KAMPALA, DDTCNews – Pengenaan pajak pada penggunaan media sosial di Uganda semakin menimbulkan kontra. Warga yang tidak sependapat dengan hal itu akhirnya melakukan unjuk rasa di pusat kota Kampala dan terjadi perkelahian sengit dengan polisi setempat.
Juru Bicara Polisi Kampala Luke Owoyesigire mengatakan polisi terpaksa menggunakan gas air mata dan menembakkan senapan untuk membubarkan aksi unjuk rasa. Polisi berhasil menangkap 2 pengunjuk rasa untuk dimintai keterangan lebih lanjut.
Kabarnya, aksi ini diorganisir oleh salah satu anggota parlemen Uganda Robert Kyagulanyi Ssentamu. Ssentamu yang juga sebagai salah satu penyanyi populer di negara itu mengungkapkan kekecewaannya terhadap skema pemajakan media sosial.
“Pajak pada media sosial akan berdampak negatif pada pemasaran musik,” katanya di Kampala, Rabu (11/7).
Menanggapi aksi unjuk rasa ini, Perdana Menteri Uganda Ruhakana Rugunda menegaskan pemerintah akan mengkaji lebih lanjut mengenai pajak media sosial. Pemerintah juga akan mengajukan aturan penggantinya pada pekan depan.
“Pajak yang dikenakan pada penggunaan media sosial, beserta pungutan lain pada sistem pembayaran berbasis telepon (mobile money), akan ditinjau lebih lanjut dan aturan baru segera dirumuskan,” tutur Ruhakana dilansri Cbsnews.com.
Aturan pajak yang diusung Presiden Uganda Yoweri Museveni dengan memberlakukan tarif UGX200 atau Rp766 ini berlaku sejak awal Juli 2018. Pengguna media sosial harus membayar pajak tersebut agar bisa mengakses media sosial di telepon selulernya.
Pertimbangan presiden yang telah memerintah sejak 1986 itu dalam memberlakukan jenis pajak ini adalah untuk mengurangi pinjaman luar negeri, sekaligus menjadi penambah anggaran pemerintah dalam membiayai proyek infrastruktur besar, seperti memperbaiki kondisi jalan yang sudah berlubang.
Namun, para aktivis justru memiliki pandangan yang berbeda dengan pertimbangan pemerintah dalam memberlakukan pajak media sosial. Aktivis menilai pajak itu hanya akan membatasi kebebasan warga dalam menggunakan media, serta membatasi cara mengkritik pemerintah. (Amu)