Ilustrasi.
RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa mengenai pengenaan pajak kendaraan bermotor (PKBP) terhadap wajib pajak pemegang kontrak karya. Wajib pajak merupakan perusahaan yang bergerak pada bidang pertambangan dan tunduk kepada kontrak karya.
Otoritas pajak menilai kendaraan bermotor dengan jenis alat-alat berat milik wajib pajak seharusnya dikenakan PKB. Sebab, wajib pajak merupakan pemilik atau pihak yang menguasai kendaraan bermotor jenis alat-alat berat tersebut.
Di sisi lain, wajib pajak beranggapan pengenaan PKB atas alat-alat berat yang dimiliki seharusnya tidak dapat dilakukan karena wajib pajak merupakan perusahaan yang beroperasi berdasarkan pada kontrak karya. Wajib pajak menyatakan di dalam kontrak karya tidak diatur terkait dengan PKB. Dengan begitu, wajib pajak juga seharusnya tidak dipungut PKB.
Di sisi lain, wajib pajak beranggapan seharusnya otoritas pajak tidak memungut PKB atas alat-alat berat yang dimilikinya. Sebab, Pasal 13 paragraf 1 dan 2 kontrak karya mengatur perusahaan tidak wajib membayar pajak atau pungutan apapun selain dari yang ditetapkan dalam perjanjian.
Selain itu, kontrak karya juga mengadopsi konsep nailed down. Dengan adanya konsep tersebut, wajib pajak hanya berkewajiban membayar pajak berdasarkan pada kontrak karya dan peraturan yang berlaku saat kontrak karya tersebut ditandatangani. Dalam hal ini, saat kontrak karya dibuat, belum ada ketentuan yang mengatur terkait dengan pemungutan PKB.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menolak permohonan banding wajib pajak. Selanjutnya, pada tingkat PK, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK yang diajukan wajib pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.
WAJIB pajak mengajukan banding atas pengenaan PKB terhadap kendaraan bermotor jenis alat-alat berat dan besar miliknya. Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan pendapat wajib pajak tidak didasarkan pada landasan yuridis yang kuat.
Menurut Majelis Hakim Pengadilan Pajak, kontrak karya tidak dapat dipersamakan dengan undang-undang sebagaimana disebutkan dalam Surat Menteri Keuangan No. S.1032/MK.04/1998. Dalam konteks ini, kontrak karya tidak dapat dianggap sebagai lex specialis dari Undang-Undang Darurat No. 11 Tahun 1957. Dengan demikian, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai wajib pajak tetap harus dikenakan PKB sesuai dengan ketentuan dalam UU PDRD.
Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan menolak permohonan banding wajib pajak melalui Putusan Pengadilan Pajak No. Put. KEP-48617/PP/M.XII/04/2013. Atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, wajib pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Sekretariat Pengadilan Pajak pada 17 Maret 2014.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah penentuan pengenaan PKB atas alat-alat berat yang dimiliki wajib pajak sebagai perusahaan pemegang kontrak karya.
PEMOHON PK menyatakan tidak setuju dengan keputusan Majelis Hakim Pengadilan. Perlu diketahui, Pemohon PK merupakan perusahaan tambang yang beroperasi berdasarkan pada perjanjian kontrak karya.
Pemohon PK menyatakan seharusnya Termohon PK tidak memungut PKB atas alat-alat berat yang dimilikinya. Sebab, Pasal 13 paragraf 1 dan 2 kontrak karya mengatur perusahaan tidak wajib membayar pajak atau pungutan apapun selain yang ditetapkan dalam perjanjian.
Selain itu, kontrak karya juga mengadopsi konsep nailed down. Dengan adanya konsep nailed down, Pemohon PK hanya berkewajiban membayar pajak berdasarkan pada kontrak karya dan peraturan yang berlaku saat kontrak karya tersebut ditandatangani. Dalam hal ini, saat kontrak karya dibuat, belum adanya ketentuan yang mengatur terkait dengan pemungutan PKB.
Lebih lanjut, Pemohon PK juga berdalih alat-alat berat miliknya dioperasikan di dalam area pertambangan. Jalan di area pertambangan ini bukan merupakan jalanan umum, melainkan jalan yang dibangun serta dipelihara sendiri oleh Pemohon PK.
Dengan demikian, jalan di area pertambangan yang digunakan Pemohon PK tersebut bukan merupakan tanggung jawab pemerintah. Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Pemohon PK menyatakan Termohon PK tidak seharusnya memungut PKB atas alat-alat berat yang dimiliki Pemohon.
Di lain sisi, Termohon PK tidak sepakat dengan pendapat Pemohon PK. Menurut Termohon PK, Pemohon PK seharusnya dipungut PKB atas alat-alat berat yang dimilikinya. Sebab, Pemohon PK merupakan pemilik atau pihak yang menguasai kendaraan bermotor atas alat-alat berat tersebut.
Selain itu, dalam kontrak karya yang disepakati Pemohon PK dengan Pemerintah Indonesia juga telah mengatur Pemohon PK harus melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku saat ini. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan Termohon PK sudah benar dan seharusnya dapat dipertahankan.
MAHKAMAH Agung berdalil alasan-alasan permohonan PK dapat dibenarkan dan putusan Pengadilan Pajak tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Terdapat 2 pertimbangan yang dikemukakan Majelis Hakim Agung sebagai berikut.
Pertama, kontrak karya adalah perjanjian antara pemerintah dengan Pemohon PK yang mengikat, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Adapun ketentuan yang tertuang dalam kontrak karya tersebut merupakan lex specialis dari ketentuan lainnya.
Kedua, demi kepastian hukum, Termohon PK tidak seharusnya mengenakan PKB atas alat-alat berat yang dimiliki Pemohon PK. Menurut Mahkamah Agung, koreksi yang dilakukan Termohon PK tidak sesuai dengan fakta dan peraturan yang berlaku.
Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menilai terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan PK. Dengan demikian, Termohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. Putusan Mahkamah Agung ini diucapkan Hakim Ketua dalam sidang yang terbuka untuk umum pada 31 Maret 2015. (kaw)