Menteri Keuangan Sri Mulyani. (tangkapan layar)
JAKARTA, DDTCNews - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa tingkat inflasi Indonesia masih tergolong sangat rendah jika dibandingkan dengan dengan banyak negara maju, bahka dengan negara berkembang.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada tahun lalu tingkat inflasi nasional sebesar 1,87% year on year (yoy). Sementara itu pada Januari dan Februari 2022 inflasi tercatat mulai meningkat di atas 2% yoy.
"Jika dibandingkan dengan banyak negara maju atau bahkan negara berkembang lainnya, tingkat inflasi ini masih tergolong sangat rendah,” kata Menkeu secara daring dalam acara Bloomberg Asean Business Summit, dikutip Sabtu (19/3/2022).
Namun demikian, Menkeu mengatakan pemerintah tetap akan sangat berhati-hati dengan harga komoditas global dan gangguan pasokan. Sri Mulyani juga menekankan sebenarnya kehati-hatian sudah dilakukan pemerintah sebelum Rusia menginvansi Ukraina yang mendongkrak harga komoditas global.
“Itu bisa dilihat dari banyaknya tingkat inflasi negara maju dan beberapa negara berkembang yang sudah meningkat cukup signifikan dan itu pasti akan berdampak,” ujar Menkeu.
Menkeu menjelaskan respons terhadap kebijakan moneter di banyak negara maju akan memengaruhi daya beli sehingga berdampak pada pemulihan ekonomi yang didorong oleh konsumsi.
Menkeu bilang kedua efek tersebut perlu direspons dan diantisipasi. Untuk Indonesia, sebagian kenaikan harga komoditas ini belum ditransmisikan ke harga konsumen karena kebijakan harga yang diatur oleh pemerintah.
“Harga pangan kita yang relatif stabil, seperti beras yang dalam 2 tahun terakhir sangat diuntungkan dengan hujan yang terus menerus dan itu juga menjadi penyangga bagi kita,” kata Menkeu.
Di sisi lain, pemerintah juga sangat mewaspadai harga pangan lainnya, termasuk minyak goreng, kedelai, dan gandum karena konflik Rusia-Ukraina akan berdampak signifikan bagi beberapa komoditas di Indonesia.
“Kami sudah membuat kalkulasi yang tentunya memberikan tekanan pada harga ini terhadap inflasi dalam beberapa bulan ke depan. Apalagi untuk Indonesia, karena kita mengantisipasi Ramadan dan Idul Fitri. Harga komoditas yang bersifat musiman pasti akan berimplikasi,” ujar Menkeu.
Melihat kondisi tersebut, Menkeu mengatakan pemerintah akan terus memonitor dinamika ekonomi dan volatilitas harga komoditas serta menyusun analisis risiko ekonomi dan fiskal atas berbagai skenario untuk merumuskan langkah antisipasi.
Di samping itu, kebijakan makroekonomi akan diarahkan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sistem keuangan nasional, melindungi daya beli masyarakat miskin dan rentan, serta menjaga keberlanjutan pemulihan sektor usaha dan keberlanjutan fiskal.
"Pemerintah akan menggunakan berbagai tools, baik fiskal, moneter, bahkan intervensi di pasar agar kami dapat terlebih dahulu memastikan bahwa proses pemulihan akan terus berlanjut,” kata Menkeu.
Pemerintah juga akan melakukan mitigasi dampak peningkatan harga komoditas ekstrem. Kemudian, memastikan ketersediaan barang dan jasa saat permintaan membaik seiring dengan proses pemulihan setelah pandemi.
“Jadi, kami akan menggunakan semua alat agar kami dapat menavigasi situasi yang sangat menantang ini dari pandemi yang belum berakhir, serta risiko geopolitik baru,” ujar Menkeu. (sap)