Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Sosialisasi UU HPP di Medan. (tangkapan layar)
JAKARTA, DDTCNews - UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) memperluas ultimum remedium tindak pidana perpajakan hingga tahap persidangan dari yang sebelumnya hanya pada tahap penyidikan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan perubahan besaran sanksi administrasi pajak pada UU HPP lebih mencerminkan keadilan bagi wajib pajak. Menurutnya, petugas pajak juga memiliki keahlian untuk membedakan wajib pajak yang lupa atau sengaja menghindari pajak.
"Ini fair kan, antara dia sengaja atau alpa. Membedakannya bagaimana? Petugas pajak saya [yakin] tahu, yang lupa atau benar-benar memang kriminal," katanya dalam sosialisasi UU HPP di Medan, Jumat (4/2/2022).
Sri Mulyani mengatakan ketentuan sanksi pajak pada UU HPP tersebut mengubah peraturan sebelumnya yang tertuang dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Pada UU HPP, pemerintah mengedepankan ultimum remedium sebagai upaya penegakan hukum pidana pajak dengan mengedepankan pemulihan kerugian pendapatan negara.
Dalam hal ini, wajib pajak yang sengaja melakukan tindak pidana akan disanksi lebih berat ketimbang yang alpa atau tidak sengaja. Perubahan itu juga selaras dengan semangat UU Cipta Kerja.
Sri Mulyani menyebut perubahan ketentuan sanksi administrasi pajak melalui UU HPP lebih mencerminkan asas keadilan bagi wajib pajak.
Misalnya pada sanksi PPh kurang bayar dan PPh kurang dipotong, terdapat sanksi dengan menggunakan suku bunga acuan dan uplift factor pada saat pemeriksaan dan wajib pajak tidak menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) atau membuat pembukuan. Sementara pada ketentuan yang lama, sanksi yang dikenakan sebesar 50% dan 100%.
Melalui UU HPP, pemerintah dan DPR sepakat menurunkan sanksi pemeriksaan dan wajib pajak tidak menyampaikan SPT/membuat pembukuan dari semula sebesar 50% dan 100% menjadi 75% dan sebesar suku bunga acuan ditambah uplift factor 20%. Kemudian, terdapat penurunan sanksi keberatan dan banding dari yang awalnya sebesar 100% dan 50% menjadi hanya sebesar 60% dan 30%. Sebelumnya, UU Cipta Kerja juga telah menurunkan tarif sanksi administrasi bunga.
Selain itu, perubahan juga terjadi pada sanksi setelah upaya hukum tetapi keputusan keberatan/pengadilan menguatkan ketetapan DJP. Sanksi atas keberatan pada UU HPP turun menjadi 30% dari sebelumnya 50%.
Sementara sanksi atas banding turun menjadi 60% dari sebelumnya 100%. Adapun pada peninjauan kembali, sanksinya kini diatur 60% dari sebelumnya tidak ada.
"Kami memberikan sanksi kepada orang yang tidak comply bukan karena kami ingin mengkriminalkan mereka tapi supaya pendapatan yang memang seharusnya menjadi hak negara dibayarkan," ujarnya. (sap)