Mekar Satria Utama, Direktur Perpajakan Internasional DJP
KEBIJAKAN pajak internasional akan turut menentukan kinerja penerimaan pada tahun-tahun mendatang. Pasalnya, lanskap pajak global akan berubah secara signifikan. Negara-negara di dunia berkejaran dengan waktu penerapan solusi 2 pilar pemajakan digitalisasi ekonomi. Indonesia, tentu terdampak.
Isu penghindaran pajak juga mendorong pemerintah lebih cermat dalam menyiapkan resep pencegahan. Pemerintah telah menyiapkan sejumlah istrumen antipenghindaran pajak yang dituangkan dalam UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan diperkuat melalui PP 55/2022.
Pemerintah juga sedang berlari menuju implementasi pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (PSIAP) atau coretax administration system (CTAS). Nantinya, sistem tersebut turut digunakan pemerintah dalam mempertukarkan data dan informasi perpajakan dengan yurisdiksi mitra.
Kepada DDTCNews, Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) Mekar Satria Utama menjelaskan mengenai strategi yang dijalankan pemerintah dalam mengamankan penerimaan pajak dari aspek perpajakan internasional. Hal ini termasuk soal kesiapan pemerintah dalam implementasi konsensus pajak global. Berikut kutipan lengkapnya:
Tugas utama DJP adalah ikut menjaga kesehatan APBN melalui pengamanan penerimaan pajak dan kemudahan berusaha. Tugas ini cukup menantang karena pada 2023, kita masih dihadapkan pada kondisi ketidakpastian ekonomi.
Hal-hal yang terus dilakukan adalah perbaikan regulasi, peningkatan kemampuan SDM (sumber daya manusia), perbaikan struktur organisasi, serta penyempurnaan IT (information technology) dan operasional kerja melalui reformasi, terutama pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (PSIAP).
Pada Direktorat Perpajakan Internasional, salah satu yang dilakukan adalah membantu upaya penggalian potensi, baik dalam pengawasan maupun pemeriksaan. Kami juga membantu proses keberatan dan banding terkait dengan isu-isu transfer pricing.
Kegiatannya dalam bentuk bantuan teknis dan peningkatan kemampuan teknis pegawai DJP dalam menangani transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa (isu transfer pricing). Kami juga akan memperbanyak petunjuk pelaksanaan (guidelines) serta contoh penanganan isu-isu transfer pricing yang memudahkan pemahaman petugas pajak dan wajib pajak.
Kami juga berupaya menyelesaikan beberapa peraturan di bidang pajak internasional. Peraturan itu merupakan lanjutan dari UU HPP, yakni berupa peraturan pemerintah, peraturan menteri keuangan dan aturan-aturan turunannya. Peraturan pemerintah baru selesai pada Desember 2022. Kami targetkan aturan lanjutannya bisa diselesaikan sampai dengan pertengahan 2023.
Terkait dengan penerapan global konsensus, kami juga berperan aktif dalam working group yang membahas isu-isu tersebut. Indonesia juga sudah diterima menjadi anggota Steering Group Inclusive Framework sehingga bisa menyampaikan pendapat-pendapat dari negara berkembang dalam forum.
Pada 2023, kita fokus untuk membantu agar konsep Pilar 1 disepakati dan MLC (multilateral convention) bisa ditandatangani negara-negara Inclusive Framework pada Juli 2023. Sementara untuk Pilar 2, kami sedang mempersiapkan aturan pelaksanaan agar bisa mulai diterapkan pada awal 2024. Itu prioritasnya dan kita akan melihat perkembangan kondisi ke depan.
Di dalam UU HPP, ada 2 klaster terkait pajak internasional. Pada klaster KUP (ketentuan umum dan tata cara perpajakan), kami berperan pada pembuatan peraturan bantuan penagihan pajak internasional yang menjadi satu bagian dari regulasi untuk penagihan. Peraturan menteri keuangan (PMK)-nya sudah akan terbit.
Kemudian, ada ketentuan terkait dengan MAP (mutual agreement procedure). Surat keputusan kesepakatan bersama menjadi dasar penagihan atau menjadi dasar pengembalian. Sebelumnya, dasar hukum pelaksanaan putusan MAP belum diatur secara jelas. Dalam UU HPP dan PP 55/2022 kita perbaiki dan perkuat sisi legalnya.
