RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Penetapan Tagihan ICT Sebagai Objek PPh Pasal 26

Hamida Amri Safarina
Senin, 05 Oktober 2020 | 17.00 WIB
Sengketa Penetapan Tagihan ICT Sebagai Objek PPh Pasal 26

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai penetapan tagihan information, communication, and technology (ICT) sebagai objek pajak penghasilan (PPh) Pasal 26.

Perlu dipahami dalam perkara ini, wajib pajak melakukan pembayaran jasa atas adanya tagihan ICT kepada perusahaan yang berkedudukan di Belanda, selanjutnya disebut X Co. Pembayaran tersebut dilakukan secara rutin yaitu setiap tiga bulan sekali.

Otoritas pajak menyatakan tidak adanya kontrak yang mengatur secara khusus terkait dengan pembayaran tagihan ICT. Akibatnya, otoritas pajak tidak memahami dengan pasti terkait dengan tagihan ICT, bentuk jasa yang dilakukan, dan di mana jasa dikerjakan.

Oleh karena itu, otoritas pajak memutuskan untuk mengklasifikasikan tagihan ICT sebagai royalti yang merupakan objek PPh Pasal 26 sesuai Pasal 12 P3B Indonesia dengan Belanda. Atas penghasilan yang diterima X Co tersebut dikenakan tarif PPh Pasal 26 sebesar 10%. 

Sebaliknya, wajib pajak menyatakan tagihan ICT merupakan bentuk reimbursement atas biaya penyimpanan data di sebuah perusahaan rekanan X Co di Belanda. Pekerjaan atau jasa tersebut dilakukan di dalam daerah pabean Belanda sehingga tidak terutang PPh Pasal 26.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan mahkamah Agung atau di sini.

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat pembayaran atas tagihan ICT yang dilakukan wajib pajak termasuk dalam penghasilan lainnya. Pemajakan untuk penghasilan lainnya tersebut merupakan hak Pemerintah Belanda.

Atas permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 23142/PP/M.V/13/2010 tanggal 26 April 2010, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 20 Agustus 2010.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi dasar pengenaan pajak (DPP) PPh Pasal 26 masa Januari sampai dengan Juli 2006 senilai Rp497.461.873 yang tidak dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
Pemohon PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Berdasarkan penelitian, dapat diketahui Termohon PK melakukan pembayaran atas tagihan ICT kepada X Co yang berkedudukan di Belanda. Pembayaran tersebut dilakukan secara rutin, yaitu setiap tiga bulan sekali.

Pada saat pemeriksaan, Pemohon PK telah meminta Termohon PK untuk menunjukkan surat perjanjian kerja sama antara Termohon dengan X Co. Namun, Termohon PK menyatakan tidak ada perjanjian yang dimaksud Pemohon PK.

Akibatnya, otoritas pajak tidak memahami dengan pasti terkait dengan tagihan ICT, bentuk jasa yang dilakukan, dan di mana jasa dikerjakan. Pembayaran atas tagihan ICT tersebut tidak dilaporkan dalam SPT dan tidak dipotong PPh Pasal 26 oleh Termohon PK.

Lebih lanjut, Termohon PK juga tidak dapat memberikan bukti pendukung atas dalilnya yang menyatakan pembayaran atas tagihan ICT bukan merupakan objek PPh Pasal 26. Pemohon PK menganggap pembayaran atas tagihan ICT dilakukan sehubungan dengan pemberian hak kepada Termohon PK untuk menggunakan sistem dan penyimpanan data dalam server milik X Co di Belanda.

Oleh karena itu, Pemohon PK memutuskan untuk mengklasifikasikan tagihan ICT sebagai royalti yang merupakan objek PPh Pasal 26 sesuai Pasal 12 P3B Indonesia dengan Belanda. Konsekuensinya, penghasilan yang diterima X Co tersebut dikenakan tarif PPh Pasal 26 sebesar 10%. 

Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan dalil Pemohon PK. Termohon PK menjelasan pembayaran atas tagihan ICT merupakan bentuk reimbursement atas biaya penyimpanan data di sebuah perusahaan rekanan X Co di Belanda. Pekerjaan atau jasa tersebut dilakukan di dalam daerah pabean Belanda sehingga tidak terutang PPh Pasal 26.

Pelaksanaan jasa atau pekerjaan tersebut memang tidak didasari suatu kontrak atau perjanjian antara Termohon PK dengan X CO. Sebab, atas transaksi tersebut telah diatur dan ditetapkan tersendiri oleh kantor pusat Termohon PK yang berdomisili di Belanda. Termohon PK sebagai perusahaan cabang di Indonesia hanya melaksanakan kebijakan dari kantor pusat.

Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan seluruhnya permohonan banding sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi nihil sudah tepat. Terdapat dua pertimbangan hukum Majelis Hakim Agung sebagai berikut.

Pertama, koreksi DPP PPh Pasal 26 masa pajak Januari sampai dengan Juli 2006 senilai Rp497.461.873 tidak dapat dibenarkan. Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diungkapkan oleh para pihak dalam persidangan, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak

Kedua, dalam perkara a quo, Termohon PK telah terbukti melakukan pembayaran kepada X Co atas tagihan ICT. Pemajakan atas penghasilan yang diterima X Co merupakan kewenangan pemerintah Belanda. Koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.