Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Otoritas akan menyatukan ketentuan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU) atau arm's length principle (ALP), dokumentasi transfer pricing (TP Doc), advance pricing agreement (APA), dan mutual agreement procedure (MAP) ke dalam 1 peraturan.
Rencana otoritas tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (11/7/2023). Penggabungan sejumlah ketentuan menjadi 1 peraturan menteri keuangan (PMK) diharapkan dapat memudahkan wajib pajak dalam memahami penerapan PKKU.
“Jadi, spirit utamanya adalah simplifikasi serta berfokus pada kemudahan bagi wajib pajak dan petugas pajak,” ujar Kepala Seksi Pencegahan dan Penanganan Sengketa Perpajakan Internasional II Ditjen Pajak (DJP) Whisnu Wardhana.
Menurutnya, penyatuan ketentuan transfer pricing ke dalam 1 PMK sejalan dengan best practice internasional. Dia mengatakan beberapa negara maju dan berkembang, seperti AS, Inggris, Australia, Malaysia dan Bangladesh telah memasukkan ketentuan transfer pricing dalam 1 peraturan.
Adapun ulasan rezim transfer pricing di Indonesia dan 13 negara lainnya juga masuk dalam edisi ketujuh dari buku Transfer Pricing Law Review yang diterbitkan The Law Review. Rezim di Indonesia diulas oleh Manager of DDTC Consulting Cindy Kikhonia Febby dan Veronica Kusumawardani.
Kedua profesional DDTC bergabung dengan kontributor yang berasal dari 13 negara lainya seperti Brazil, Canada, Cyprus, Jerman, Irlandia, Israel, Italia, Jepang, Luksemburg, Meksiko, Swiss, AS, dan Britania Raya. Simak ‘Masuk Lagi, Ulasan Profesional DDTC di Buku Transfer Pricing 14 Negara’.
Selain mengenai penyatuan beberapa ketentuan terkait dengan transfer pricing, ada pula ulasan tentang outlook realisasi APBN 2023. Kemudian, masih ada pula bahasan menyangkut realisasi repatriasi harta peserta Program Pengungkapan Sukarela.
Kepala Seksi Pencegahan dan Penanganan Sengketa Perpajakan Internasional II DJP Whisnu Wardhana mengatakan kendati ketentuan-ketentuan terkait dengan transfer pricing akan digabung menjadi 1 PMK, pemerintah tidak banyak mengubah aturan main yang sudah berlaku selama ini.
“Pengaturan existing kami perjelas. Kami lengkapi dan disesuaikan dengan perubahan pada UU HPP dan dampak reformasi perpajakan serta disusun dengan sistem kodifikasi dalam 1 naskah peraturan,” ujarnya.
Rancangan PMK PKKU yang sedang disusun terdiri dari 11 bab, yakni bab I mengenai ketentuan umum dan bab ii tentang ruang lingkup. Selanjutnya, bab III, IV, dan V membahas konsep hubungan istimewa, konsep dan tahapan PKKU, serta subjek dan syarat lengkap dari TP Doc.
Kemudian, bab VI bakal mengatur tentang kewenangan DJP dalam melaksanakan pengawasan dan pemeriksaan terhadap wajib pajak yang melakukan transaksi afiliasi. Adapun bab VII dan bab VIII secara berurutan akan mengatur tentang MAP dan APA.
Terakhir, bab IX, X, dan XI akan mengatur tentang pendelegasian kewenangan, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup. (DDTCNews)
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan ketentuan terbaru akan turut mengatur penerapan PKKU atas wajib pajak dalam negeri yang melakukan transaksi afiliasi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa di dalam negeri.
"Dalam PKKU ini, kita tidak hanya semata-mata mengatur transaksi yang melibatkan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa lintas yurisdiksi, tetapi mengatur juga pihak-pihak yang terafiliasi dengan transaksi yang di dalam negeri,” katanya.
Yon mengatakan penerapan PKKU atas transaksi afiliasi perlu diatur pemerintah guna menekan risiko ketidakpatuhan wajib pajak di dalam negeri. Penerapan PKKU atas transaksi afiliasi di dalam negeri juga menjadi upaya pemerintah mengurangi ruang aggressive tax planning. (DDTCNews)
Rancangan PMK perihal transfer pricing bakal memerinci secara khusus tentang ketentuan pengawasan dan pemeriksaan dalam penerapan PKKU. Kewenangan otoritas pajak dalam melaksanakan pengawasan dan pemeriksaan akan diperinci dalam bab VI.
"Bab IV ini ada pengaturan baru tentang pengawasan dan pemeriksaan. Di sini ada aspek primary adjustment, secondary adjustment, dan corresponding adjustment," kata Kepala Seksi Pencegahan dan Penanganan Sengketa Perpajakan Internasional II DJP Whisnu Wardhana. (DDTCNews)
Pemerintah memproyeksikan penerimaan pajak akan mencapai Rp1.818,2 triliun pada akhir tahun. Nilai proyeksi tersebut tercatat sebesar 105,8% dari target dalam APBN 2023 senilai Rp1.718 triliun. Dengan demikian, outlook pertumbuhan penerimaan pajak tahun ini sebesar 5,9%.
"Meskipun kita melampaui target, pertumbuhan penerimaan pajak diperkirakan di 5,9%. Ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan tahun lalu yang mencapai 34,3%," katanya.
Sri Mulyani menuturkan realisasi penerimaan pajak pada semester I/2023 telah mencapai Rp970,2 triliun atau setara dengan 56,5% dari target Rp1.718 triliun. Kinerja ini juga mengalami pertumbuhan sebesar 9,9%. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)
Pemerintah mengestimasi penerimaan kepabeanan dan cukai akan mengalami shortfall – selisih kurang antara realisasi dan target – senilai Rp3,1 triliun pada 2023.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai hingga akhir tahun diprediksi hanya akan senilai Rp300,1 triliun atau setara 99% dari target Rp303,2 triliun. Kinerja penerimaan ini juga akan mengalami kontraksi 5,6%.
"Ini masih cukup baik karena bea dan cukai selama pandemi 3 tahun berturut-turut tidak pernah mengalami kontraksi penerimaan," katanya. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)
DJP mencatat 6.877 wajib pajak peserta Program Pengungkapan Sukarela (PPS) telah menyampaikan laporan realisasi repatriasi atau investasinya hingga 7 Juli 2023. Meski batas waktu penyampaian laporan tahun pertama sudah lewat, wajib pajak tetap dapat melaksanakan kewajibannya.
Sebanyak 857 wajib pajak yang telah melaporkan realisasi repatriasi dengan jumlah harta repatriasi Rp19,13 triliun. Kemudian, 6.020 wajib pajak telah melaporkan realisasi investasi PPS senilai Rp297,27 miliar usaha baru, Rp239,14 miliar modal, Rp4,3 triliun SBN rupiah, dan US$35,69 miliar SBN dolar. (DDTCNews) (kaw)