BERITA PAJAK HARI INI

Uji Materiil Ketentuan Pemeriksaan Bukper, Begini Putusan MK

Redaksi DDTCNews | Rabu, 14 Februari 2024 | 09:05 WIB
Uji Materiil Ketentuan Pemeriksaan Bukper, Begini Putusan MK

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal ketentuan pemeriksaan bukti permulaan (bukper) dalam Pasal 43A ayat (1) dan ayat (4) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP menjadi salah satu topik yang menjadi bahasan media nasional pada hari ini, Rabu (14/2/2024).

Dalam Putusan MK Nomor 83/PUU-XXI/2023, MK menyatakan frasa 'pemeriksaan bukper sebelum dilakukan penyidikan' dalam Pasal 43A ayat (1) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'tidak terdapat tindakan upaya paksa'.

"Sehingga selengkapnya norma Pasal 43A ayat (1) dalam Pasal 2 angka 13 UU 7/2021 tentang HPP menjadi 'Dirjen pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukper sebelum dilakukan penyidikan tidak pidana di bidang perpajakan, sepanjang tidak terdapat tindakan upaya paksa'," ujar Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan.

Baca Juga:
Pemkab Tetapkan Tarif PBB Bervariasi Tergantung Jenis Objek dan NJOP

Pasal 43A ayat (4) UU KUP juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'tidak melanggar hak asasi wajib pajak'.

Dengan demikian, norma Pasal 43 ayat (4) UU KUP selengkapnya berbunyi 'Tata cara pemeriksaan bukper tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan, sepanjang tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan upaya paksa dan melanggar hak asasi wajib pajak'.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan pemeriksaan bukper memiliki kedudukan yang sama dengan penyelidikan. Artinya, tidak boleh ada upaya paksa dalam pemeriksaan bukper.

Baca Juga:
Belum Beroperasi, WP Badan Tetap Lapor SPT Masa PPh 21 Jika NPWP Aktif

Meski tujuan pemeriksaan bukper adalah untuk memaksa wajib pajak membayar pajak sesuai dengan kewajibannya, sifat memaksa tersebut tidak boleh berdampak terhadap terlanggarnya hak asasi seseorang.

Namun, MK justru menemukan adanya upaya paksa dalam pemeriksaan bukper sebagaimana diatur dalam Pasal 43A ayat (1) dan ayat (4) UU KUP. Selain putusan MK, terdapat pula ulasan seperti e-bupot 21/26, penyusunan APBN 2025, dan lain sebagainya.

Berikut ulasan berita perpajakan selengkapnya.

Soal PER-2/PJ/2024 dan e-Bupot 21/26, DJP Rilis Keterangan Resmi

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengatakan kehadiran aplikasi e-bupot 21/26 membuat pemberi kerja tidak harus datang ke kantor pajak untuk melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT).

Baca Juga:
Kondisi Apa yang Bikin Status PKP Dicabut secara Jabatan oleh DJP?

“Pelaporan SPT yang sebelumnya harus dilakukan di kantor pajak dengan cara mengunggah dokumen di TPT, kini dapat dilakukan dari mana saja melalui koneksi internet,” katanya.

DJP juga telah menerbitkan PER-2/PJ/2024 pada 19 Januari 2024 dan mulai berlaku sejak masa pajak Januari 2024. Peraturan pengganti PER-14/PJ/2013 itu mencakup beberapa pengaturan terkait dengan pembuatan bukti potong dan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21/26. (DDTCNews)

Sri Mulyani Mulai Bahas APBN 2025, Pastikan Dirancang Hati-Hati

Pemerintah mulai membahas penyusunan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025.

Baca Juga:
Batasan Nilai Transaksi yang Dipotong PPN oleh BUMN dan Pemerintah

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah bakal menyusun APBN 2025 secara hati-hati dengan mempertimbangkan berbagai risiko. Menurutnya, APBN akan terus berperan untuk menjawab berbagai persoalan struktural dan fundamental.

"Secara khusus, saya meminta agar perancangan APBN kali ini semakin dipertajam, khususnya agar APBN mampu menjawab berbagai masalah struktural maupun fundamental, juga berbagai harapan dari masyarakat Indonesia," tuturnya. (DDTCNews)

Putusan Pengadilan Pajak Perlu Sesuai UU, 4 WP Badan Ajukan Gugatan

Empat wajib pajak badan, yakni PT. Adonara Bakti Bangsa, PT. Central Java Makmur Jaya, PT. Gan Wan Solo, dan PT. Juma Berlian Exim mengajukan permohonan pengujian materiil terhadap Pasal 78 UU 14/2002 tentang Pengadilan Pajak.