Klaster PPh dalam UU HPP juga memuat 2 hal terkait dengan peran kami [perpajakan internasional]. Pertama, tentang pencegahan penghindaran pajak. Kami menambahkan dasar pencegahan penghindaran pajak secara umum (general) dalam penjelasan Pasal 18 UU PPh melalui konsep substance over form.
Konsep substance over form ini sudah dipahami oleh fungsional pemeriksa pajak, account representative, penelaah keberatan, termasuk juga hakim pengadilan pajak. Sekarang diperkuat dasar hukumnya dalam UU HPP.
Selain itu, dilakukan juga perubahan pada pembebanan biaya pinjaman yang diperbolehkan serta penambahan metode penentuan harga transfer. Hal ini menyesuaikan dengan standar terbaru dan praktik terbaik di negara negara lain.
Kedua, terkait dengan perluasan kewenangan Kementerian Keuangan dan DJP untuk melaksanakan perjanjian dan kesepakatan internasional. Sebelumnya, Pasal 32A [UU PPh s.t.d.t.d UU HPP] hanya mengatur mengenai P3B (persetujuan penghindaran pajak berganda).
Namun, dalam UU HPP, kewenangan tersebut diperluas meliputi pertukaran informasi, bantuan penagihan, pencegahan base erosion and profits shifting (BEPS), serta perjanjian atau kesepatan perpajakan lainnya baik secara bilateral maupun multilateral sebagai dasar hukum kesiapan kita untuk implementasi Pilar 1 dan Pilar 2.
Metode antipenghindaran pajak ke depan akan melalui mekanisme specific anti-avoidance rule (SAAR) dan general anti-avoidance rule (GAAR). Konsepnya, GAAR ini dilakukan di tahap akhir sebagai backstop. Tahapan SAAR dilaksanakan terlebih dulu. Penanganan penghindaran pajak tetap terukur dan hati-hati.
Jadi, apabila suatu perusahaan terindikasi melakukan penghindaran pajak, akan diuji melalui SAAR terlebih dahulu. Misalnya, jika ada isu control foreign corporation (CFC), penanganannya cukup berdasarkan aturan CFC.
Namun, apabila upaya yang dilakukan perusahaan tidak termasuk dalam skema SAAR, tetapi dapat ditemukan ada metode dan benefit dari penghindaran pajak yang dilakukan, mekanisme GARR mulai bisa digunakan. Penjelasan dalam UU HPP [dan PP 55/2022] menjadi dasar tahapan GAAR yang akan disusun aturan pelaksanaannya.
Benchmarking bukan bagian dari proses PKKU (prinsip kewajaran dan kelaziman usaha) dan bukan merupakan metode dalam penentuan harga wajar pada transaksi afilisiasi.
Benchmarking di PP 55/2022 ditujukan untuk perusahaan yang sudah beroperasi secara komersial selama 5 tahun, tetapi melaporkan rugi 3 tahun berturut-turut dan perusahaan tersebut masih menjalankan usaha. Nanti akan diatur tersendiri terkait dengan batasan penggunaan, metode penentuan benchmarking, dan aturan pelaksanaan lainnya.
Iya. Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, sebagai antisipasi kami untuk menerapkan Pilar 1 dan Pilar 2 konsensus global. Dasar hukumnya ada di Pasal 32A [UU PPh s.t.d.t.d UU HPP] dan di PP 55/2022.
Pada saat penyusunan UU HPP, pemerintah menjelaskan kepada anggota DPR dan masyarakat bahwa akan ada perubahan lanskap perpajakan internasional dengan penerapan Pilar 1 dan Pilar 2. DJP membutuhkan dasar hukum dalam bentuk undang-undang untuk dapat menerapkannya secara efektif.
Saat ini kami masih menunggu aturan yang lebih clear untuk kedua pilar tersebut. Pilar 1 masih dibahas dalam Task force on Digital Economy (TFDE), sedangkan untuk Pilar 2 (global anti-base erosion/GloBE) dengan tarif pajak minimum 15% masih menunggu implementation framework yang akan segera diterbitkan.
Untuk model rules dan commentary GloBE rules sudah disepakati oleh anggota Inclusive Framework on BEPS (IF on BEPS). Sementara itu, terkait dengan subject to tax rules (STTR), saat ini masih dalam pembahasan di Working Party IF on BEPS.
Benar, menunggu konsensus untuk Pilar 1 dan menunggu implementation framework untuk Pilar 2.
Iya. Untuk Pilar 2 menggunakan model rules dan commentary. Kami mulai menyusun aturan pelaksanaannya. Sudah dapat dipahami yang dimaksud dengan pajak minimum 15%, scope, IIR (income inclusion rule), UTPR (undertaxed payment rule), dan STTR.
