasa iklan, aplikasi berbayar, dan lainnya.

Laporan Google—Temasek bertajuk ‘e-Conomy SEA 2018: Southeast Asia’s Internet Economy Hits an Inflection Point’ menunjukkan nilai ekonomi digital Indonesia mencapai US$27 miliar pada 2018. Nilai tersebut tumbuh 49% dibandingkan posisi pada 2015 dan tercatat paling tinggi se-Asean. Dengan demikian, potensi penerimaan pajak dari ekonomi digital di Tanah Air cukup besar.

Sayangnya, pada saat ini, Indonesia dan negara-negara lain di dunia tengah menghadapi tantangan pemajakan ekonomi digital. Agar tidak kehilangan potensi penerimaan pajak, beberapa negara menciptakan kebijakan pajak yang dinilai mampu memberi kepastian hukum, keadilan, dan kemudahan bagi pelaku bisnis dalam menjalankan kegiatan usaha.

Bagaimanapun, seluruh negara masih bebas menentukan skema perpajakan sebelum adanya konsesus pajak global. Sebagai contoh, India menerapkan equalization levy sejak Juli 2016. Pungutan dikenakan kepada subjek pajak luar negeri yang tidak memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) di India. Objek pajak berupa jasa digital yang diberikan pada konsumen di India oleh vendor asing.

Sejak 1 Juli 2018, Australia menerapkan PPN atas importasi barang dan jasa digital dari luar negeri melalui transaksi penjualan bisnis kepada konsumen. Prancis juga menerapkan pajak dengan tarif 3% atas total pendapatan dari layanan digital. Inggris pun berencana mengenakan pajak 2% terhadap pendapatan perusahaan teknologi global. Pajak direncanakan efektif pada Januari 2020.

Bagaimana dengan Indonesia? Pada tanggal 1 April 2018, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 35/PMK.03/2019 yang berisi tentang penegasan entitas BUT yang dimiliki oleh entitas asing. Namun, regulasi ini masih terbatas pada pemajakan konvensional dan belum dapat diberlakukan untuk lintas yuridiksi antarnegara.

Adanya regulasi tersebut sebagai batu loncatan bagi Indonesia dalam menghadapi tantangan ekonomi digital sembari menunggu konsensus global yang direncanakan akan rampung pada 2020. Konsensus tersebut akan didasarkan proposal Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang telah dibahas dalam pertemuan G20 di Jepang belum lama ini.

Konsesus global mempunyai andil untuk mengamankan potensi pajak dalam menghadapi tantangan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) dalam ekonomi digital. Model bisnis ekonomi digital yang tidak lagi mengenal batas yuridiski wilayah ini sejatinya dapat meningkatkan potensi penerimaan pajak.

Pertukaran Data dan Informasi

PENINGKATAN penerimaan bisa dijalankan dengan syarat terdapatnya konsensus gobal pemajakan ekonomi digital melalui langkah-langkah strategis dan tepat sasaran. Dalam konteks ini, pertukaran data dan informasi keuangan sangat penting. Potensi pajak perusahaan lintas negara dapat dibidik dengan kerja sama antarnegara melalui automatic exchange of information (AEoI).

Dalam implementasi AEoI, terjadi kesepakatan bersama untuk membuka dan memberikan akses ke informasi keuangan di dalam negeri kepada otoritas pajak negara lain dan memperoleh akses ke informasi keuangan di luar negeri secara otomatis.

Pemberian akses atas informasi keuangan dapat diberikan melalui integrasi antara bank, lembaga kustodian, entitas investasi tertentu, dan perusahaan asuransi. Jenis informasi akun yang akan dilaporkan meliputi saldo rekening, bunga, dividen, penjualan dan penebusan hasil aset keuangan, serta informasi lainnya.

Tujuan implementasi AEoI sendiri adalah untuk mencegah praktik penghindaran atau penggelapan pajak, mendisiplinkan wajib pajak untuk berkontribusi membayar pajak guna meningkatkan kepatuhan pajak, serta memperkuat upaya internasional untuk meningkatkan transparansi, kerjasama, dan akuntabilitas di antara lembaga keuangan dan administrasi pajak.

Penyelesaian skema pemajakan ekonomi digital melalui kebijakan global – yang didukung dengan adanya kebijakan domestik di masing-masing negara, tanpa menyalahi konsensus global antar negara – dinilai dapat menjadi kunci utama dalam menghadapi penggerusan basis pajak dan pengalihan laba terkait ekonomi digital.

Pemanfaatan AEoI secara masif, efektif, efisien, dan andal dapat menjadi langkah utama terwujudnya kebijakan global yang prudensial. Di Indonesia, implementasi pertukaran data informasi keuangan ini diatur dalam PMK No.39/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasakan Perjanjian Internasional.

Adanya langkah pasti Indonesia dalam memanfaatkan AEoI akan berdampak besar pada mekanisme perolehan dan pemanfaatan data dengan akurat, cepat, dan tepat di masa mendatang. Dengan demikian, otoritas juga dapat mencegah terjadinya potential loss pada penerimaan pajak ekonomi digital.

AEoI yang mengedepankan prinsip keterbukaan antarnegara ini mampu mencegah tumpang tindihnya klaim hak pemajakan dan pengindaran pajak oleh suatu entitas pelaku usaha. Pemajakan ekonomi digital melalui pemanfaatan AEoI ini dapat dilakukan secara global dalam sebuah kesepakatan penuh sehingga tidak memunculkan konflik kepentingan antarnegara di kemudian hari.

Selain itu, regulasi perpajakan ekonomi digital dalam konsesus gobal juga harus tetap memperhatikan kemudahan dalam berbisnis (ease of doingbusiness/EoDB) serta memberikan keadilan kepada wajib pajak dan pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya.

Demikian, dengan adanya kesigapan dalam menerapkan kombinasi implementasi pertukaran data dan informasi secara otomatis dan regulasi yang tepat dalam suatu konsesus global, pemajakan ekonomi digital dapat dilaksanakan sedini mungkin seiring dengan pesatnya revolusi industri 4.0.

Upaya tersebut semata-mata untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat Indonesia. Selain itu, langkah ini diharapkan mampu menjawab tantangan Sustainable Development Goals (SDGs) untuk mewujudkan kondisi ekonomi nasional dan global yang inklusif, kontinu, dan konsisten demi mengakhiri kemiskinan bagi seluruh lapisan masyarakat dan dunia. *

*Esai ini merupakan salah satu dari 12 esai terpilih yang lolos seleksi awal DDTCNews Tax Competition 2019 bertajuk ‘Tax Challenges in the Digital Era: It's Time for Youth to Speak Up!’.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 25 Maret 2024 | 15:37 WIB KINERJA PERDAGANGAN

Transaksi e-Commerce Diprediksi Tembus Rp 1.730 Triliun pada 2025

Jumat, 15 Maret 2024 | 09:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP Tambah Lagi 4 Perusahaan Pemungut PPN PMSE, Ada Tencent Cloud

Rabu, 06 Desember 2023 | 18:44 WIB PEREKONOMIAN INDONESIA

Pemerintah Siapkan 3 Fase Transformasi Digital Nasional Hingga 2045

Sabtu, 18 November 2023 | 12:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Ekonomi Digital Tumbuh, Ada Peluang dan Tantangan ke Penerimaan Pajak

BERITA PILIHAN