Baca Juga:
Penghitungan PPh Pasal 21 atas Jasa Dokter yang Praktik di Rumah Sakit

Menurut keempat pemohon tersebut, Pasal 78 UU Pengadilan Pajak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Dalam Pasal 23A, telah ditegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.

Namun, Pasal 78 UU Pengadilan Pajak justru menyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak dapat diambil berdasarkan peraturan perundang-undangan. Frasa 'peraturan perundang-undangan' tersebutlah yang dinilai bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945.

"Seharusnya putusan Pengadilan Pajak dalam mengadili sengketa perpajakan haruslah berdasarkan undang-undang, bukan peraturan perundang-undangan," ungkap keempat pemohon dalam permohonan yang diajukan melalui kuasa hukumnya yakni Cuaca, Sintha Donna Tarigan, dan Timbul P. Siahaan. (DDTCNews)

Baca Juga:
Sudah Berlaku! Simak Daftar Tarif Terkini Pajak di Sulawesi Selatan

Imbauan Ditjen Pajak Soal Pemberitahuan Pemusatan Tempat PPN Terutang

Ditjen Pajak (DJP) menyampaikan imbauan kepada pengusaha kena pajak (PKP) untuk menyampaikan pemberitahuan pemusatan tempat PPN terutang pada tempat tinggal atau tempat kedudukan.

Ada 4 poin yang disampaikan DJP. Pertama, salah satu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan yang menggunakan NPWP cabang adalah terkait PPN bagi PKP yang tidak memilih untuk melakukan pemusatan tempat PPN terutang pada tempat tinggal atau tempat kedudukan.

Kedua, berkenaan dengan poin pertama, untuk membiasakan dan memberikan kemudahan, PKP yang belum melakukan pemusatan tempat PPN terutang diimbau untuk menyampaikan pemberitahuan pemusatan tempat PPN terutang pada tempat tinggal atau tempat kedudukan.

Baca Juga:
Indonesia Minta IMF Beri Asistensi untuk Kejar Peningkatan Tax Ratio

Ketiga, tata cara pemberitahuan pemusatan tempat PPN terutang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2020 tentang Penetapan Satu Tempat atau Lebih Sebagai Tempat Pemusatan Pajak Pertambahan Nilai Terutang.

Keempat, DJP akan melakukan pemusatan tempat PPN terutang secara jabatan pada tempat tinggal atau tempat kedudukan per 1 Juli 2024 terhadap PKP yang tidak menyampaikan pemberitahuan pemusatan tempat PPN terutang sampai dengan 30 April 2024. (DDTCNews)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 10 Mei 2024 | 17:00 WIB KABUPATEN BONDOWOSO

Pemkab Tetapkan Tarif PBB Bervariasi Tergantung Jenis Objek dan NJOP

Jumat, 10 Mei 2024 | 15:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Kondisi Apa yang Bikin Status PKP Dicabut secara Jabatan oleh DJP?

Jumat, 10 Mei 2024 | 14:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Batasan Nilai Transaksi yang Dipotong PPN oleh BUMN dan Pemerintah

BERITA PILIHAN
Jumat, 10 Mei 2024 | 17:00 WIB KABUPATEN BONDOWOSO

Pemkab Tetapkan Tarif PBB Bervariasi Tergantung Jenis Objek dan NJOP

Jumat, 10 Mei 2024 | 15:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Kondisi Apa yang Bikin Status PKP Dicabut secara Jabatan oleh DJP?

Jumat, 10 Mei 2024 | 14:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Batasan Nilai Transaksi yang Dipotong PPN oleh BUMN dan Pemerintah

Jumat, 10 Mei 2024 | 13:30 WIB KAMUS PERPAJAKAN

Apa Itu Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)?

Jumat, 10 Mei 2024 | 11:30 WIB PERATURAN PERPAJAKAN

Peraturan Baru Menteri Keuangan Soal Rush Handling, Download di Sini!

Jumat, 10 Mei 2024 | 10:00 WIB PROVINSI SULAWESI SELATAN

Sudah Berlaku! Simak Daftar Tarif Terkini Pajak di Sulawesi Selatan