Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Otoritas berencana kembali memberikan insentif berupa PPN ditanggung pemerintah (DTP) atas penyerahan rumah mulai masa pajak November 2023. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (26/10/2023).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan insentif PPN DTP diberikan untuk mendorong penguatan sektor perumahan. Rencananya, insentif tersebut akan diberikan untuk rumah dengan harga di bawah Rp2 miliar. Namun, hingga saat ini, aturan pemberian insentif ini belum terbit.
"PPN akan ditanggung pemerintah untuk penjualan rumah baru karena ini untuk menghabiskan stok yang ada, yang harganya di bawah Rp2 miliar,” katanya dalam konferensi pers APBN Kita.
Sri Mulyani menuturkan pemberian insentif PPN DTP untuk rumah dengan harga di bawah Rp2 miliar akan berlaku selama 14 bulan. Pada November 2023 hingga Juni 2024, insentif PPN DTP diberikan sebesar 100%. Pada Juli hingga Desember 2024, insentif PPN DTP diberikan sebesar 50%.
Selain mengenai rencana pemberian insentif PPN DTP atas rumah dengan harga di bawah Rp2 miliar, ada pula ulasan terkait dengan kinerja penerimaan pajak. Kemudian, masih ada pula bahasan tentang pembuatan bukti potong PPh dengan NPWP atau NIK yang valid.
Belanja perpajakan atas pemberian insentif PPN DTP rumah dengan harga di bawah Rp2 miliar diperkirakan mencapai Rp2 triliun. Estimasi tersebut terdiri atas Rp300 miliar pada 2023 dan Rp1,7 triliun pada 2024.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berharap insentif PPN DTP bisa membantu masyarakat membeli rumah secara lebih terjangkau. Apabila permintaan rumah meningkat, dampaknya bakal dirasakan oleh pelaku usaha pada sektor properti perumahan.
"Kami harap pada semester II/2024 kondisi dunia tenang dan ekonomi resilient atau pemulihan sudah berjalan sehingga kita lakukan tapering," ujarnya. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)
Kementerian Keuangan mencatat penerimaan PPh badan hingga September 2023 tumbuh 21,2%. Capaian ini menunjukkan adanya perlambatan signifikan bila dibandingkan kinerja pada periode yang sama tahun lalu sebesar 115,7%.
"Ini harus kita waspadai. Artinya untuk perusahaan-perusahaan ini pertumbuhannya tahun lalu yang triple digit 115,7%, pasti tidak terulang," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
PPh badan masih menjadi kontributor terbesar, yakni 24,2% terhadap total penerimaan pajak. Adapun hingga September 2023, realisasi penerimaan pajak senilai Rp1.387,78 triliun atau 80,78% dari target senilai Rp1.718 triliun. Kinerja itu mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,9%. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)
Sejalan dengan implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi, Ditjen Pajak (DJP) akan memberikan penegasan terkait dengan pembuatan bukti potong serta pembayaran pajak.
DJP menegaskan ke depan, bukti potong hanya bisa dibuat jika memasukkan NPWP/NIK yang valid atau teradministrasi dalam sistem. Jika NPWP/NIK belum valid atau teradministrasi, bukti potong tidak bisa dibuat.
“Di sistem yang akan datang, tahapan awal pemotongan/pemungutan pajak dimulai dengan pembuatan bukti potong yang menggunakan NPWP valid, tidak bisa pembayaran dilakukan lebih dahulu,” tulis DJP dalam laman resminya.
Dengan adanya sistem tersebut, pembayaran dilakukan sesuai dengan bukti potong dibuat dengan pasti karena menggunakan NPWP/NIK yang valid. Simak pula ‘Sistem Mendatang, DJP: Tahap Awal Pemotongan Pajak Dimulai dengan Ini’. (DDTCNews)
Kementerian Keuangan menilai perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) atau tax treaty perlu terus dilakukan modernisasi. Hal ini untuk menjawab berbagai tantangan pada masa depan.
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Pande Putu Oka Kusumawardani mengatakan P3B bertujuan mendistribusikan hak perpajakan secara adil antarnegara dengan mempertimbangkan aktivitas ekonomi dan tempat tinggal wajib pajak. Di sisi lain, Indonesia juga berkomitmen mencegah penyalahgunaan P3B.
"Komitmen kami dalam memodernisasi P3B salah satunya ditunjukkan dengan 2 perjanjian terbaru yang mulai berlaku pada 1 Januari 2022 dengan Singapura dan Uni Emirat Arab," katanya. (DDTCNews)
Kehadiran pajak minimum global sebagaimana dimaksud pada Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) berperan penting untuk mencegah perlombaan penurunan tarif PPh badan atau race to the bottom oleh yurisdiksi-yurisdiksi guna menarik investasi.
Direktur Perpajakan Internasional DJP Mekar Satria Utama menilai pajak minimum global seyogianya tidak dipersepsikan merugikan negara berkembang seperti Indonesia lantaran mengurangi ruang untuk memberikan insentif.
"Pilar 2 ini jangan kita lihat sebagai menguntungkan negara maju atau negara berkembang. Pilar 2 ini mencegah race to the bottom dan memastikan perusahaan multinasional dipajaki di manapun dia berada," katanya.
Lebih lanjut, penetapan tarif pajak efektif minimal sebesar 15% tidak hanya berlaku di Indonesia saja, tetapi juga di negara lain. Artinya, daya saing Indonesia dalam menarik penanaman modal asing sesungguhnya tidaklah tergerus.
Dengan adanya pajak minimum global, batas bawah atau floor bagi yurisdiksi dalam memberikan perlakuan pajak preferensial kepada calon investor adalah sebesar 15%, bukan 0% sebagaimana yang terjadi sebelum tercapainya konsensus atas Pilar 2. (DDTCNews) (kaw)