RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa mengenai pembayaran bunga yang belum dipotong PPh Pasal 23 dan belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT).
Otoritas pajak menyatakan wajib pajak belum melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas pembayaran bunga kepada PT X dan PT Y yang berdomisili di Indonesia. Dalam proses penyelesaian sengketa, wajib pajak dinilai tidak kooperatif dalam menyerahkan dokumen-dokumen yang diminta otoritas pajak. Oleh sebab itu, otoritas pajak menetapkan koreksi DPP PPh Pasal 23 atas bunga.
Di sisi lain, wajib pajak tidak sepakat dengan pendapat otoritas pajak. Dalam perkara ini, wajib pajak telah meminjam dana dari korporasi yang berkedudukan di Swiss dan Belanda. Wajib pajak menegaskan pemberi pinjaman bukan merupakan wajib pajak dalam negeri (WPDN). Dengan demikian, atas pembayaran bunga tersebut tidak termasuk objek PPh Pasal 23.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan ID.
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat koreksi positif PPh Pasal 23 yang ditetapkan oleh otoritas pajak tidak dapat dipertahankan.
Berdasarkan pada penelitian, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai wajib pajak telah menunjukkan bukti-bukti yang memadai. Mengacu pada bukti tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyakini transaksi pembayaran bunga yang dilakukan wajib pajak tidak terutang PPh Pasal 23.
Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 54244/PP/M.XIIA/12/2014 tanggal 21 Juli 2014, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 20 November 2014.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi positif DPP PPh Pasal 23 senilai Rp1.197.499.664 yang tidak dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Pemohon PK melakukan koreksi positif DPP PPh Pasal 23 dengan berdasarkan pada hasil ekualisasi antara SPT Masa PPh Pasal 23 dan pos biaya dalam laporan keuangan Termohon PK.
Berdasarkan pada hasil ekualisasi tersebut, Pemohon PK menemukan adanya objek PPh Pasal 23 yang belum dipotong dan disetorkan Termohon PK, yaitu biaya bunga. Menurut Pemohon PK, Termohon PK telah meminjam sejumlah dana dari PT X dan PT Y yang berdomisili di Indonesia.
Atas transaksi tersebut, Termohon PK melakukan pembayaran bunga kepada PT X dan PT Y. Dengan demikian, atas transaksi yang dimaksud seharusnya dipotong PPh Pasal 23. Akan tetapi, Termohon PK belum melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas pembayaran bunga yang dilakukannya.
Selain itu, selama proses pemeriksaan maupun keberatan, Termohon PK tidak dapat memberikan dokumen yang diminta untuk membuktikan dalilnya. Dalam proses penyelesaian sengketa, Termohon PK hanya menunjukkan data berupa salinan SPT Masa PPh Pasal 23/26 dan bukti potong PPh Pasal 23/26 tahun pajak 2007. Akibatnya, selama proses pemeriksaan hingga keberatan, Pemohon PK tidak dapat meneliti domisili pemberi pinjaman.
Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Termohon PK terbukti tidak memiliki itikad baik dalam menjalani proses pemeriksaan dan keberatan. Dengan begitu, koreksi yang dilakukan Pemohon PK sudah tepat dan dapat dipertahankan.
Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan pendapat Pemohon PK. Termohon PK mengakui telah meminjam sejumlah dana dari 2 korporasi yang masing-masing berkedudukan di Swiss dan Belanda.
Atas transaksi tersebut, Termohon PK wajib membayarkan bunga kepada pemberi pinjaman. Termohon PK menyebutkan pemberi pinjaman bukan merupakan wajib pajak dalam negeri. Dengan begitu, transaksi pembayaran bunga yang dilakukan Termohon PK tidak termasuk objek PPh Pasal 23.
Untuk membuktikan pernyataannya tersebut, Termohon PK telah menyampaikan beberapa bukti dalam persidangan, yaitu berupa loan agreement, general ledger interest expense, jurnal, rekening koran, dan SPT Masa PPh Pasal 23/26, dan surat setoran pajak (SSP).
Selain itu, Termohon PK berpendapat telah bekerja sama sepenuhnya dengan Pemohon PK dalam menyediakan semua detail informasi mengenai transaksi yang dilakukan Termohon PK untuk masa pajak Januari hingga Desember 2007. Berdasarkan pada uraian di atas, koreksi DPP PPh Pasal 23 yang ditetapkan Pemohon PK tidak dapat dipertahankan.
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sudah tepat dan benar. Adapun terhadap perkara ini, terdapat 2 pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, koreksi positif DPP PPh Pasal 23 masa pajak Januari sampai Desember 2007 yang ditetapkan Pemohon PK tidak dapat dibenarkan. Sebab, setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan kedua belah pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta dan bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Kedua, dalam perkara a quo, Termohon PK telah menunjukkan bukti yang cukup memadai berupa loan agreement, general ledger interest expense, bukti jurnal, rekening koran, dan SPT masa PPh Pasal 23/26, dan SSP atas transaksi pembayaran bunga kepada pemberi pinjaman.
Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menilai permohonan PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.