Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - UU 13/2022 yang merevisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP) mewajibkan para pembentuk undang-undang untuk melibatkan masyarakat ketika menyusun suatu undang-undang.
Staf Ahli Menko Perekonomian Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi Elen Setiadi mengatakan suatu perundang-undangan telah disusun dengan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) bila 3 prasyarat telah terpenuhi.
"Pertama, didengarkan pendapatnya atau right to be heard. Kedua, hak untuk dipertimbangkan atau right to be considered. Ketiga adalah hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan atau right to be explained," ujar Elen, dikutip pada Sabtu (9/7/2022).
Menurut Elen, ketiga prasyarat ini akan mengubah kebiasaan pemerintah ketika menyusun suatu undang-undang.
Ketika sosialisasi UU Cipta Kerja, pemerintah hanya mendengarkan pendapat dari masyarakat dan tidak memberikan feedback kepada mereka yang menyampaikan. Kebiasaan ini akan diubah dengan diundangkannya UU 13/2022.
"Sekarang kita harus mengubah cara tersebut. Tidak hanya input yang kita terima, kita juga harus memberikan feedback kepada mereka yang memberikan input," ujar Elen.
Feedback kepada masyarakat dapat berupa penjelasan atau berupa pertimbangan yang menjelaskan mengapa masukan tidak dapat diakomodasi.
Sejalan dengan hal tersebut, para pembentuk undang-undang juga diwajibkan untuk memberikan akses kepada publik yang berkepentingan dan terdampak langsung untuk mendapatkan informasi dan memberikan masukan.
"Ini mengubah penjelasan asas keterbukaan UU 12/2011 yang sudah kita rumuskan baru di dalam UU 13/2022. Ini adalah bagian dari meaningful participation," ujar Elen. (sap)