Saat ini masih menunggu implementation framework OECD untuk melengkapi konsep aturan domestik pelaksaan Pilar 2 yang sedang disusun.
Untuk Pilar 1, pembahasan di IF BEPS masih dilakukan. Konsep akhirnya diharapkan sudah dapat disetujui pada pertengahan Juli 2023 melalui penandatanganan multilateral convention (MLC). Aturan domestik pelaksanaan Pilar 1 akan disusun setelah konsepnya disetujui dan MLC ditandatangani.
Dalam pembahasan di Working Group dan Working Party OECD, ada 2 kelompok pendapat terkait hal tersebut. Pendapat pertama, yang didukung banyak negara berkembang, menginginkan kedua pilar harus berjalan bersamaan.
Alasannya karena Pilar 1 dianggap memberikan benefit bagi negara berkembang sebagai marketing jurisdiction, sedangkan Pilar 2 lebih pada kepentingan negara maju karena membatasi low tax jurisdiction (tax haven).
Pembahasan konsep Pilar 2 sudah selesai. Pilar 1 masih tertinggal karena kompleksitasnya dan ada kemungkinan tidak bisa mencapai konsensus. Kelompok ini berpendapat bahwa kedua Pilar harus dijalankan bersamaan (simultan). Ada kekhawatiran bahwa Pilar 1 yang lebih memberikan hak pemajakan baru bagi negara berkembang tertunda atau bahkan tidak mencapai konsensus bila kedua pilar dilaksanakan secara terpisah.
Pendapat kedua, yang banyak didukung negara maju, menyatakan implementasi kedua pilar bisa berjalan masing-masing yang lebih dahulu disepakati. Tanpa harus bersamaan. Kelompok ini beralasan bahwa tidak ada korelasi antara Pilar 1 dan Pilar 2 sehingga penerapannya tidak perlu menunggu dicapai kesepakatan secara bersamaan.
Kami masih secara aktif terlibat dalam pembahasan dan mengusahakan agar kedua pilar bisa dilaksanakan bersamaan. Dari laporan impact revenue assessment OECD, Indonesia akan mendapatkan tambahan penerimaan negara lebih besar dari Pilar 2 dibandingkan dari Pilar 1.
Saat memegang Presidensi G-20 pada 2022, Indonesia meminta OECD untuk memetakan negara-negara berkembang yang memberikan banyak insentif pajak dan juga dampaknya bila Pilar 2 diterapkan, serta alternatif pemecahan masalahnya.
Bagi negara berkembang yang banyak memberikan insentif pajak, selain menggunakan carve out, juga dapat menerapkan qualified domestic minimum top-up tax (QDMTT). Konsepnya adalah bila suatu insentif pajak, misalnya tax holiday, mengakibatkan effective tax rate (ETR) suatu MNE menjadi di bawah 15% dan akan dikenakan top up tax, negara bisa mengenakan QDMTT terlebih dahulu.
QDMTT dikenakan terhadap MNE tersebut. QDMTT tersebut menjadi kredit pajak di negara atau yurisdiksi mitra di tempat UPE (ultimate parent entity) berada. Kami saat ini sedang mempertimbangkan untuk menerapkan QDMTT.
Kita ingin memperluas [cakupan STTR]. Namun, negara maju ingin mempersempitnya. Artinya, hal ini memang battleground dan menjadi salah satu yang akan terus kita perjuangkan untuk kepentingan Indonesia.
Pembahasan terakhir dilakukan pada pekan lalu [pekan ketiga Desember 2022], tetapi masih cukup awal dan diskusinya masih akan panjang dan lama. Mudah-mudahan pada semester I/2023 sudah ada pertemuan pemahaman, termasuk untuk konsep MLI yang akan ditandatangani.
Banyak negara, termasuk Jepang dan India, memberikan pendapat-pendapat yang beragam dalam pembahasan di Working Group. Indonesia memahami pentingnya isu ini dan ikut memberikan pendapat.
Adapun pendapat itu tentang jumlah negara/yurisdiksi yang akan menjadi anggota distribution panel dan dispute resolution panel. Kemudian, siapa saja yang menjadi anggota panel tersebut? Apakah hanya pejabat pemerintah saja atau juga tenaga ahli yang diakui bisa menjadi anggota panel? Indonesia juga berpendapat bahwa isu tax certainty hanya bisa dilakukan bila sudah ada tax treaty antaryurisdiksi yang terlibat.
Pada saat Indonesia menjadi Presidensi G-20, Indonesia berusaha untuk memisahkan isu geopolitik dengan isu ekonomi. Hal ini dilakukan agar pembahasan di G-20 bisa terus berjalan dan bisa mencapai konsensus.
Forum G-20 dibentuk untuk membahas isu-isu ekonomi global, bukan membahas isu geopolitik. Hal itu sangat sulit dicapai dan hasil terbaik dalam pertemuan G-20 pada 2022 bukan dalam bentuk communique, tetapi chair summary. Sementara itu, untuk KTT G20, telah terbit leaders declaration.
Meskipun tidak membentuk communique, Indonesia tetap dianggap berhasil memimpin forum G-20. Indonesia berhasil memperjuangkan nilai-nilai multilateral sebagai arah kebijakan ke depan di tengah mulai munculnya kembali pemahaman unilateralisme sebagai akibat perang Rusia-Ukraina dan gejolak ekonomi dunia yang mengikutinya.
Kebijakan pajak internasional Indonesia selama ini berdasarkan pada prinsip multilateral. Kita akan tetap pada prinsip ini. Banyak keberhasilan dan tantangan dari kerja sama luar negeri. Namun, isunya global sehingga kita tidak bisa hanya mementingkan masing-masing negara. Semua saling terkait erat.
Pengalaman membuktikan keterbukaan dan pembahasan yang didasarkan pada logika universal akan menghasilkan kesepakatan dengan berbagai pihak yang saling menguntungkan. Indonesia berusaha menjadi pihak yang di tengah. Kita meyakini peran bebas aktif sebagai policy kita. Jadi, kita berusaha merangkul banyak pihak dan memperluas kerja sama internasional.
Kita juga akan berperan lebih aktif. Oleh karena itu, dalam pembentukan Asia Iniative Global Forum, kita memainkan peranan kunci. Tahun depan, Indonesia dan India akan menjadi co-chairs. Ke depan, kita ingin Asia Initiative mengembangkan kerja sama pertukaran data dan informasi keuangan bersama dengan Afrika Initiative dan South America Initiative. Jadi, menggabungkan informasi yang didapat dari masing-masing regional.
Data-data keuangan yang diperoleh dari automatic exchange of information (AEOI) menjadi salah satu sumber data utama dalam coretax. Hal itu juga akan membantu upaya pengamanan penerimaan pajak serta menjaga kesehatan APBN. Kita mendukung upaya Global Forum untuk menambah negara yang bergabung dalam pertukaran data AEOI, salah satu nya dengan berperan aktif di Asia Initiative.
Ke depan, kalau coretax sudah jalan, upaya pengawasan kepatuhan wajib pajak tidak lagi tergantung pada data matching manual yang sekarang banyak dilakukan. Ini karena proses data matching dilakukan secara otomatis dengan coretax.
Dengan demikian, pengawasan kepatuhan wajib pajak akan fokus pada hal-hal yang lebih strategis dan konkret, yaitu upaya-upaya penghindaran pajak. Misalnya terkait dengan transfer pricing. Kita akan mempersiapkan anggota kita [pegawai DJP] menuju cooperative compliance. Data EOI akan makin penting.
Prinsip yang kita pegang adalah kebijakan pajak mendekati bisnisnya. Artinya, wajib pajak diperkenankan membebankan biaya. Namun, tidak boleh jika biaya tersebut terlalu eksesif [di luar kewajaran dan kelaziman usaha].
Rasio DER 4:1 yang berlaku saat ini, ada yang berpendapat terlalu tinggi, ada juga yang mengatakan terlalu generous. Artinya, masih ada ruang untuk dilakukan perbaikan kebijakannya. Salah satu metode yang banyak dilakukan di berbagai negara adalah dengan konsep EBITDA pada masing-masing industri.
Selama ini, 2 metode tersebut yang banyak dipakai di berbagai negara. Ada negara yang mejalankan dua-duanya, EBITDA dan DER. Ada juga negara yang hanya menjalankan 1 metode.
Negara-negara yang menjalankan 2 metode mengaturnya lebih jauh dengan berbagai kondisi. Ada yang menggunakan EBITDA dahulu baru DER. Ada yang menggunakan DER dahulu baru EBITDA. Ada yang langsung menerapkan bersamaan. Hal-hal itu masih di dalami di pembahasan-pembahasan kita. (sap/kaw)